Artikel ini akan menjawab pertanyaan apakah Nabi mampu memberi hidayah.
Nabi adalah manusia pilihan Allah Azza wa Jalla yang diutus sebagai penunjuk pada jalan kebenaran. Di dalam al-Qur’an Allah Azza wajalla menyebutnya sebagai sang pemberi hidayah pada jalan yang lurus.
Allah Azza wajalla berfirman:
وَإِنَّكَ لَتَهۡدِيٓ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Asy-Syura: 52)
Ayat ini sangat jelas menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dapat menunjukkan manusia pada jalan yang lurus. Hanya saja, mungkin muncul kemuskilan pada sebagian orang ketika membaca firman Allah Azza wajalla:
إِنَّكَ لَا تَهۡدِي مَنۡ أَحۡبَبۡتَ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. ( QS. Al-Qashash: 56)
Hal tersebut disebabkan ayat ini dan ayat sebelumnya seolah menunjukkan adanya kontradiksi antar keduanya. Firman Allah pada surah asy-Syura ayat 52 menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu menunjukkan manusia pada jalan yang lurus (memberi hidayah), sedangkan firman Allah pada surah al-Qashash menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mampu memberi petunjuk/hidayah.
Untuk memahami kedua ayat ini, terlebih dahulu hendaklah diketahui bahwa hidayah ada dua jenis di dalam al-Qur’an.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Kata hidayah kadang dalam bentuk muta’addi dengan dirinya sendiri seperti pada firman Allah “اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ” sehingga bermakna “Berikanlah kami taufik dan rezki (pada jalan yang lurus)”.
Juga firman Allah “وهديناه النجدين” maksudnya adalah kami telah menjelaskan padanya jalan kebaikan dan jalan keburukan. Kadang juga dalam bentuk muta’addi dengan huruf jar “ila” seperti pada firman Allah “اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ” dan “فَاهْدُوهُمْ إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيمِ” makna hidayah (secara bahasa) dalam ayat ini adalah membimbing dan memberi petunjuk.
Demikian pula pada firman Allah “وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ”. Hidayah juga kadang dalam bentuk muta’addi dengan huruf “lam” seperti pada firman Allah الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا sehingga bermakna “Segala puji bagi Allah yang menunjukkan kami pada surga dan menjadikan kami sebagai penghuninya”. (Tafsir Ibnu Katsir: 1/30)
Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir rahimahimahullah ini, dipahami bahwa hidayah itu terbagi dua; hidayah at-taufik atau hidayah yang khusus diberikan Allah kepada hambaNya dan hidayah al-irsyad atau hidayah ad-dalalah yaitu hidayah yang sifatnya menunjukkan dan mengarahkan pada jalan yang benar.
Disebutkan dalam kitab Tafsir al-Usyur al-Akhir:
“Hidayah ada dua jenis; Hidayah taufik yang khusus bagi Allah dan hidayah dalalah dan irsyad (menunjuk/membimbing). Jenis hidayah ini untuk para Nabi dan pengikutnya dari kalangan ulama dan dai.” (Tafsir al-Usyur al-Akhir: 2)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata:
“Hidayah memiliki dua makna: makna pertama adalah menunjuk dan membimbing. Jika Allah tidak menunjukkan padamu kebenaran maka engkau menjadi seorang yang jahil. Makna kedua yaitu at-taufik, yang merupakan lawan dari kata sesat dan menyelisihi.” (Tafsir Surah al-Fatihah: 75)
Dengan memahami makna hidayah, maka jelaslah bahwa kedua ayat di atas tidak mengalami kontradiksi, namun justru saling menguatkan satu sama lainnya.
Syaikh Muhammad al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqithi rahimahullah berkata:
“Hidayah yang dinafikan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hidayah khusus (yang hanya dimiliki Allah). Sebab taufik hanya milik Allah semata. Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali engkau tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah.
Adapun hidayah yang ditetapkan pada diri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ia merupakan hidayah yang bersifat umum yang bersifat menjelaskan jalan kebenaran. Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alahi wasallam dan meninggalkannya dalam sesuatu yang amat terang benderang, hingga malamnya sama seperti siangnya.” (Daf’u Iiham al-Idhtirab An Ayatil Kitab: 36)
Allah Azza wajalla menjelaskan kedua hal ini melalui perkataan Nabi Syu’aib ‘Alaihissalaam yang Allah abadikan di dalam al-Qur’an:
قَالَ يَٰقَوۡمِ أَرَءَيۡتُمۡ إِن كُنتُ عَلَىٰ بَيِّنَةٖ مِّن رَّبِّي وَرَزَقَنِي مِنۡهُ رِزۡقًا حَسَنٗاۚ وَمَآ أُرِيدُ أَنۡ أُخَالِفَكُمۡ إِلَىٰ مَآ أَنۡهَىٰكُمۡ عَنۡهُۚ إِنۡ أُرِيدُ إِلَّا ٱلۡإِصۡلَٰحَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُۚ وَمَا تَوۡفِيقِيٓ إِلَّا بِٱللَّهِۚ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَإِلَيۡهِ أُنِيبُ
“Syu´aib berkata: “Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)
Ayat ini menunjukkan usaha Nabi Syuaib ‘alaihissalaam dalam dakwahnya dan keinginannya agar kaumnya mendapat hidayah, namun ia juga menjelaskan bahwa hidayah taufik itu hanya milik Allah Azza wajalla semata. Ia tidak mampu memberi hidayah taufik itu, melainkan hanya sekedar menunjukkan jalan kebaikan.
Demikianlah artikel tentang apakah nabi mampu memberi hidayah. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang Al-Qur’an.
Baca juga: Mungkinkah Orang-Orang Kafir Mendapat Hidayah?
Oleh: Muhammad Ode Wahyu, SH.