Oleh Kader Wahdah Islamiyah : Ustadz Harman Tajang hafizhahullah
LAZISWahdah.com – Jangan pernah mencela hujan, karena ia membawa kedamaian.
Ia menghidupkan bumi yang mati dengan izin-Nya, dan memberi kesejukan ditengah kegersangan.
Ia diminta dengan ‘istisqa’ jika tak kunjung datang, karena Dialah yang menurunkannya.
Jangan pernah mencela hujan. Ketika ia turun pintu langit terbuka. Sebagaimana kabar Baginda Nabi bahwa pada saat itulah do’a-do’a akan diijabah.
Jangan pernah berhenti berdo’a, karena engkau tidaklah tahu, kapan do’amu terkabulkan.
Disuatu siang, di bawah guyuran hujan yang sangat deras, di asrama putra STIBA Makassar. Tepatnya diakhir 2003 Dua orang sahabat melepas penat selepas kuliah di tangga lantai dasar ma’had. Dengan candaan ringan, namun terkadang over, itulah saya dan dia. Kalo ‘saya’ jelas yang nulis memoar ini. Kalo ‘dia’… sebagaimana namanya begitulah sifatnya. Sangat dermawan, pemberi dan penyantun. Itulah mungkin bukti diantara hikmah yang mengatakan bahwa ‘nama bagian dari do’a’, beliau bernama AKRAMA HATTA -hafidzahullah-.
Akrama dari kata ‘Al-Karam’ artinya dermawan, tapi beliau ini pake ‘ism tafdhil’ yang artinya ‘melebihi biasanya’, hm … biar lebih jelas saya kasi contoh lain : ‘kabir’ artinya besar, ‘isim tafdhilnya Akbar’ artinya lebih besar, ‘thawil’ artinya ‘panjang’, isim tafdhilnya ‘athwal’ artinya lebih panjang, ‘karim’ artinya mulia dan dermawan, isim tafdhilnya ‘akram’ artinya lebih dermawan. Paham semua?? Ada pertanyaan??. Kalo belum paham silahkan ikut kursus Bhs. Arab di STIBA atau Markaz Imam Malik binaan kami. Kontak person 085299867347 (heheheh, itung2 promosi).
Saya juga pernah tanya bapak -rahimahullah- tentang arti nama saya, beliau jawab : “itu dari kata ‘harmoni’ nak, yang artinya harmonis atau cocok disemua waktu dan tempat” (hm, semoga!). Tapi kalo saya renungi, nama saya adalah kombinasi 2 bahasa Internasional. Dari kata ‘harm’ yang dalam bahasa Arab berarti tua, dan ‘Man’ Bhs. Inggris yang artinya ‘laki-laki’ (dan kemungkinan adanya per’UBAN’an dini di kepala sejak eSeMPe adalah efek dari nama tersebut. Atau qiraah yang lain; ‘Har’ berarti ‘Panas’ dan ‘Man’ berarti ‘lelaki’ / lelaki panas (hm, semoga tidak!) Wallahu a’lam)… Eh, terlalu jauh..
Kita kembali ke tangga dasar STIBA, di bawah guyuran hujan tadi. Disela-sela candaan kami, ada hujan ada angin, tiba-tiba Akrama nyelutuk : “Man, di Sudan mako kau, nanti saya di Madinah, kalo datangko haji atau umrah kejemputko di pelataran Masjidil Haram Madinah”.(baca:Masjid Nabawi).
Spontan ana jawab : “Amin…amin..amin…”. Biasalah kawan, waktu itu, sebagaimana mahasiswa lain, obsesi keluar negeri sangat besar, apalagi Madinah, Kota Nabi, Kota Ilmu dan yang lebih utama adalah kualitas jebolannya sangat mengagumkan. Itulah yang kami lihat dari guru-guru kami yang kebanyakannya alumni Madinah. Tidak heran kalo sudah banyak air mata berderai dalam do’a-do’a agar pemiliknya bisa lulus kesana.
Waktu berlalu, perkuliahan berjalan normal. Dulu semata-mata kami kuliah di STIBA demi ilmu, tak sedikitpun pernah memikirkan tentang ijazah atau syahadah. Persaingan yang sehat sungguh sangat terasa, termasuk bersaing agar lebih dekat dengan ustadz-ustadz tertentu, maklumlah…Disamping merupakan kemuliaan, akan ada beberapa fasilitas non formal yang kami dapat, mulai dari bisa pinjam motor ustadz (pada waktu itu mahasiswa yang punya sepeda kami sudah anggap elit, adapun sekarang di STIBA saya lihat, terpaksa bidang kerumah tanggan buatkan tempat parkir khusus karena banyak atau kebanyakan mahasiswa punya motor. Dulu, kami masih asing dengan alat komunikasi yang bernama ‘handphone’, belum ada yang punya. Kalo ada telpon dari kampung, biasanya Pak Alwi -hafidzahullah- penanggung jawab konsumsi teriak-teriak panggil nama mahasiswa yang ada telponnya. Biasa baru mau diangkat sudah ditutup karena kejauhan jalannya dari dapur ke asrama. Hp-nya pake antena. Gede bisa lempar mangga, namun masyaAllah sangat berjasa.
Ada juga mahasiswa Aceh namanya ‘Abdul Haq’, kalo gak salah punya hp rental siemens waktu itu. Satu-satunya mahasiswa berhape. Satu sms dibayar 500 rupiah. Kalo nelpon dilihat berapa lama panggilannya dan ada tarifnya. Adapun sekarang, mungkin yang mengherankan adalah mahasiswa yang gak punya hp. Kalo dulu yang mengherankan adalah yang punya hp… Dunia, oh dunia). Akrama termasuk mahasiswa yang sangat dekat dengan para ustadz. Memang beliau mahasiswa unggul dan langka (perlu dijaga dari kepunahan, jika Cendrawasih yang dilindungi Dinas Pariwisata masih ada beberapa ekor, adapun beliau tinggal satu orang aja).
Di kelas, selain ‘Prof. Syaibani’ beliau termasuk bintang. Kemampuan berbahasa Arab beliau menjadikan seorang ustadz pernah bilang : “saya kalo ngajar di kelas ini seperti mengajar mahasiswa-mahasiswa Medinah”, Akrama salah satu penyebabnya karena biasanya beliau yang paling banyak tampil.
Beliau juga sudah sering menggantikan para ustadz jika berhalangan ceramah, dan sekali lagi, ini salah satu keutamaan dekat dengan ustadz, bisa keciprat bingkisannya dan bisa ada alasan tinggalkan asrama yang dimanfaatkan untuk memperbaiki ‘gizi’ dengan semangkuk Pangsit di Warung ‘pak Cokro’ atau singkong goreng di warung ‘Pak Sabir’.
Pernah suatu ketika, Akrama menggantikan salah seorang ustadz mengisi pengajian di UNHAS, materinya tentang ‘Syukur nikmat’ (oh iya, saya lupa sampaikan bahwa beliau ini termasuk orator ulung, jika dengar ceramahnya harus konsentrasi tingkat satu, karena banyak menggunakan prosa dan sastra, sebagaimana saya, di MTQ Tingkat Nasional thn. 2000 beliau juga termasuk duta provinsi Palu, tapi pada cabang Cerdas Cermat Al-Qur’an), dalam pemaparannya, beliau menceritakan dengan gaya khas yang membara akan kebesaran Allah yang mengaruniakan hambaNya nikmat yang tak terhingga, langit tinggi menjulang tanpa penyanggah, bumi membentang yang ditundukkan untuk manusia, penciptaan yang sungguh sempurna, rezeki yang berlimpah, makanan, minuman, pakaian, kesehatan, tempat tinggal, dst… diakhir, tanpa sadar beliau bilang “JAZAKALLAHU KHAIRAN YA ALLAH”, sebenarnya beliau mau bilang “SYUKRAN YA ALLAH” (tapi mungkin karena peserta tersihir dengan ceramahnya gak ada yang menyadari kekeliruan fatal itu sebagaimana mungkin ada diantara pemirsa yang membaca tulisan ini belum faham maksud kekeliruan beliau, beliau juga baru sadar setelah dengar rekaman ulangnya, hahahah) dan mungkin ini seperti kisah seorang pengembara yang berjalan di padang pasir, ia singgah istirahat tidur di bawah sebuah pohon, ketika terbangun dia dikagetkan dengan kendaraannya yang membawa bekal makanannya ternyata hilang pergi entah kemana, dia sudah mencari kemana-mana tapi gak dapat, ketika ia sudah pasrah menunggu kematian tiba-tiba kendaraan dan perbekalannya ada di hadapannya, saking gembiranya ia kemudian berkata : “YA ALLAH AKU ADALAH TUHANMU DAN ENGKAU ADALAH HAMBAKU”, keliru ucap saking gembiranya (dan ini, menurut para ulama dimaafkan).
Dulu di Stiba Kampus Kassi (di Manggala juga) beliau sering sakit, terutama di musim hujan, gak tahan dingin (makanya sekarang, kalo safar bersama beliau dan nginap di hotel satu kamar biasa kami bertengkar gara-gara AC), kadang kita kegerahan justru beliau pakai jaket, kita tambah gerah melihatnya, namun sakitnya beliau membawa hikmah yang sangat besar, banyak santri yang jenguk, karena kebetulan beliau aktif mengajar di sebuah Masjid perjuangan bernama ‘Rahmatullah Kassi’, santri-santriwatinya puluhan bahkan ratusan, beraneka ragam makanan diantar, mulai makanan berat sekelas ‘konro’ (berat karena tulang) sampai makanan ringan sekelas ‘Jipang’, ada juga bingkisan terselip surat bersampul warna pink berisi do’a agar sang Ustadz cepat diberi kesembuhan, hm… Entah apa maksudnya), yang jelasnya makanan-makanan itu kami yang bantu bereskan, daripada mubadzir kawan, apalagi kita-kita juga ngiler, (Afwan Ust. Akrama ; terkadang juga saya gak sadar do’akan antum sakit lagi, heheheh).
Suatu hari, saya melihat mahasiswa sekelas pada sibuk, krasak-krusuk kayak ngurus-ngurus berkas (tapi sebenarnya pemandangan seperti itu biasa, persiapan ikut Muqobalah/tes ke Medinah, terus terang kawan, saya tidak pernah ikut Muqobalah untuk ke Medinah, kirim berkas juga tidak, pernah sih minta rekomendasi STIBA agar diusulkan dan diprioritaskan lanjut di Medinah atau Lipia, tapi saya tidak pernah dicalonkan, mungkin STIBA sangat sayang sehingga berat melepas saya, walaupun sedikit ada perasaan iri), tapi ternyata Allah berkehendak lain, saya ditakdirkan terdampar di Benua Afrika, mungkin karena do’a dibawah guyuran hujan itu.
Ternyata tes ke Sudan yang membuat teman-teman diam-diam krasak-krusuk siapkan berkas. Maklumlah, infonya agak rahasia waktu itu, karena semakin tertutup semakin besar peluang lulus, sedikit yang bersaing, bocoran infonya saya dapat dari seorang ikhwah jazahullahu khairan yang bernama ‘Saiful’ dari Barru (mengenai kisah tes ke Sudan, dan kisah-kisah dramatis yang mengiringinya akan dikhususkan dalam cerita lain insya Allah…), singkat cerita, Allah takdirkan kelulusan buat saya, Gak dinyana dan disangka, gak pernah mimpi sedikit pun bisa ke Benua Afrika. Ummi tercinta saja waktu dengar saya lulus ke Sudan, beliau langsung ambil bola dunia dan mencarinya, ternyata sangat jauh dan air mata beliau pun berderai.
Sebagaimana di kisah ‘Prof’ saya sampaikan bahwa Akrama termasuk yang antar saya ke bandara, sedih bercampur haru, sedih karena berpisah, terharu karena penggalan do’a pertama beliau telah terkabulkan; “Man, di Sudan mako kau…”. Alhamdulillah.
Tiga bulan saya di Sudan, beliau berkirim kabar bahwa beliau lulus tes beasiswa ke Medinah, Allahu Akbar ! Kami kembali terharu, penggalan do’a kedua;” …nanti saya di Medinah”, terkabulkan. Berangkatlah beliau ke Medinah, kalo gak salah sebulan setelah beliau menikah. Makanya kenyataan itu sedikit menyiksa beliau dan saya sempat jadi saksi akan ‘masa-masa’ sulit dan kritis beliau (yah, berpisah dengan kekasih).
Setelah empat bulan keberadaan saya di Sudan ada peluang untuk menunaikan ibadah Umrah, Alhamdulillah Allah beri kemudahan-kemudahan, dengan naik kapal ferry selama kurang lebih sepuluh jam mengarungi laut Merah berlabuhlah saya di kota Jeddah, selepas itu Umrah pertama ditunaikan lalu berangkat ke Medinah. Tibalah saat yang sangat mengharukan itu, mengalahkan keharuan-keharuan sebelumnya, setelah kurang lebih lima jam naik bus, terlihatlah dari kejauhan Masjid yang sangat indah dengan menara-menaranya yang menjulang tinggi, itulah Masjidil Haram Nabawi. Saya beserta rombongan diantar ke hotel penginapan, ketika jama’ah lain memilih istirahat dulu sebelum ke Masjid karena kami tiba dinihari dan letih, saya memilih langsung ke Mesjid Nabawi menembus dingin yang sangat menusuk malam itu, dengan diiringi deraian air mata, saya nekat karena telah janji dengan seorang ‘sahabat’. Tiba di pagar Masjid Nabawi, dari kejauhan kulihat seseorang dengan gamis putih melambaikan tangan, saya mendekatinya, kami akhirnya dipertemukan di pelataran Masjidil Haram kota Madinah (Allahumma shalli ‘ala Muhammad), kami berpelukan, bersyukur, menangis haru, orang-orang yang lewat keheranan, namun biarlah, kami tidak peduli, hanya Allah yang Maha tahu kebahagiaan kami karena, Penggalan ketiga do’a beliau telah terkabulkan yaitu; “…kalo datangko haji atau umrah kejemputko di pelataran Masjidil Haram Madinah”. Alhamdulillahiadzy bini’matihi tatimmu assholehat. Dan saat itu juga kembali kami berdo’a : “Ya Allah, sebagaimana Engkau mengabulkan do’a kami, kumpulkanlah kami dalam SyurgaMu”. Amin….
Jangan pernah mencela hujan. Karena ia membawa kedamaian,
Ia menghidupkan bumi yang mati dengan izin-Nya, dan memberi kesejukan ditengah kegersangan.
Ia diminta dengan ‘istisqa’ jika tak kunjung datang karena Dialah yang menurunkannya…
Jangan pernah mencela hujan…
Ketika ia turun pintu langit terbuka, sebagaimana kabar Baginda Nabi bahwa pada saat itulah do’a-do’a akan diijabah…
Jangan pernah berhenti berdo’a karena engkau tidaklah tahu, kapan do’amu terkabulkan…
_____________
Masih banyak sisi-sisi lain dari pribadi beliau, namun cukuplah dulu sampai disini kawan, nanti saya selipkan dicerita yang lain, insya Allah…
Bersambung…
MasyaAllah…tdk terasa air mata menetes, terutama diakhir-akhir kisahnya,