LAZISWahdah.com – أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا
”Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” Demikian lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang lembut bersabda. Kalimat singkat itu terucap kepada istri beliau yang ikut terjaga di suatu malam.
Setelah menyaksikan sang suami ruku dan sujud, malam itu. Di saat kebanyakan orang terlelap setelah penat bekerja di siang hari. Rasulullah yang juga sibuk dengan aktifitas dan dakwahnya di siang hari, malam itu, beliau tampak tuma’ninah menghadapkan wajah kepadaNya dalam ketundukan.
Tampak jelas, kaki beliau yang bengkak pun mengundang tanya, “mengapa masih melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang dulu maupun yang akan datang?” Demikian kata istri beliau seperti tercatat dalam kitab hadits oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
“Afalaa akuwnu ‘abdan syakuran, Tidak pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan gamblang menegaskan tentang pentingnya bersyukur. Kalimat di atas layaknya juga ditujukan kepada kita, ummatnya, atas segala nikmat yang lebih sering terlupakan.
Kurang pekanya kita terhadap nikmat Allah akan mengurangi rasa syukur kita, sebab boleh jadi, di antara kita ada yang merasa tidak ada yang perlu disyukuri lagi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk meningkatkan kepekaan dengan sejenak melakukan perenungan terhadap apa yang terjadi pada hidup kita sehari-hari.
Mari, luangkan waktu Anda untuk merenungkan nikmat-nikmatNya saat ini.
Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Dalam surah ar-Rahman, Allah menyebutkan nikmat-nikmat yang banyak sekali.
Ustadz Bachtiar Nasir saat menjelaskan kandungan ayat dalam surah ar-Rahman mengatakan bahwa ada yang istimewa dari Surat ar-Rahman yaitu adanya pengulang-ulangan ayat sebanyak 31 kali dalam surah ar-Rahman. Arti dari ayat ini adalah: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Ungkapan ini sejatinya ditujukan kepada bangsa jin dan manusia.
Menurut Ustadz Bachtiar, hikmah di balik pengulangan ayat ini, antara lain, sebagaimana yang kita ketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan di antara gaya penyampaian (uslub)-nya adalah pengulangan (tikrar) untuk menguatkan kesan dan mendalamkan pemahaman ayat.
Beliau mengutip penjelasan ulama, Imam Al-Suyuthi dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulumil Qur`an yang menyebutkan bahwa pengulangan itu untuk memantapkan pemahaman, memberikan tekanan terhadap masalah yang dijelaskan, mengingatkan kembali, serta menunjukkan betapa besar dan pentingnya masalah itu.
Hal itu sama seperti perkataan seseorang kepada orang yang selalu ditolong tapi dia mengingkarinya. Bukankah kamu dahulu fakir kemudian saya berikan kamu harta, apakah kamu mengingkari itu? Bukankah kamu dahulu tidak punya pakaian kemudian saya beri kamu pakaian, apakah itu juga kamu ingkari? Gaya bahasa seperti ini biasa digunakan dalam bahasa Arab.
Lalu, pengulangan ayat ini bertujuan mengingatkan hamba untuk selalu ingat dan bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa harus menunggu dan menghitung nikmat-nikmat Allah yang tidak akan bisa dihitung.
Syukur dalam lisan dan perbuatan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah atas segala karunianya.
Pembaca yang budiman, mari kembali membuka lembaran sejarah kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di saat tertimpa musibah atau melihat sesuatu yang tidak menyenangkan sekalipun, beliau tetap memuji Allah dan memberikan tuntunannya kepada kita.
Dari Aisyah, kebiasaan Rasulullah jika menyaksikan hal-hal yang beliau sukai adalah mengucapkan “Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat.” yang artinya “segala puji bagi Allah yang dengan nikmatNya sempurnalah segala kebaikan”. Sedangkan jika beliau menyaksikan hal-hal yang tidak menyenangkan beliau mengucapkan, “Alhamdulillah ‘ala kulli hal.” yang artinya “segala puji bagi Allah dalam setiap keadaan”. (HR. Ibnu Majah dinilai hasan oleh syaikh al-Albani).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa syukur yang dianjurkan untuk dibaca setiap pagi dan sore:
اللَّهُمَّ مَا أَصْبَحَ بِي مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنْكَ وَحْدَكَ، لَا شَرِيكَ لَكَ، فَلَكَ الْحَمْدُ، وَلَكَ الشُّكْرُ
“Ya Allah! Nikmat yang kuterima atau yang diterima oleh seseorang di antara makhlukMu di pagi ini, semuanya adalah dariMu semata, tiada sekutu bagi-Mu. Karena itu, hanya bagiMu segala puji dan hanya kepadaMu rasa syukur (dari seluruh makhluk-Mu).”
Disebutkan dalam hadis dari Abdullah bin Ghannam Al Bayadli radhiyallahu ‘anhu, bahwa orang yang di pagi hari membaca: “Allahumma maa ash-baha bii min ni’matin…” berarti dia telah memanjatkan syukurnya pada hari tersebut. (HR. Abu Daud)
Lawan Syukur adalah Kufur
Seseorang dianggap telah bersyukur kepada Allah ketika dia menyadari, saat ia jujur mengakui, bahwa sebenarnya, apa yang dia miliki murni pemberian Allah, dan bukan karena usahanya semata. Dia juga menampakkan nikmat itu sebagai karunia dari Allah dan tidak menyembunyikannya. Karena sesungguhnya, Allah sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji Allah Ta’ala.
“Dan atas nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. (Terjemahan QS. Adh Dhuha: 11)
Sejatinya syukur lebih pada amal hati. Sementara ucapan lisan dan amal perbuatan adalah ekspresi atau perwujudan syukur yang ada dalam hati seorang hamba. Kalimat inti dalam syukur adalah memuji dzat yang telah memberi nikmat
Sebaliknya, lawan syukur adalah kufur atau ingkar nikmat. Ketika seseorang melupakan, menyembunyikan, merasa tidak mengakui itu pemberian dari Allah, maka dia telah kufur nikmat.
Tak jarang kita jumpai, sebagian orang menyandarkan nikmat yang ia terima kepada selain Allah. Misalnya seorang ketika dalam kesulitan yang menggelisahkan hatinya, tiba-tiba temannya datang memberikan pertolongan. Kemudian serta merta hati dia menjadi tenang dan lisannya berucap, “Untung ada kamu, coba kalau tidak… pasti akan terjadi begini dan begitu.”
Tentu saja ucapan dan makna kalimat itu keliru. Karena sesungguhnya nikmat pertolongan itu datang dari Allah Ta’ala. Seharusnya, ucapan tahmid, memuji kebesaran Allah mengawali rasa syukurnya sebelum berterima kasih. Sebab Allah-lah yang menjadikan sebab datangnya seseorang dan mengilhamkannya untuk mewujudkan pertolongan, atas izinNya.
Dan sudah sepatutnya kita menyandarkan hati/tawakal hanya kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman :
“Mereka mengetahui nikmat Allâh, kemudian mereka mengingkarinya” (Terjemahan QS : An-Nahl:83).
Seorang Ulama Besar, Syaikh ‘Utsaimin dalam kitab Qaul al-Mufid menjelaskan makna ayat tersebut, bahwa, mereka yang mengingkari penyandaran nikmat kepada Allah, menjadikan penyandaran hatinya hanya kepada sebab. Mereka lupa kepada yang menciptakan sebab yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Pembaca yang budiman, Kita memang adalah mahluk pelupa, dan Allah telah mengingatkan kita berulang-ulang. “Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?”
Semoga kita termasuk dalam orang-orang yang mengingat nikmat Allah Ta’ala dengan bersyukur.
اَللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ، وَشُكْرِكَ، وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ .
“Ya Allah! Berilah pertolongan kepadaku untuk menyebut namaMu, syukur kepadaMu dan ibadah yang baik untukMu.” Aamiin.[]
***
Sumber : Majalah Sedekah Plus