Ilustrasi pemimpin saleh

Keberadaan pemimpin yang saleh dan muslih adalah dambaan setiap umat. Sebuah ungkapan dari Khalifah Usman radhiyallahu ‘anhu menggambarkan pentingnya karakter utama pada seorang pemimpin.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala memberikan kewenangan pada penguasa untuk menghilangkan sesuatu (keburukan) yang tidak bisa dihilangkan oleh (peringatan) Al-Quran.”  Ungkapan populer yang diucapkan Khalifah Usman radhiyallahu ‘anhu ini menunjukkan betapa urgennya suatu tampuk kekuasaan berada di tangan orang-orang yang saleh sekaligus muslih (melakukan perbaikan).

Karena, banyak di antara manusia bahkan umat Islam yang tidak bisa dihalangi dari berbuat keburukan dengan hanya nasehat dan peringatan Al-Quran, namun mereka malah bisa dihalangi dengan ancaman dan wewenang para penguasa yang saleh.

Dari sini kita bisa memahami bahwa kesalehan adalah karakter utama yang mesti ada pada diri seorang penguasa. Kesalehan tersebut akan menjauhkan dirinya dari berbagai maksiat dan mengontrol tingkah laku dirinya sebagai pemegang wewenang agar ia bisa berlaku adil pada seluruh rakyat dan kekuasaan tersebut tidak ia salah gunakan.

Adapun status muslih maka ia adalah beban paling berat yang wajib diembannya dalam menjalankan roda pemerintahannya, sebab tujuan utama dirinya diangkat sebagai penguasa adalah untuk melakukan islah atau perbaikan di seluruh lini kehidupan baik ukhrawi atau duniawi: “Aku tidak bermaksud kecuali mendatangkan islah (perbaikan) selama aku mampu. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan pertolongan Allah.” (Terjemahan QS Hud: 88).

Oleh karena itu, keberadaan pemimpin yang tidak memiliki dua karakter urgen ini atau tidak memiliki salah satunya akan memunculkan ketidakadilan, kezaliman dan merajalelanya berbagai maksiat di seluruh lapisan masyarakat.

Bahkan tanpanya ia akan menentukan berbagai kebijakan dan keputusan semata-mata demi memuaskan ego dirinya dan mewujudkan maslahat hawa nafsunya, sehingga ia tak akan peduli dengan berbagai kerusakan agama dan akhlak serta kemiskinan yang menimpa rakyatnya asal dirinya tetap hidup tenang dan nyaman.

Padahal, pemimpin yang ideal itu adalah yang Allah Ta’ala sebutkan karakternya dalam Al-Quran: “(Yaitu) mereka yang jika Kami berikan mereka kekuasaan memerintah di bumi, niscaya mereka tetap mendirikan shalat serta membayar zakat, dan mereka menyuruh berbuat kebaikan  serta melarang dari kemungkaran…” (Terjemahan QS Al-Hajj: 41)

Kesalehan dirinya terlihat dari pengamalannya terhadap berbagai kewajiban agama yang di antara paling urgen adalah amalan shalat dan zakat.

Sedangkan sikap muslihnya terdapat dalam keaktifannya dalam menjalankan syiar amar makruf nahi mungkar, mengajak rakyatnya kepada kebaikan dan menghalangi mereka dari berbagai keburukan dan maksiat. 

Pemimpin yang tidak saleh dan tidak muslih hanya akan menjadi beban berat bagi rakyatnya. Bila kezaliman dirinya dirasakan juga oleh orang-orang saleh dan para ulama yang ikhlas dan muslih, maka ia akan mendapatkan dua ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi: 

Pertama: Ancaman berupa doa: “Wahai Allah, siapa saja yang menjadi penguasa umatku lalu ia menyusahkan mereka maka susahkanlah dirinya, sebaliknya siapa saja yang menjadi penguasa umatku lalu ia memudahkan mereka, maka mudahkanlah dirinya.” (HR Muslim: 1828).

Kedua: Ancaman berupa kecaman: Tidaklah seorang hamba diberikan amanat kekuasaan oleh Allah untuk mengurus rakyatnya, lalu ia malah mati dalam keadaan menipu (menyusahkan) rakyatnya, niscaya Allah akan mengharamkan surga baginya.” (HR Muslim: 142).

Nah, ciri utama pemimpin yang saleh lagi muslih adalah menjalankan kewajiban yang Allah Ta’ala embankan pada dirinya. Juga tidak hanya menggelontorkan dana secara boros pada agenda-agenda keduniaan dan kesenangan sesaat atau kemaksiatan dan pelanggaran agama, lalu pada waktu sama berpaling dari agenda-agenda agamis, atau ia memberikannya suntikan dana namun seadanya.

Karakter pemimpin seperti ini merupakan ciri ketidaksalehan yang menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok yang hanya mementingkan kehidupan dunia semata dan berpaling dari kehidupan akhirat. Padahal Allah Ta’ala telah mengingatkan:  “Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggalnya.” (Terjemahan QS An-Nazi’at: 37-39).

Pemimpin saleh lagi muslih yang seharusnya kita dambakan adalah yang mementingkan visi agama dan akhirat dan menjadikan visi misi keduniaan sebagai sarana untuk mewujudkan visi agama tersebut.

Bila seorang pemimpin mewujudkan hal ini, maka ia akan berlaku adil dan menjalankan amanah kepemimpinannya dengan sebaik-baiknya karena ia meyakini bahwa pertanggungjawaban terbesar baginya adalah di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia: “Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin atas rakyatnya, dan akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim).

Bila kesalehan lebih memerlukan sikap istiqamah dan ketegaran, maka sikap muslih lebih memerlukan karakter kekuatan dan ketegasan. Karena istiqamah dan kekuatan inilah yang akan membuat para rakyat merasa taat dan segan terhadap sosok pemimpin mereka, bukan pemimpin yang lemah atau malah menjadi bahan ejekan rakyat dan masyarakatnya.

Karena, jika pekerja kecil saja memerlukan sikap amanah dan kekuatan, maka pemimpin suatu umat dan bangsa yang besar lebih pantas menanamkan sikap amanah dan kekuatan tersebut dalam dirinya: “Sesungguhnya orang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja ialah yang kuat lagi memiliki sifat amanah.” (Terjemahan QS Al-Qashshash: 26).

Kekuatan yang dimaksud adalah kekuatan jasad dan ilmu atau pandangan baik dari skill pemerintahan atau lainnya, sebagaimana ucapan seorang nabi Bani Israil yang mengabarkan pada mereka bahwa Allah telah menunjuk Thalut yang memiliki kekuatan jasad dan ilmu sebagai pemimpin mereka: “Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) sebagai rajamu, dan menganugerahkan padanya ilmu dan tubuh yang perkasa.” (Terjemahan QS Al-Baqarah: 247) 

Syaikh Ibnu ‘Asyur rahimahullah menegaskan: “(Dalam ayat ini), nabi mereka (Bani Israil) mengabarkan bahwa karakter yang sangat diperlukan oleh orang yang mengatur urusan umat ini berkisar pada kedalaman pandangan (ilmu) dan kekuatan badan, karena dengan kekuatan pandangan dirinya bisa mengetahui maslahat keumatan… dan dengan kekuatan dirinya ia akan sanggup untuk tegar dalam momen perang (dan mara bahaya), sehingga ketegaran atau kekuatannya akan menjadi pelecut kekuatan pasukannya.” (At-Tahrir wa At-Tanwir: 2/491).

Oleh karena itu, sudah sepantasnya umat islam mendambakan kehadiran para pemimpin atau penguasa yang saleh lagi muslih, yang memperhatikan urusan ukhrawi dan duniawi mereka, yang mencintai para ulama dan para dai, serta memperjuangakan suara dan aspirasi mereka. Para pemimpin yang berkuasa bukan untuk maslahat diri dan kelompoknya, tapi untuk kemaslahatan seluruh rakyat yang diurusnya. Semoga segera terwujud. Aamiin.

Demikianlah artikel tentang pemimpin saleh dan muslih ini. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang Al-Qur’an.

Oleh: Maulana La Eda, Lc., MA.