Hukum Shalat Berjamaah
LAZISWahdah.com
– Pertanyaan : Assalamu ‘Alaikum ustad.
Ana mau bertanya, bagaimana hukum shalat berjamaah di rumah bagi laki-laki?
Dan apakah orang yang melaksanakan shalat wajib dengan sendirinya tetap mendapat pahala atau berdosa karena tidak sholat berjamaah di Masjid ?
Jawaban : Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Para ulama sepakat bolehnya shalat berjamaah dimana saja, baik itu di rumah, kantor, kebun, padang pasir dll, selama tempatnya suci dari najis, sebagaimana sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-
جُعِلَتْ لِي الأَْرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا، فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلاَةُ فَلْيُصَل
“Dijadikan permukaan bumi bagiku sebagai masjid dan suci, maka siapa saja dari umatku yang mendapat waktu shalat maka shalatlah (dimana saja ia berada)”.

Begitu juga sabda beliau -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada 2 orang pemuda :
إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا، ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ، فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ
“Jika kalian telah melaksanakan shalat (jama’ah) di rumah kemudian datang ke masjid dan mendapat jama’ah, maka shalatlah bersama mereka karena tercatat shalat sunnah bagi kalian”.

Tetapi shalat fardhu di masjid lebih afdhal dari tempat selain masjid, sebagaimana hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
صَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ أَفْضَل صَلاَةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ الصَّلاَةَ الْمَكْتُوبَةَ
“Wahai manusia, shalatlah di rumah kalian, karena shalat seseorang di rumahnya lebih afdhal kecuali shalat fardhu”.

Hal itu dikarenakan masjid tempat yang mulia dan suci juga menghidupkan syiar dengan banyaknya jama’ah, maka shalat di masjid yang lebih banyak jama’ahnya lebih afdhal dari masjid yang sedikit jama’ahnya, sebagaimana hadits Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
صَلاَةُ الرَّجُل مَعَ الرَّجُل أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلاَةُ الرَّجُل مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ الرَّجُل، وَمَا كَانُوا أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل
“Shalat dua laki-laki lebih afdhal dari shalat sendirian, shalat bertiga lebih afdhal dari shalat berdua, dan shalat yang semakin banyak jama’ahnya lebih disukai Allah azza wa jalla”.

Adapun masalah apakah orang yang melaksanakan shalat fardhu sendirian tetap mendapat pahala atau berdosa karena tidak sholat berjamaah di masjid? Masalah ini kembali ke hukum shalat berjama’ah, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, berikut pemaparannya :

– Hanafiyyah berpendapat (juga kebanyakan Malikiyyah dan salah satu pendapat Syafi’iyyah) bahwa shalat jama’ah shalat fardhu (bukan shalat jum’at) bagi laki-laki hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat dianjurkan dan mendekati wajib), berdalilkan sabda Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- :
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُل عَلَى صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjama’ah lebih afdhal 27 pahala dari shalat sendirian”

Dalam riwayat lainnya 25 pahala.
Hadits ini menjelaskan bahwa shalat jama’ah adalah sunnah untuk meraih 27 pahala.

– Syafi’iyyah (juga sebagian Hanafiyyah dan Malikiyyah) berpendapat fardhu kifayah, artinya jika sudah ada diantara kaum muslimin dalam suatu daerah yang mengerjakannya dan nampak syiar shalat jama’ah dalam daerah itu maka gugur kewajiban bagi yang lainnya, berdalilkan hadits Abu Darda’ -radhiyallahu’anhu- riwayat Abu Daud dengan sanad yang shahih, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
مَا مِنْ ثَلاَثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلاَ بَدْوٍ لاَ تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلاَةُ إِلاَّ قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُل الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian (shalat) berjamaah, karena sesungguhnya srigala itu hanya akan menerkam kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya)”.

– Hanabilah (juga salah satu pendapat Hanafiyyah dan Syafi’iyyah) berpendapat bahwa wajib ain (tapi bukan syarat sahnya shalat sebagaimana pendapat Ibnu Aqil dari kalangan Hanabilah), berdalilkan hadits Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- riwayat al-Bukhari, Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda :
وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.
Dan hadits Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu- riwayat Muslim :
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى، فَقَال: يَا رَسُول اللَّهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَسَأَل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ، فَيُصَلِّي فِي بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَال: هَل تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَال: نَعَمْ قَال: فَأَجِبْ
“Seorang buta pernah menemui Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berujar “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?” laki-laki itu menjawab; “Benar.” Beliau bersabda: “Penuhilah seruan tersebut (hadiri shalat jamaah).”

Maka dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa shalat sendirian di rumah berdosa menurut Hanabilah dan tidak berdosa menurut mayoritas ulama, tapi perlu diketahui bahwa mayoritas ulama berpendapat shalat jama’ah tidak wajib ain bukan berarti mereka membolehkan begitu saja atau menyuruh untuk shalat fardhu di rumah, tidak! Mereka berpendapat demikian sekedar menjelaskan hukumnya. Jika kita membaca buku-buku mereka, kita dapatkan ternyata tidak semudah itu meninggalkan shalat berjama’ah, tapi hanya orang udzur yang boleh tidak berjama’ah seperti sakit, safar, hujan dll, sebagaimana Imam Asy Syafi’i -rahimahullah- berkata,
وأما الجماعة فلا ارخص في تركها إلا من عذر
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur”

Para sahabat memandang orang yang tidak mau berjama’ah sebagai orang munafik, Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu’anhu- berkata:
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
“Menurut pendapat kami (para sahabat), tidaklah seseorang itu tidak hadir shalat jamaah, melainkan dia seorang munafik yang sudah jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu seseorang dari kami harus dipapah di antara dua orang hingga diberdirikan di shaf shalat”

Bahkan para salaf dahulu memandang bahwa seorang yang meninggalkan shalat berjama’ah adalah musibah sehingga mereka bertakziyah kepadanya dan tidaklah seorang luput/terhalangi dari shalat jama’ah kecuali karena dosa yang ia lakukan.

————————————————————————–
Dijawab oleh Ustad Abul Qasim Ayyub Soebandi Hafizhahullah
Sumber : Grup WA Belajar Islam Intensif

Tinggalkan Balasan