Ketidakhadiran burung Huh-hud rupanya tak luput dari perhatian Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam. Maka tak lama kemudian, datanglah Hud-hud, bersegera menyampaikan alasan ketidakhadirannya. “Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini” (QS. An-Naml: 22).

Berawal dari kegelisahan seekor burung Hud-Hud menyaksikan kezhaliman, satu negeri Saba’ beriman akhirnya. Seharusnya kita juga memiliki kepekaan yang sama. Ketika menyaksikan kesyirikan dan keburukan menyebar untuk lebih intens berdakwah. Setiap kita adalah da’i yang menyeru menghidupkan cahaya kebaikan. Setiap kita adalah agen perubahan yang risih dengan gelap akibat merebaknya keburukan.

Bukan sebaliknya, gelisah tatkala melihat sunnah dihidupkan. Bangga membatalkan majelis ilmu. Gerah dengan semangat orang-orang yang berhijrah. Resah dengan penampilan yang syar’i. Tapi justru biasa aja dengan penampilan aurat terbuka. Membiarkan kesyirikan merajalela. Acuh terhadap penyebaran kemaksiatan. Definisi kebenaran direvisi sesuai kebutuhan dan keburukan dibiarkan beranak pinak. Lalu amar ma’ruf nahi munkar dibalik.

Adalah jahiliyyah dulunya masyarakat yang tak mengenal peradaban. Tidak menutup aurat bahkan beribadah dalam keadaan berbusana minim. Kemudian Islam datang, membawa ke peradaban terang menderang. Menghapus tradisi jahiliyah. Keyakinan, hukum, penampilan dan fanatisme. Anehnya, syariat Islam dianggap asing akhirnya. Cadar misalnya disebut budaya Arab.

Termasuk talbis iblis, tipu daya syetan dengan berupaya untuk menjadikan wanita menampakkan auratnya.  “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya ‘auratnya ” (QS. Al-‘Araf: 27).

Bertahap dalam Kebaikan

Ketika akan menyampaikan kepada Nabi Sulaiman, burung Hud-Hud memulai dari penyimpangan yang kecil. Kepemimpinan wanita terhadap lelaki. “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”. Sudah menjadi fitrah bagi setiap insan maupun makhluk lainnya, bahwasanya lelaki adalah pemimpin bagi para wanita.

Lalu penyimpangan lebih besar, kesyirikan kepada Allah. “Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka …,”

Pertama, keresahan burung hud-hud melihat kemungkaran tidak membuatnya tinggal diam. Setidaknya dia mengabarkan kepada Nabi Sulaiman. Dengan adab dan cara penyampaian yang bertahap. Dari yang lebih kecil kepada yang lebih fatal akibatnya. Bukan membiarkan kemungkaran dan mencegat kebaikan. 

Kedua, burung hud-hud menyampaikan berita sesuai fakta. Tidak asal menuduh tanpa bukti. Bukan mengada-ngada. Menuduh orang lain intoleran tapi disaat yang sama tidak bisa menerima perbedaan apalagi masalah pendapat fiqih. Jika seseorang ingin komitmen menjalankan syariat. Adalah toleransi dan lapang dada terhadap perbedaan.

Menyematkan kata ‘radikal’ terhadap golongan tertentu juga harus disertai bukti yang valid. Timbangan kita adalah al-Qur’an dan Sunnah. Sepanjang masih dalam terminologi ahlusunnah. Bukan semena-mena sesuai kehendak hawa nafsu.

Terlepas soal wajib atau sunnahnya. Tidak seharusnya orang yang tekun menjalankan syariat divonis ekslusif hanya karena dianggap berbeda dengan prilaku umat umumnya. Celana cingkrang atau hijab cadar bukanlah salah fikir beragama. Selama ia berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai pemahaman salaf.

Ketika diperingatkan akan bahaya dari perbuatan kaum Nabi Luth. Tidak ada jawaban mereka kecuali, ”Usirlah Luth dan keluarganya dari negerimu, sesungguhnya mereka adalah orang yang (menganggap dirinya) suci”(QS. An-Naml: 57). Orang yang ingin menjaga kesucian dirinya, menjalankan keyakinannya dianggap sok suci. Diusir dari negerinya. 

Seperti yang digambarkan Rasulullah di akhir zaman. Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan penipuan. “Ketika itu pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur malah didustakan, pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah justru dianggap sebagai pengkhianat. Pada saat itu Ruwaibidhah berbicara” Sabda Nabi.

 “Apa yang dimaksud Ruwaibidhah?tanya sahabat. “Orang bodoh yang turut campur dalam urusan masyarakat luas. (HR. Ibnu Majah). Orang yang tidak punya otoritas ilmu yang berfatwa. Setiap orang mudah berpendapat tanpa harus diverifikasi terdahulu.

Ada yang lebih penting daripada sekedar membatasi keyakinan orang lain. Mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertaqwa serta beraklak mulia. Menuntaskan lemahnya ekonomi, menjamin stabilitas keamanan dan penegakan keadilan. 

Menjalankan sunnah hari ini ibarat menggenggam bara api. Dianggap asing di tengah umat sendiri. Sekuat-kuatnya mempertahankan sunnah di tengah gempuran budaya pop. Kita akan diuji dengan kelelahan. Cemoohan orang yang tak bertanggungjawab. Bukankah hati yang tangguh lahir saat diasingkan.

Nasihat agama yang penting adalah komitmen. Tingkat keimanan bisa naik turun tapi komitmen tidak boleh. Setiap insan yang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat harus komitmen terhadap segala konsekuensinya.

Mengukur tingkat ketaqwaan seseorang tak cukup dengan melihat tinggi celana di atas mata kakinya, panjang hijabnya. Sejauh mana ketaatan menjalankan syariat yang diyakini. Allah melihat pada hati dan amalannya.[]

Oleh: Muhammad Scilta Riska

Yuk gabung di grup WhatsApp Sahabat Inspirasi