LAZISWahdah.com – Pernah suatu kali penulis diminta menyampaikan ceramah untuk para santri di sebuah pondok Pesantren. Mungkin melihat back ground penulis yang bukan dari Pondok, setelah selesai acara seorang santri mendekati penulis dan bertanya lebih jauh tentang penulis. Singkat cerita, santri itu mengandai,”Ustadz, enak ya belajar tanpa harus mondok, ilmu langsung bisa diterapkan untuk dakwah di masyarakat, sehingga lebih mudah nyantholnya. Ilmu syar’inya dapat, retorika dakwahnya juga terlatih. Beda kalau di Pondok, hanya menimba ilmu dan menyimpannya, sehingga gampang lupanya.”
Di kesempatan lain sebelum itu, seseorang yang tidak sempat mengenyam dunia Pondok Pesantren ada yang mengeluh ke Penulis. Dia berkata, “Ustadz, ternyata sulit ya, belajar ilmu syar’i tanpa masuk Pondok Pesantren.”
Kedua kasus di atas bisa jadi mewakili banyak orang, meskipun dengan problem yang berbeda.
Seperti orang yang pesimis untuk memacu prestasi dalam ilmu syar’i lantaran terbentur ekonomi. Di pihak lain, ada yang berkecukupan ekonomi, terbiasa dengan kenyamanan dan kemapanan, iapun merasa berat jika harus bersusah payah untuk mendapatkan ilmu syar’i. Iapun menggunakan alibi yang ‘masuk akal’, “Mungkin itu bukan bidang saya, yang penting saya taat beribadah.”
Intinya, mereka tidak melihat adanya peluang dalam kesempitan. Atau trauma dengan berbagai kelemahan dan hambatan saat terbukanya peluang dan kesempatan. Sehingga kesempatan itu terlewatkan.
Setiap cita-cita, siapapun yang memilikinya, pasti disertai faktor-faktor yang mendukungnya, namun tak sedikit faktor penghambatnya. Di sinilah nanti akan terlihat, siapa orang yang berjiwa optimis, siapa yang bermental pesimis.
Orang yang pesimis melihat adanya hambatan setiap kali melihat peluang. Sedangkan orang yang optimis, melihat dalam kesempitan sekalipun, pasti ada peluang. Beda dari keduanya, tergantung dari sisi mana keduanya melihat.
Kesempatan, yang Dianggap Hambatan
Untuk menggambarkan perbedaan sikap antara yang pesimis dan yang optimis ketika menghadapi masalah yang sama, kita bisa mengambil contoh. Dua orang yang sama-sama tuna netra, tidak bisa melihat apa-apa. Jika dituntut kepadanya untuk menghafal al-Qur’an, akan terlihat, siapa yang optimis, siapa yang pesimis. Yang satu akan mengatakan, bagaimana mungkin saya menghafalnya, sedangkan untuk membaca saja tidak bisa?” Namun, si tuna netra yang optimis akan berkata lain, “Banyak maksiat yang membuat hilangnya hafalan disebabkan karena pandangan mata. Maka, dengan tuna netra, hafalan bisa tahan lama, karena tak ada maksiat yang dilakukan oleh mata.” Sekali lagi, tergantung dari sisi mana mereka melihat. Kita yang bisa melihat juga terbagi menjadi dua. Jika kita diminta menghafal ayat atau hadits, sebagian melihat sebagai hambatan, yang lain memandang sebagai peluang. Yang satu mengatakan, sulit sekali menjaga hafalan, karena mata sulit terhindar dari pandangan yang haram. Tapi orang lain, melihat dari sisi yang lain pula. Dengan mata melihat, bisa mengulang-ulang hafalan semaunya, sehingga hafalan bisa terjaga.
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahullah di masa hidupnya sebagai pimpinan mufti di Saudi, beliau juga dikenal sebagai ulama yang handal, banyak menghafal matan kitab-kitab para ulama. Padahal, beliau seorang yang tuna netra.
Kemiskinan bagi Imam asy-Syafi’i bukanlah halangan dalam meraih cita-cita. Karena justru dengan kondisi itu ia mudah beradaptasi karakter ilmu yang memang harus dicari dengan susah payah. Beliau mengatakan, “Seseorang tak akan mampu mengenyam manisnya ilmu sebelum merasakan pahitnya kemiskinan dan kesusahan.”
Bandingkanlah dengan orang-orang yang pesimis hari ini. Yang tidak mau menghadiri majlis ilmu dengan alasan kesulitan transportasi, tidak pula membaca buku dengan alasan tak mampu membeli.
Bagi syeikh Ahmad Yasin (semoga Allah menerimanya sebagai syahid), lumpuh bukanlah udzur baginya untuk mengambil peran dalam perjuangan. Justru ketika beliau merasa tidak mampu menjadi pasukan infantri yang harus berlari, atau pasukan gunung yang harus mendaki, maka beliau berjihad dengan lisannya, beliau berperang dengan strateginya. Hingga Israel tidak pernah merasa nyaman dan leluasa menindas Palestina selagi beliau masih berada di atas kursi rodanya.
Hambatan, Meningkatkan Kemampuan
Ketika ada hambatan di jalan, atau ritangan yang menghalangi cita-cita mulia, bahkan musibah yang datang tiba-tiba, itu hanyalah ujian yang justru akan menguatkan kita. Allah telah mengukur kemampuan kita sebelum membebani kita, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS al-Baqarah 286)
Beban ujian itu telah terukur. Dan Allah tidak mungkin salah mengukur. Jikalau akhirnya seseorang gagal, bukan karena beban yang melebihi kemampuan, tapi karena si teruji enggan mengerahkan kemampuannya. Seringkali kita tidak sadar, bahwa ujian itu adalah sarana Allah untuk mencerdaskan kita, untuk meng-upgrade kemampuan kita, dan wahana untuk meningkatkan potensi kita. Hingga nilai setiap aktivitas kita bertambah baik di sisi Allah, kemudian di sisi manusia juga.
Alangkah bijak jika kita anggap hambatan sebagai sarana untuk mengasah kemampuan, sembari memohon pertolongan kepada Allah agar kita mampu melampauinya. Seperti pesan Nabi,
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلَا تَعْجَز
“Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan merasa lemah.” (HR Muslim)
Wallahu a’lam.
Sumber : Majalah Ar Risalah