street-city-building

LAZISWahdah.com – Muhammad bin Umar Al-Waqidi (wafat tahun 207 H) dia adalah ulama pakar peperangan dan sirah. Dia pernah menemuai menemuai sahabatnya Muhammad bin Sa’d yang kelihatan sedang gundah, Al-Waqidi berkata: ’Jangan gundah, karena rezeki datang dari arah yang tidak terduga.’

Kemudian Al-Waqidi menceritakan kisah yang dialaminya:

Suatu hari aku mengalami kesulitan sampai aku harus menjual kudaku. Yahya bin Khalid menungguku dalam waktu yang lama. Aku pun meminta maaf kepadanya, hingga akhirnya ia memahami kondisiku. Ia memberiku uang 500 dinar, lalu aku membawanya pulang ke rumah. Dalam benakku uang itu akan aku gunakan untuk membayar hutang dan memenuhi kebutuhan keluarga. Namun, tiba-tiba pintu rumahku diketuk oleh seorang laki-laki dari Madinah yang telah dirampok hartanya. Ia adalah keturunan Abu Bakar Ash-Shidiq radhiyallahu ‘anhu. Ia mengeluhkan keadaannya kepadaku. Maka, aku memberikan sisa uang itu kepadanya dan aku gagal untuk membeli kuda baru.

Yahya bin Khalid menungguku, maka aku beritahukan kepadanya apa yang telah terjadi. Maka, ia mendatangi laki-laki keturunan Abu Bakar tadi dan menanyainya. Laki-laki itu menjawab, ‘Benar, aku telah menerima dinar-dinar itu darinya, namun ketika aku sampai di rumah, datanglah fulan keturunan Anshar. Ia mengadukan keadaannya kepadaku, maka aku pun memberikan dinar-dinar itu kepadanya.’

Yahya mendatangi keturunan Anshar itu. Ia bertanya kepadanya, apakah laki-laki keturunan Abu Bakar itu telah memberinya uang? Laki-laki itu pun menceritakan kejadian yang sebenarnya, dan Yahya bin Khalid takjub dengan kedermawanan kami.

Lalu. Yahya memberiku seribu dinar lagi, juga kepada laki-laki keturunan Abu Bakar dan keturunan Anshar itu dalam jumlah yang sama. Di tambah lima ratus untuk istriku, karena kesedihannya saat aku memberikan dinar-dinar itu kepada lai-laki keturunan Abu Bakar.”

****

Dalam kisah lainnya Al-Waqidi menuturkan:

“Aku memiliki dua teman, salah seorang dari keduanya adalah Al-Hasyimi. Kami sangat akrab laksana satu jiwa. Suatu saat aku ditimpa kesulitan yang amat sangat, padahal hari raya Ied sudah dekat. Istriku berkata kepadaku, “Kita masih bisa bersabar menghadapi kesulitan dan kesengsaraan ini, namun anak-anak kita, hatiku merasa teriris  karena kasihan kepada mereka. Mereka melihat anak-anak tetangga berhias dan berpakaian bagus di hari raya, sementara anak-anak kita masih  tetap dengan pakaian usang mereka. Sekiranya engkau bisa mengusahakan sesuatu, sehingga kita bisa membelikan mereka pakaian yang pantas.”

Maka, aku menulis surat kepada kawanku, Al-Hsyimi. Aku meminta bantuannya. Ia pun mengirimkan kepadaku sebuah kantong bersegel. Ia menyatakan bahwa isinya uang seribu dirham. Aku belum berbuat sesuatu dengan uang itu, namun tiba-tiba kawanku yang lain menulis surat kepadaku. Ia mengeluhkan kepadaku seperti yang pernah aku keluhkan, maka kantong tersebut aku kirim kepadanya. Lalu, aku pergi ke masjid. Aku bermalam disana, karena aku merasa tidak enak kepada istriku. Kemudian aku pulang ke rumah. Saat aku masuk menemuinya, ia menganggap baik apa yang telah aku lakukan, sehingga ia tidak menyalahkanku.

Ketika dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba datanglah temanku, Al-Hasyimi, dengan membawa kantong tersebut seperti sedia kala. Ia berkata kepadaku, “Katakanlah kepadaku dengan jujur, apa yang engkau lakukan terhadap uang yang telah aku kirim kepadamu?” Maka, aku pun menceritakan apa yang telah terjadi.

Ia berkata, “Engkau mengirim surat kepadaku meminta bantuanku. Aku tidak mempunyai sesuatu pun, selain apa yang aku kirim kepadamu. Dan, aku menulis surat kepada teman kita untuk meminta bantuan, maka ia pun mengirimkan kantongku ini masih dengan segelnya.”

Al-Waqidi berkata, “ Maka, kami memakai seribu dirham itu secara bersama-sama. Kami membaginya menjadi tiga, setelah kami menyisihkan seratus dirham untuk istriku. Berita ini sampai ke telinga Al-Makmun (khalifah pada saat itu, red). Ia memanggilku, lalu aku pun menjelaskan kejadian sebenarnya. Maka. Ia memberi kami 7000 dinar. Masing-masing dari kami mendapat 2000 dinar, dan 1000 dinar untuk istriku.”

***

Inilah diantara kisah yang menunjukkan sifat itsar (mengutamakan orang lain) dikalangan ulama. Semoga menjadi inspirasi dan teladan buat kita semua.[]

Sumber: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *