Keluarga Qur’ani

mengakrabkan diri dengan al-Quran

Sebuah pertanyaan menarik dari pemandu acara pada sebuah kegiatan seminar tentang al-Qur’an di Makassar “Ibu-ibu, siapa yang menginginan keluarganya menjadi keluarga yang Qur’ani?”. Bisa dipastikan seluruh isi ruangan yang berkisar 3000 muslimah mengacungkan tangan. Namun ketika si pemandu mengatakan, “Ibu-ibu, mana mushaf al-Qur’annya? Angkat dan tunjukkan!” serta merta suasana menjadi berbeda, sangat sedikit yang menunjukkan mushaf al-Qur’annya.

Siapa yang tidak mengidamkan keluarga yang qur’ani? Tentu kita semua menginginkannya. Namun apakah definisi kita dengan keluarga qur’ani itu? Di sinilah letak perbedaan kita, sehingga berbeda pula cara kita melakukan usaha. Yah, cita-cita memang harus dibarengi dengan usaha. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah keadaan dirinya”. (terjemah QS. Al Anfaal: 53).

Cerminan keluarga yang paling sempurna dalam segala hal adalah keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ditanyakan bagaimana akhlak beliau, maka Aisyah dengan tegas menyatakan bahwa Rasulullah adalah al Qur’an yang berjalan. Sementara pribadi beliau terdiri dari jasad, ruh, dan akal. Sama seperti kita semua.

Beliau membaca al-Qur’an dalam shalat lailnya sampai kaki beliau bengkak karena saking panjangya bacaan beliau. Beliau manusia yang paling mencintai al-Qur’an, tentu karena beliau pula yang paling memahami al-Qur’an. Sungguh beliau teladan yang sempurna.

Bagaimana mungkin keluarga qur’ani akan terbentuk, jika membaca al-Qur’an saja kita tidak punya waktu? Bagaimana mungkin hati kita akan cinta pada al-Qur’an, sementara hati kita dipenuhi dengan cinta pada syair, lagu atau musik? Dan bagaimana mungkin akal kita mampu memahami al-Qur’an, bila ia disibukkan dengan komedi atau lawak?

Nasihat sederhana nan sangat berarti dari seorang ibu di era kita, yang kesebelas anaknya menghafalkan al-Qur’an. Beliau mengatakan “jangan pernah memasukkan TV” ke dalam rumah anda!”. Benda ini cukup kecil dan mudah untuk dimiliki. Bahkan bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat terbawah. Tapi ajaibnya, ia bisa menyihir orang yang ada di hadapannya menjadi lupa diri. Ia dapat menyulap waktu 24 jam menjadi sangat singkat. Dan bahkan mampu merampas seluruh jasad, ruh, dan akal manusia.

Allah Ta’ala berfirman, “jagalah keluargamu dari api neraka” (terjemah QS. At Tahrim: 6). Maka mulailah dari diri pemimpin keluarga, memberikan qudwah pada anggota keluarga. Karena tanggung jawab ada di atas pundaknya. Dan siapapun yang ingin lebih dahulu memulai, tentu sebuah kemuliaan tersendiri. Semoga kita termasuk orang-orang yang tenang, tentram, dan dami hatinya dengan al Qur’an. “Ketahuilah, hanya dengan berdzikir kepada Allah, hati menjadi tenang” (terjemah QS. Ar Ra’d: 28). Dan dzikir yang paling utama adalah al-Qur’an. (Ummu Fauzan)

Satu pemikiran pada “Keluarga Qur’ani”

  1. Hati adalah sumber ilham dan pertimbangan tempat lahirnya cinta dan benci, keimanan dan kekufuran, taubat dan dengki, serta ketenangan dan kebimbangan. Hati juga sumber kebahagiaan jika kita mampu membersihkannya, namun juga dapat menjadi sumber bencana jika kita gemar menodainya. Abu Hurairah pernah berkata, “Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika raja itu baik, maka baik pulalah tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tentaranya.”

Tinggalkan komentar

Home
Donasi
Hitung Zakat
Login