LAZISWahdah.com – Mayoritas rasa minoritas, itulah sebuah pengibaratan kondisi etnis Rohingya di District Maungdaw. Jumlah muslim Rohingya yang banyak di district Maungdaw tidak serta merta membuat mereka bebas menjalankan syariat Islam secara terang-terangan. Satu contohnya saja, suara adzan begitu langkahnya terdengar ditelinga saya saat berada di kota Maungdaw. Kebijakan pemerintah yang berlatar belakang etnis Rakhine (Budha) menjadi salah satu penyebab terbatasnya syiar Islam di kota ini.
Seorang Rakhine pernah menyatakan bahwa salah satu ketakutan mereka kepada etnis Rohingya adalah pertumbuhan kelahiran etnis Rohingya sangat pesat karena dalam satu keluarga Rohingya bisa memiliki sekitar 10 anak. Pertambahan kelahiran etnis Rohingya yang begitu pesat membuat etnis Rakhine sangat khawatir akan lenyap dari negaranya sendiri. Sebenarnya pemikiran seperti ini terlalu berlebihan karena Indonesia yang telah lama berstatus negara mayoritas muslim tetapi sampai sekarang pemeluk agama lain tetap hidup dengan aman.
Pengibaratan kondisi etnis Rohingya di Maungdaw adalah ”mayoritas rasa minoritas” tidak hanya terjadi di perkotaan saja tetapi juga sampai ke desa-desa yang dihuni oleh etnis Rohingya. Kami dapat melihat kondisi tersebut di desa yang kami kunjungi yaitu desa Thi Hoe Kyun. Pada tanggal 8 Mei 2017, Lazis Wahdah bersama tim AKIM mengunjungi etnis Rohingya di desa Thi Hoe Kyun.
Saat kami tiba di desa Thi Hoe Kyun, begitu banyak masyarakat etnis Rohingya yang berdatangan menghampiri kami dan semua mata mereka tertuju kepada kami. Saya bersama tim diajak ke kantor desa mereka yang sangat sederhana, satu per satu tokoh masyarakat mereka masuk ke kantor desa tersebut. Etnis Rohingya yang hadir dalam pertemuaan tersebut semuanya laki-laki. Dari penampilannya Nampak semangat untuk istiqomah menjalankan syariat Islam, bahkan tidak memperbolehkan wanita muslimah bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahram, dan ketika itu anggota tim AKIM yang semuanya laki-laki, maka tak seorang pun wanit hadir dalam pertemuan tersebut. Pembincangan pun dimulai dengan dibantu oleh penerjemah, Ang Sumo, staff KBRI yang bisa berbahasa Indonesia.
Ketika salah satu anggota tim menanyakan tentang kondisi mereka setelah terjadi konflik pada Oktober 2016, semuanya menjadi terdiam dan tidak ada satu pun yang berani berbicara. Akhirnya kami sadar bahwa penyebab mereka diam dan takut menjawab pertanyaan kami tersebut karena ada pihak pemerintah Maungdaw yang ikut mengawal dan hadir bersama kami. Hingga akhirnya, kepala desa mereka meminta untuk tidak menanyakan terkait konflik yang terjadi pada Oktober 2016 silam. Saya dapat melihat dengan jelas raut wajah mereka yang menunjukan trauma yang sangat dalam terhadap kejadian tersebut. Melihat kondisi tersebut, kami pun hanya menanyakan tentang program bantuan apa dari segi kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang paling dibutuhkan. Mereka pun mulai bercerita tentang kondisi yang mereka alami dan segala kebutuhan yang mereka harapkan.
Hampir satu jam saya dan tim mendengar kelu kesah etnis Rohingya di Thi Hoe Kyun, sangat memperihatinkan ucapku dalam hati. Setelah pertemuan resmi selesai, ada satu warga Rohingya yang menghampiriku dan Ang Sumo, dia mengatakan bahwa etnis Rohingya membutuhkan fasilitas kesehatan untuk ibu hamil karena banyak diantara ibu hamil yang meninggal karena terlambat mendapat penanganan medis disebabkan jauhnya fasilitas kesehatan dari desanya.
Setelah pertemuan tersebut, saya dan tim AKIM mengunjungi pasar tradisional mereka yang sementara sedang direnovasi. Begitu banyak warga Thi Hoe Kyun yang mengerumuni kami, seakan mereka ingin menyampaikan sebuah pesan kepada kami. Ada satu diantara mereka berkata dalam bahasa melayu, ”anda dari Indonesia?” kami pun lantas menjawab, ”iya”. Dia pun bertanya,”Anda muslim?”. Kami menjawab,”iya”. Senyum lebar pun terpancar dari wajah mereka. Beberapa diantara mereka mulai berani bercerita tentang kondisi etnis Rohingya yang memperihatinkan. Mereka berani bercerita karena dua pegawai pemerintah Maungdaw tidak berada di pasar tersebut. Mereka mengatakan bahwa pemerintah tidak begitu memperhatikan kondisi mereka. Mereka menuangkan semua curahan hati dan penderitaan yang telah mereka alami kepada kami, muslim Indonesia. Mereka sangat terlihat begitu respect terhadap muslim Indonesia.
Satu tempat yang menjadi perhatian saya adalah pesantren yang terletak di depan pasar Thi Hoe Kyun. Sebenarnya saya berkeinginan untuk masuk ke pesantren tersebut tetapi tidak direkomendasikan oleh pemerintah Maungdaw. Berdasarkan informasi dari seorang warga desa Thi Hoe Kyun bahwa pemerintah melarang mengajarkan bahasa Arab di pesantren tersebut. Wahai kaum muslimin indonesia, coba bayangkan begitu susahnya muslim Rohingya dalam melakukan aktivitas ibadah mereka.
Selain larangan belajar dan mengajarkan bahasa Arab, pemerintah juga melarang warga Thi Hoe Kyun untuk menutup pagar mereka dengan penutup (hijab yang dari terpal). Semua kondisi rumah harus terlihat dari luar karena pemerintah khawatir ada warga yang melakukan pertemuan untuk melakukan makar kepada pemerintah. Padahal warga Thi Hoe Kyun melakukan hal tersebut untuk menjaga istri-istri mereka agar tidak dilihat oleh laki-laki yang bukan mahramnya.
Mungkin ada yang bertanya, apakah ada masjid dari desa Thi Hoe Kyun? Ketika saya hendak mengunjungi sekolah Thi Hoe Kyun, terlihat dari kejauhan bangunan yang beratap merah. Saya bertanya kepada Ang Sumo, bangunan apa itu? Warga Thi Hoe Kyun menjawab masjid. Oh.. itu masjid ya, letaknya cukup jauh dari pemukiman warga Thi Hoe Kyun. Lagi-lagi saya dan tim tidak mendapat akses ke masjid tersebut. Kami hanya mengunjungi sekolah etnis Rohingya yang terlihat sudah tidak terawat. Saat itu sekolah masih libur sehingga tidak ada aktivitas belajar yang kami dapat saksikan di sekolah tersebut.
Sekian silahturahmi kami dengan etnis Rohingya di desa Thi Hoe Kyun. Semoga pembaca dapat mengambil pelajaran terutama tumbuhnya kepedulian kita kepada etnis Rohingya yang tertindas dan paling tertindas di muka bumi ini sebab mereka tidak ada yang mengakui sebagai warga Negara manpun.[]
Laporan : Syamsir,SKM,M.Kes,
– Alumni FKM dan Aktivis MPM UNHAS
– TIM Program LAZIS Wahdah