Shalat terdiri atas rukun, sunah ab’adh, dan sunah hai’ah. Fardu atau rukun shalat ada tiga belas, yaitu sebagai berikut:
1. Niat dalam Hati
Rukun shalat pertama adalah niat yang artinya “menyengaja”. Kita dianjurkan untuk mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, untuk membantu hati agar terhindar dari was-was. Dalam shalat sunah mutlak seperti tahiyatul masjid dan shalat sunah wudu, kita cukup berniat melaksanakan shalat, untuk membedakan ibadah dengan perbuatan yang lain. Shalat sunah mutlak yaitu shalat yang tidak dibatasi oleh waktu dan sebab.
Niat wajib dilaksanakan dalam sebagian salat, dan menjadi rukun pertama shalat. Jadi, niat termasuk rukun seperti takbir, ruku’, dan lainnya. Sebagian ulama, seperti al-Ghazali, mengategorikan niat sebagai syarat shalat.
Adapun shalat sunah yang mempunyai sebab seperti shalat Istisqa’ (meminta hujan), shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, shalat ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri, atau shalat sunah yang terikat waktu seperti shalat rawatib, Duha, dan Tahajud, harus meniatkan dua hal, yaitu al-Qasdu (menyengaja melaksanakan shalat) dan al-Ta’yin (menentukan jenisnya) untuk membedakan dari shalat yang lain. Sedangkan dalam shalat fardu, niat harus memuat tiga hal, yaitu a) al-Qasdu (menyengaja); b) al-Ta’yin (menentukan); c) al-Fardhiyah (menyebutkan kefarduan).
Ketika berniat shalat, kita dianjurkan menyebut bilangan rakaat untuk membedakan antara shalat orang yang mukim dan musafir. Selain itu juga dianjurkan menyandarkan shalat kepada Allah, dan memperjelas status shalat: ada’ (shalat pada waktunya) atau qadha’. Shalat ada’ dengan niat qadha’ hukumnya sah, demikian pula sebaliknya.
Dalil kewajiban niat terdapat dalam firman Allah Ta’ala,
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ ٥ ﴾ ( البيّنة/98: 5))
Terjemahannya:
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah/98:5)
Al-Mawardi berpendapat bahwa “ikhlas” menurut kalangan ahli fikih bermakna niat. Dipertegas dengan hadis riwayat Umar -radhiyallahu ‘anhu- yang artinya, “Amal perbutan tergantung niatnya; dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan,” (Muttafaqun ‘alaih).
2. Takbiratul Ihram
Yaitu mengucapkan “Allahu akbar” dalam posisi berdiri tegak bagi yang mampu melafalkannya. Hal ini dicontohkan dalam perbuatan Rasulullah dan sabdanya, “Salatlah seperti kalian melihatku shalat,” (HR. al-Bukhari). Dalam riwayat lain disebutkan, “Kunci shalat adalah wudhu, pengharam shalat adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam. Jika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- hendak melaksanakan shalat, beliau menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan, dan mengucapkan ‘Allahu Akbar’.”
Menyela secara singkat dua kata takbir ‘Allah’ dan ‘akbar’ dengan diam yang dibutuhkan untuk bernapas hukumnya diperbolehkan.
Apabila kalimat takbir tersebut disela dengan selain sifat Allah, misalnya Allah huwa akbar (disela dengan kata ganti orang ketiga), atau penambahan sifatnya terlalu banyak seperti Allah alladzi la ilaha illa huwal malikul quddusu Akbar, atau diam terlalu lama, atau menambah huruf yang dapat mengubah makna seperti memanjangkan hamzah kata ‘Aaallah’, menambah alif setelah ‘ba’ pada kata ‘akbar’ (akbaaar), menambah ‘wawu’ mati atau ‘wawu’ berharakat diakhir kata ‘Allah’ (Allahuu Wakbar), atau menambah ‘wawu’ sebelum kalimat takbir seperti Wallaahu Akbar, takbirnya tidak sah. Mentasydid huruf ‘ba’ kata ‘akbar’ (akabbar) juga mengakibatkan batalnya takbir, karena ini mengubah makna.
Orang yang tidak mampu mengucapkan takbir dalam bahasa Arab boleh menerjemahkannya ke dalam bahasa apa pun. Dia wajib belajar meski harus melakukan perjalanan jauh jika mampu. Untuk alasan belajar ini pula, dia wajib mengakhirkan shalat, jika diharapkan dalam waktu tersebut bisa bertakbir dalam bahasa Arab, selama masih tersisa waktu yang cukup untuk melaksanakan permulaan shalat.
Orang yang shalat disunahkan mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundaknya ketika takbir. Hal ini sesuai dengan hadis Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhu- bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- mengangkat kedua tangan sejajar dengan kedua pundak saat memulai shalat. Artinya, ketika takbir, ujung jemari sejajar dengan telinga bagian atas, kedua ibu jari sejajar dengan bagian bawah daun telinga, dan kedua telapak tangan sejajar dengan pundak. Jika tidak memungkinkan melakukan cara yang dianjurkan ini, dipersilakan melakukan takbir menurut kemampuannya.
Menurut pendapat yang ashah, kedua tangan diangkat bersamaan dengan permulaan takbir untuk meneladani sunnah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, sebagaimana disebutkan dalam al-Shahihain (Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim).
Ketika bertakbir dipersyaratkan suara takbir terdengar oleh diri sendiri. Begitu halnya bacaan-bacaan yang diwajibkan seperti al-Fatihah, Tahiyat Akhir dan seluruh rukun qauliyah lainnya. Hal ini juga dianjurkan pada sunnah-sunnah qauliyah agar memperoleh pahala sunnah.
3. Berdiri dalam Shalat Fardu bagi yang Mampu, walaupun dengan Penyangga
Syarat berdiri yaitu meluruskan tulang punggung, bukan tulang leher. Jika tidak mampu berdiri, boleh berdiri membungkuk. Jika itu tidak mampu, boleh salat sambil duduk, dan ruku’ dengan cara meluruskan dahi pada bagian depan lutut. Yang afdal menyejajarkan dahi pada tempat sujud. Praktik kedua ruku’ ini sebanding dengan ruku’nya orang yang melakukan salat berdiri.
Jika tidak mampu duduk, boleh salat sambil berbaring miring dengan tumpuan lambung. Lebih afdhal lambung bagian kanan. Jika masih tidak mampu, boleh salat terlentang dengan cara menyandarkan kepala pada sesuatu (bantal misalnya) agar bisa menghadap kiblat. Ruku’ dan sujud dilakukan lewat isyarat kepala. Isyarat untuk sujud lebih lama dibanding isyarat untuk ruku’. Jika tidak mampu terlentang, boleh salat dengan cara isyarat dengan kedipan mata. Jika tidak mampu salat dengan isyarat, salatlah dengan menjalankan seluruh rukun salat dalam hati.
Dengan demikian tidak sah salat dengan posisi berdiri miring atau bungkuk. Jika seseorang tidak bisa berdiri tegak karena sakit atau berusia lanjut sehingga bertubuh bungkuk, menurut pendapat yang sahih dia wajib salat dalam posisi seperti itu. Posisi membungkuk hampir mendekati posisi berdiri. Ketika ruku’ dia cukup menambah memiringkan tubuhnya, jika mampu, untuk membedakan dua rukun (berdiri dan ruku’).
Apabila seseorang hanya bisa berdiri, tidak bisa ruku’ dan sujud, maka salatlah sambil berdiri, sedangkan ruku’ dan sujud dilakukan dengan memiringkan tubuh semampunya. Dalam sebuah hadis sahih disebutkan, “Apabila aku perintahkan kalian untuk melakukan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” Jika tidak mampu memiringkan tubuh, lakukanlah dengan menundukkan leher dan kepala. Jika tidak mampu juga, lakukanlah ruku’ dan sujud dengan isyarat.
Apabila orang yang salat hanya mampu melakukan ruku’ saja, tidak bisa bersujud, lakukanlah ruku’ dua kali: pertama untuk ruku’ dan kedua untuk sujud. Jika dia mampu melakukan posisi lebih dari ruku’, dia harus melakukan ruku’ secara sempurna dan dengan menambah membungkuk dalam sujud. Orang yang hanya mampu berdiri dan berbaring saja maka berdiri sebagai ganti duduk.
Lakukanlah salat sambil duduk jika tidak mampu berdiri. Duduk iftirasy seperti duduk ketika tahiyat awal lebih afdhal daripada duduk tarabbu’ (duduk sila), menurut pendapat yang azhar. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang seseorang duduk dengan merapatkan bokong dan menjadikan kedua kaki di samping kiri dan kanan, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dan disahihkan oleh al-Hakim.
Salat sunah rawatib dan lainnya berdasarkan ijma’ boleh dikerjakan sambil duduk walau mampu berdiri, juga boleh dengan posisi tidur atau berbaring menurut pendapat yang ashah. Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Orang yang salat berdiri itulah yang lebih utama. Pahala orang yang salat duduk setengah dari pahala salat berdiri. Orang yang salat berbaring mendapatkan setengah dari pahala orang yang salat duduk.” (HR. al-Bukhari). Pengurangan pahala ini berlaku ketika mampu berdiri. Jika memang tidak mampu berdiri, pengurangan pahala ini tidak terjadi.
Dalil kewajiban berdiri bagi yang mampu dan adanya keringanan bagi yang tidak mampu yaitu hadis al-Bukhari dari Imran bin Hushain yang artinya, “Aku menderita penyakit ambeien, lalu bertanya kepada Nabi perihal salatku. Nabi menjawab, ‘Salatlah dengan posisi berdiri, atau duduk kalau tidak mampu; salatlah sambil berbaring jika tidak bisa duduk.” al-Nasa’i menambahkan, “Salatlah sambil terlentang jika tidak mampu duduk. Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kemampuannya.”
Ketentuan di atas telah menjadi ijma’ umat, dan termasuk urusan agama yang diketahui secara pasti (ma’lum min ad-din bi adh-dharurah). Berbeda halnya dengan ketentuan salat fardu dan orang yang tidak mampu. Kesimpulannya, pahala orang yang salat duduk yang mampu berdiri separuh pahala orang yang salat berdiri; dan pahala orang yang salat berbaring separuh pahala orang yang salat duduk. Hal ini berlaku pada salat ada’, i’adah (salat yang diulang dan masih dalam waktunya), ataupun qadha’.
Sebagian ulama mengecualikan beberapa permasalahan berikut,
1. Penumpang kapal yang takut tenggelam atau mabuk laut diperkenankan salat dalam posisi duduk, dan tidak harus mengulangi salatnya.
2. Orang yang terserang beser yang jika berdiri air seninya keluar, boleh salat dalam posisi duduk. Dia tidak harus mengulangi salatnya menurut pendapat yang ashah.
3. Apabila seorang dokter yang dapat dipercaya menyarankan orang yang matanya berair bahwa bila dia salat sambil berbaring penyakit itu bisa diobati, maka dia boleh salat tidak sambil berdiri menurut pendapat yang ashah. Salat jamaah seseorang yang dilakukan secara duduk dengan orang yang salat sambil berdiri hukumnya sah.
4. Pejuang yang bertugas mengintai musuh, jika salat sambil berdiri keberadaannya dapat diketahui musuh, atau mereka duduk di posisi yang memungkinkan dan seandainya berdiri diketahui musuh dan menggagalkan strategi perang, maka boleh salat dalam posisi duduk. Menurut al-mazhab, dia wajib mengulang salatnya sebab itu jarang sekali terjadi, kecuali bila khawatir diserang musuh.

Baca juga: Waktu-waktu shalat fardu
4. Membaca Surah Al-Fatihah pada Setiap Rakaat
Membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat hukumnya wajib bagi orang yang salat sendirian (munfarid), imam, dan makmum, baik dalam salat jahriyah (salat yang sunah mengeraskan bacaan seperti Maghrib, Isya, dan Subuh) maupun sirriyah (salat yang sunah melirihkan suara bacaan seperti Zuhur dan Asar), baik salat wajib maupun salat sunah. Hukum ini tidak berlaku bagi orang yang berhalangan seperti makmum yang masbuq, salat dalam kondisi berdesakan, lupa, atau makmum yang gerakannya lambat, misalnya dia baru bangkit dari sujud tapi imam sudah hampir atau sudah dalam keadaaan ruku. Hal ini karena bacaan surah al-Fatihah makmum sudah ditanggung imam, dan dalam kondisi demikian dia tidak dikenai perintah membaca al-Fatihah.
Dalil kewajiban membaca al-Fatihah secara mutlak adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya. “Tidak ada salat bagi orang yang tidak membaca surah al-Fatihah” (Muttafaq ‘alaih) dan hadis, “Tidak sah salat yang di dalamnya tidak dibaca surah al-Fatihah” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban). Diperkuat dengan hadis, “Salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat” (Mutafaq’alaih).
Adapun Firman Allah swt., “Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran,” (QS.al-Muzzammil [73]: 20) menerangkan soal salat malam, bukan tentang kadar banyaknya bacaan al-Qur`an. Ayat ini berikut hadis, “Kemudian bacalah ayat yang mudah bagimu dari al-Quran,” bisa juga ditujukan pada surah al-Fatihah atau pada orang yang tidak mampu membaca al-Fatihah.
Kewajiban membaca surah al-Fatihah juga berlaku pada saat berdiri yang kedua kali dalam salat gerhana matahari dan gerhana bulan, sebab setiap rakaat salat ini terdapat dua kali berdiri dan dua kali membaca surah.
Disunahkan membaca ta’awwudz sebelum memulai al-Fatihah. Adapun basmalah, merupakan bagian dari surah al-Fatihah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung al-Fatihah ada tujuh ayat, dan basmalah salah satu ayatnya, (HR. al-Bukhari). Al-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, “Apabila kalian membaca hamdalah, bacalah basmalah karena al-Fatihah adalah induk al Qur an, tujuh ayat yang diulang-ulang (as-sab’ al-matsa>ni>), dan basmalah termasuk salah satu ayatnya.”
Ibnu Huzaimah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ummu Salamah —radhiallahu ‘anha– bahwa Rasulullah menghitung basmalah satu ayat dan hamdalah (hingga akhir surah) enam ayat. Jumlah tasydid dalam surah al-Fatihah ada empat belas. Tiga di antaranya terdapat dalam basmalah. Jika seseorang tidak membaca tasydid pada satu kata dalam surah al-Fatihah maka bacaan kata tersebut batal, sebab dia telah mengubah susunan kata, mengingat tasydid merupakan lambang dari huruf-huruf yang sama. Apabila seseorang mengganti huruf ض dengan ظ pada kata adh-dhallin, menurut pendapat yang ashah, bacaan kata tersebut tidak sah karena telah mengubah susunan kata.
Surah al-Fatihah wajib dibaca secara berurutan ayat demi ayat dan berlanjut (muwalah), artinya menyambung kata yang satu dengan yang lain, tidak boleh memisahnya kecuali sekadar bernapas, sebab meneladani sunah sesuai hadis, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat.”
Jika bacaan al-Fatihah diselingi dengan dzikir lain yang tidak berhubungan dengan salat, keberlanjutan itu terputus meskipun selingannya sebentar. Misalnya, membaca tahmid ketika bersin, menjawab adzan, dan membaca tasbih ketika ada orang masuk, kecuali jika lupa. Apabila dzikir itu masih terkait dengan salat, seperti membaca amin atas bacaan al-Fatihah imam dan mengingatkan imam saat bacaannya terhenti, dia tidak memutuskan muwalah menurut pendapat yang ashah, karena semua itu dianjurkan bagi makmum. Termasuk yang memutus muwalah adalah diam lama yang disengaja, karena ada indikasi berpaling dari salat. Demikian halnya diam sebentar yang bertujuan memutus bacaan menurut pendapat ashah, karena pengaruh perbuatan berikut niat. Hal ini seperti memindahkan barang titipan dari tempatnya dengan niat berkhianat, Jika barang itu hilang, dia wajib mengganti.
Keabsahan bacaan al-Fatihah disyaratkan tidak ada unsur lahn (kesalahan gramatika) yang dapat merusak makna seperti membaca tu pada kata an’amta (menjadi an’amtu), membaca kasrah (an’amti), atau bacaan syadz (bacaan selain qira’ah sab’ah) yang mengubah makna dan menambah atau mengurangi bacaan. Jika seseorang melakukan hal ini maka bacaannya batal.
Apabila orang yang salat tidak mengetahui bacaan al-Fatihah sama sekali, dia boleh membaca tujuh ayat yang berurutan, agar menyerupai al-Fatihah. Jika tidak bisa, dia boleh membaca tujuh ayat tidak berurutan, karena inilah yang ditetapkan. Pendapat sahih yang ditetapkan Imam Syafi’i menyatakan, boleh membaca ayat-ayat yang tidak berurutan dari satu surah atau beberapa surah, meskipun hafal sejumlah ayat yang berurutan, seperti hukum qadha’ puasa Ramadhan (boleh tidak berurutan).
Jika seseorang tidak bisa membaca al-Qur’an, bacalah dzikir selain ayat-ayat al-Qur an. Abu Dawud dan periwayat lainnya menuturkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa membaca sedikit pun ayat-ayat al-Qur an. Ajarilah aku sesuatu yang mencukupi bacaanku.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Bacalah, ‘Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallâhu akbar walâ haula wal quwwata illâ billah.” Bisa juga menambah dua dzikir yang lain, seperti: Másyallahu kana, wamâ lam yasya lam yakun, supaya jumlah tujuh dzikir ini menyamai bacaan tujuh ayat.
Menurut pendapat yang ashah, jumlah huruf dzikir pengganti al-Fatihah tidak boleh kurang dari jumlah huruf al-Fatihah, sebagaimana ia tidak boleh kurang dari jumlah ayat al-Fatihah. Jumlah huruf surah al-Fatihah 156 huruf termasuk basmalah. Huruf yang bertasydid dalam al-Fatihah dihitung dua huruf dalam dzikir.
Apabila orang yang salat tidak bisa membaca apa-apa, hendaklah diam selama bacaan al-Fatihah berdasarkan perkiraan, karena ini wajib dilakukan olehnya.
Setelah membaca surah al-Fatihah disunahkan membaca amin. Abu Dawud, at-Tirmdizi, dan periwayat yang lain meriwayatkan dari Wail bin Hujr -radhiallahu ‘anhu-, dia berkata, “Aku salat di belakang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika sampai pada bacaan waladhdhallin, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata âmîn dengan memanjangkan bacaan.” Al-Bukhari meriwayatkan hadis Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, “Ketika imam membaca, waladhdhallin maka ucapkanlah, amin. Barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin malaikat maka dosanya yang telah lalu dan akan datang pasti diampuni.”
Menurut pendapat yang azhar, bacaan amin boleh dibaca pendek, sebab itu tidak mengubah makna. Makmum membaca amin bersamaan dengan aminnya imam, bukan sebelum atau sesudahnya, dengan suara keras. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Apabila imam berkata amin maka bacalah amin. Barang siapa bacaan aminnya bersamaan dengan bacaan amin malaikat maka segala dosanya yang lalu akan diampuni” dan hadis, “Apabila seorang dari kalian membaca amin, dan malaikat di langit membaca amin, lalu aminnya berbarengan dengan amin lainnya, maka dosanya yang lalu akan diampuni.”. Amin dibaca dengan suara keras sesuai hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban dan lainnya. Mereka menshahihkan hadis tersebut.
Makmum boleh mengeraskan suara pada lima keadaan. Empat keadaan ketika membaca amin: membaca amin setelah imam selesai membaca al-Fatihah, membaca amin ketika imam membaca doa qunut Subuh, membaca amin ketika imam membaca qunut witir pada paruh kedua Ramadhan, dan membaca amin ketika imam membaca qunut nazilah. Sedangkan keadaan kelima: ketika dia mengingatkan bacaan imam.
Imam atau orang yang salat sendiri disunahkan membaca surah setelah membaca al-Fatihah walaupun dalam salat sirriyah (dengan suara pelan) kecuali pada rakaat ketiga salat Maghrib, serta rakaat ketiga dan keempat salat Zhuhur, Asar, dan Isya, menurut pendapat yang azhar. Hal ini karena meneladani Sunnah sebagaimana hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim.
Makmum masbuq yang mengikuti salat imam pada rakaat ketiga dan keempat boleh membaca surah setelah al-Fatihah pada dua rakaat tersebut. Sebab hal itu, merupakan rakaat pertama dan kedua baginya. Makmum yang mengerjakan salat jahriyah, tidak disunahkan membaca surah, melainkan harus mendengarkan bacaan imam. Allah berfirman, “Apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, agar kalian mendapat rahmat,” (QS. al-A’râf [7]: 204).
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Apabila kalian salat dibelakangku, janganlah membaca selain surah al-Fatihah.” Akan tetapi, jika posisi makmum jauh dari imam sehingga suara bacaan imam tidak terdengar atau salat tersebut sirriyah, makmum boleh membaca surah menurut pendapat yang azhar.
Imam dan munfarid dianjurkan membaca surah dengan suara keras pada salat Subuh dan dua rakaat pertama salat Maghrib dan Isya, serta dalam salat Jum’at khusus bagi imam, untuk meneladani sunah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Anjuran ini bagi imam ditetapkan dengan ijma’ ulama, sedangkan bagi munfarid ditetapkan dengan qiyas. Keduanya dianjurkan melirihkan suara pada salat ada selain itu. Sedangkan pada salat qadha’, dianjurkan mengeraskan suara jika dilaksanakan pada malam hari dan melirihkan suara pada siang hari.
Pada salat Subuh dan Zhuhur disunahkan membaca surah-surah al-Mufashshal yang panjang seperti, al-Hujurat, al-Qamar, ar-Rahman sampai surah an-Naba’. Pada salat Asar dan Isya disunahkan membaca surah-surah al-mufashshal yang sedang seperti surah asy-Syams, al-Lail, dan adh-Dhuha. Pada salat Maghrib sunah membaca surah al-mufashshal yang singkat seperti surah al-Ashr, al-Ikhlash, dan seterusnya hingga akhir al- Qur an. Pada salat Subuh hari Jum’at disunahkan membaca surah as Sajdah pada raka’at pertama dan pada rakaat kedua membaca surah al-Insan, untuk meneladani sunah yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim.
5. Ruku
Batas minimal ruku’ yaitu membungkukkan badan hingga kedua telapak tangan bisa menyentuh kedua lutut disertai tuma’ninah dan gerakan membungkuk itu tidak dimaksudkan untuk selain ruku’. Jika seseorang membungkuk bermaksud akan melakukan sujud tilawah lalu malah ruku’ maka ruku’nya tidak sah, karena dia tidak bermaksud melakukan ruku’.
Tuma’ninah merupakan syarat dalam ruku’, yaitu menenangkan seluruh anggota tubuh dalam posisi ruku’. Hal ini berdasarkan hadits tentang kisah seorang yang shalatnya tidak baik, “Kemudian ruku’lah sehingga tuma’ninah dalam posisi ruku’.”
Ruku’ yang paling sempurna yaitu mensejajarkan punggung dan leher, menegakkan kedua betis, menggenggam kedua lutut dengan kedua tangan, merenggangkan jemari tangan dengan punggung jemari menghadap kiblat, membaca takbir saat memulai ruku’ sambil mengangkat kedua tangan seperti takbiratul ihram. Praktik seperti ini mengacu pada perbuatan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang disebutkan dalam al-Sahihain.
Di saat ruku kita dianjurkan membaca, “Subhana rabbiya al ‘azhim wa bihamdih” sebanyak tiga kali, untuk meneladani sunah, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.
Uqbah bin Amir berkata, “Ketika turun ayat, ‘Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar,’ (QS. al-Waqi’ah [56]: 74), Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, jadikanlah ayat itu bacaan dalam ruku’ kalian.’” Uqbah melanjutkan, “Ketika turun ayat, ‘Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi, (QS. al-A’la [87]: 1), Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, ‘Jadikanlah ayat tersebut bacaan dalam sujud kalian.’” Dzikir ini ditambah dengan lafaz wabihamdih, untuk meneladani sunah Nabi sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Dawud.
Orang yang shalat sendirian dan imam bagi jamaah yang jumlahnya terbatas serta rela memperlama shalat, boleh menambah doa,
اَللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ وَمَا اسْتَقَلَّ بِهِ قَدَمِيْ
Artinya:
“Ya Allah, untuk-Mu aku ruku’, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku pasrah. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, sarafku, (dan apa yang berdiri di atas dua tapak kakiku, telah merunduk dengan khusyu’ kepada-Mu).”
Disunahkan juga membaca doa ini ketika ruku’, karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- di saat ruku’ dan sujud sering membaca,
سبحانك اللَّهُمَّ رَبَّنا وبحَمْدِك، اللَّهُمَّ اغفِرْلي
Artinya:
“Mahasuci Engkau, ya Allah, Rabb kami; dan dengan memuji kepada- Mu, ya Allah, ampunilah aku,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Baca juga: Makna dan Kewajiban Shalat
6. I’tidal
I’tidal merupakan salah satu rukun shalat yaitu mengembalikan tubuh ke posisi semula sebelum ruku’. Syarat i’tidal sama dengan ruku’, yaitu tuma’ninah, dan tidak bermaksud melakukan selainnya. Jika seseorang bangkit dari ruku’ karena terkejut oleh sesuatu, ular misalnya, maka i’tidalnya tidak sah.
Disunahkan mengangkat kedua tangan pada permulaan bangkit dari ruku’ sambil mengucapkan, sami’allahu liman hamidah, untuk meneladani sunah yang disebutkan dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dan diperkuat dengan sabda Nabi, “Shalatlah kalian semua sebagaimana kalian melihatku shalat.”
Setelah berdiri tegak bacalah,
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْد
Artinya:
“Wahai Rabb kami, hanya bagi-Mu segala puji sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki sesudahnya.”
Selanjutnya, orang yang shalat sendirian atau imam bagi jamaah yang terbatas dan rela diperpanjang bacaannya boleh membaca doa,
أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Artinya:
“Wahai Dzat yang berhak mendapat sanjungan dan keagungan. Itulah perkataan paling benar yang diucapkan oleh seorang hamba; kami semua adalah hamba-Mu. Tiada seorang pun yang dapat mencegah apa yang Engkau berikan, dan tiada yang dapat memberi apa yang Engkau cegah, serta tiada memberi manfaat keagungan orang yang memiliki keagungan terhadap- Mu,”
Maksudnya, kekayaan orang kaya tidak bermanfaat terhadap-Mu; segala perolehan orang yang meraihnya di dunia tidak akan bermanfaat di akhirat. Hanya ketaatan kepada-Mu yang bermanfaat baginya.
Pada i’tidal rakaat kedua shalat Subuh setelah selesai membaca, sami’allahu liman hamidah, rabbanâ lakalḥamdu, disunahkan dalam mazhab Syafi’I membaca doa qunut.
7. Sujud Dua Kali
Batas minimal sujud menurut syara’ yaitu menyentuhkan sebagian dahi ke tempat sujud. Boleh bersujud pada benda yang bersambung dengannya asalkan benda itu tidak bergerak oleh gerakannya. Pendapat yang azhar mewajibkan meletakan kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki ke tempat sujud. Allah berfirman,
﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ارْكَعُوْا وَاسْجُدُوْا وَاعْبُدُوْا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۚ۩ ٧٧ ﴾ ( الحج/22: 77)
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu; dan berbuatlah kebaikan, agar kamu beruntung. (Al-Hajj/22:77)
Syarat sujud yaitu tuma’ninah, meletakkan sebagian kedua lutut, sebagian kedua telapak tangan bagian dalam, jemari kedua kaki, dan menekankan kepala ke tempat sujud, serta tidak bersujud untuk tujuan lain atau menurunkan badan tanpa maksud sujud. Seandainya sesuatu menimpa orang yang salat dalam posisi i’tidal hingga tersungkur sujud, dia harus kembali ke posisi semula. Dia juga tidak boleh bersujud pada benda yang ikut bergerak saat dia bergerak untuk berdiri ataupun duduk. Terakhir, anggota tubuh bagian bawah (pantat) posisinya harus lebih tinggi dari anggota bagian atas (kepala), menurut pendapat yang ashah.
Cara sujud demikian didasarkan pada hadis tentang orang yang salatnya tidak benar, tepatnya tentang mewajibkan tuma’ninah. Diperkuat dengan hadis, “Jika kamu bersujud, tempelkanlah dahimu ke tempat sujud, tetapi jangan terlalu menekan,” (HR. Ibnu Hibban dalam Sahih-nya). Juga terdapat hadis Khabab bin al-Arat, “Kami mengadu kepada Nabi tentang panas yang menyengat dahi dan telapak tangan, namun beliau mempermasalahkan keluhan kami,” (HR. al-Baihaqi, dengan sanad yang sahih). Seandainya orang yang salat tidak diwajibkan menempelkan dahinya, tentu Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan petunjuk untuk menutup dahi para sahabat.
Persyaratan meletakkan kedua tangan, kedua lutut, dan kedua telapak kaki berdasarkan hadis al-Shahihain, “Saya diperintahkan sujud pada tujuh anggota badan: dahi-sambil menunjuk hidungnya, kedua tangan, kedua lutut, dan ujung kedua telapak kaki.” Cukup meletakan sebagian masing-masing anggota ini seperti dahi, telapak tangan bagian dalam, dan bagian dalam jemari kedua kaki dengan menghadapkan ke kiblat. Syarat ini diperkuat dengan hadis riwayat Ibnu Majah, “Nabi melaksanakan salat di masjid Bani al-Asyhal, mengenakan pakaian yang menutup rapat tubuhnya. Beliau meletakkan kedua tangannya di atas pakaian tersebut agar terhindar dari kerikil.” Disunahkan tidak menutup kedua telapak tangan dan telapak kaki jika tidak mengenakan khuf, untuk menghindari perbedaan ulama.
Seandainya seluruh bagian dahinya diperban karena luka dan takut melepasnya, dia boleh sujud di atas perban itu dan tidak wajib mengqadha salatnya.
Sujud yang sempurna yaitu memulai sujud dengan takbir tanpa mengangkat kedua tangan. Sebab, Nabi tidak mengangkat tangan ketika hendak sujud. (HR. al-Bukhari); lalu meletakan kedua lutut baru kemudian kedua tangan, karena meneladani sunah Nabi. Selanjutnya meletakan dahi dan hidung dalam kondisi terbuka (tidak ada penghalang), juga karena meneladani sunah, (HR. Abu Dawud). Jika urutan sujudnya tidak demikian atau hanya meletakkan bagian dahi, hukumnya makruh. Disunahkan meletakkan dahi bersamaan dengan hidung.
Orang yang salat, baik imam maupun makmum, ketika sujud membaca, subhana rabbiyal a’la wabihamdih tiga kali, sesuai hadis tentang ruku’ di atas. Orang yang salat sendirian atau imam bagi jamaah yang terbatas dan rela memperpanjang salatnya boleh menambah doa berikut, untuk meneladani sunah;
اللهُم لَكَ سَجَدْتُ وَبكَ أَمَنتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعِي وَبَصَرِي تَبَارَكَ الله أَحْسَنَ الْخَالِقِيْن.
Artinya:
“Ya Allah, kepada Engkaulah aku bersujud, kepada Engkaulah aku beriman, kepada Engkaulah aku berserah diri. Aku tundukkan diriku kepada Dzat yang menciptakan dan membentuknya, serta memberikan pendengaran dan penglihatan. Maha Agung Allah, Sang Pencipta terbaik,” (HR. Muslim).
Al-Nawawi menambahkan dalam al-Raudhah sebelum kata tabaraka, kata bihaulihi wa quwwatihi. Juga dianjurkan membaca,
سبوح قُدُّوسٌ رَبِّ الْمَلائِكَةِ وَالرُّوح.
Artinya:
“Mahasuci dan Mahasempurna Rabb malaikat dan ruh.”
Orang yang salat sendirian atau imam bagi jamaah yang terbatas dan rela memperpanjang bacaan salat disunahkan memperbanyak doa dalam sujud. Kesunahan ini terkait dengan hadis riwayat Muslim, “Saat paling dekat bagi seorang hamba dengan Rabbnya adalah ketika dia sedang sujud. Maka perbanyaklah doa.”
Ketika sujud Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- membaca doa,
اللهُمَّ اغْفِرْلِي ذَنْبِي كُلُّهُ دِقُهُ وَجلُّهُ وَأَوَّلُهُ وَأَخِرُهُ وَ عَلَانِيَتِهِ وَسِرِّهِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وبعفُوكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوْذُ بكَ مِنْكَ لا أُحْصي ثناء عَلَيْكَ أَنتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
Artinya:
“Ya Allah, ampunilah aku atas semua dosaku, yang sedikit dan yang banyak, yang pertama dan yang terakhir, yang terang-terangan atau yang tersembunyi. Ya Allah, aku memohon perlindungan kepadamu dengan ridha-Mu dari murka-Mu, kepada maaf-Mu dari siksa-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu. Aku tidak menghitung-hitung pujianku kepada-Mu. Engkau seperti apa yang Engkau pujikan atas Diri-Mu.”
Tata Cara Sujud yaitu letakkan kedua tangan sejajar (bersebelahan) dengan pundak, karena meneladani sunah, dan rebahkan seluruh jemari tangan dalam keadaan telungkup mengarah kiblat, juga karena meneladani sunah. Laki- laki dianjurkan merenggangkan kedua lutut dan kedua telapak kakinya kira-kira sejengkal, serta mengangkat perutnya dari kedua paha, dan kedua siku dari kedua lambungnya ketika ruku dan sujud. Sedangkan perempuan dianjurkan merapatkan kedua siku pada lambung, dan mengangkat lengannya dari tempat sujud.
8. Duduk di Antara Dua Sujud
Rukun shalat berikutnya yaitu duduk di antara dua sujud, meskipun dalam shalat sunah, sesuai hadis tentang orang yang shalatnya tidak benar yang telah dikemukakan di depan. Dalam al-Shahihain disebutkan, “Apabila Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bangun dari sujud, beliau tidak langsung sujud sebelum sempurna duduk.” Syarat duduk di antara dua sujud -sebagaimana ruku’ dan i’tidal- yaitu tuma’ninah; tidak dimaksudkan untuk selain itu. Apabila dia bangun karena terkejut oleh sesuatu, itu tidak sah; dan tidak terlalu lama seperti halnya i’tidal.
Duduk di antara dua sujud yang sempurna yaitu dimulai dengan takbir tanpa mengangkat tangan bersamaan dengan mengangkat kepala dari posisi sujud, dan duduk iftirasy karena mengikuti sunah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, meletakkan kedua tangannya (telapak tangan) di atas kedua paha berdekatan dengan kedua lutut, serta menjulurkan jemarinya ke arah kiblat seperti saat sujud dan lainnya sambil membaca,
رَبِّ اغْفِرْلِي وَارْحَمْنِي وَاجْبُرْنِي وَارْفَعْنِي وَارْزُقْنِي وَاهْدِنِي وَعَافِنِي.
Artinya:
“Wahai Rabbku, ampunilah aku, rahmatilah aku, cukupkanlah aku dari segala kekurangan, angkatlah derajatku, limpahkanlah rezekiku, berilah aku hidayah, dan berilah aku kesehatan,” karena mengikuti as-Sunnah.”
Kemudian sujud yang kedua sama seperti sujud yang pertama. Menurut pendapat yang masyhur, disunahkan duduk sebentar untuk istirahat setelah sujud kedua pada setiap rakaat yang langsung berdiri setelah sujud karena meneladani sunah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-.
9. Tasyahud Akhir
Batas minimal bacaan tasyahud akhir adalah,
التحيات لله سَلامٌ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكاتُهُ، سَلَامٌ عَلَيْنَا وعَلَى عِبَادِ الله الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أن لا إله إلا الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله
“Segala penghormatan milik Allah. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi; begitu pula rahmat Allah dan semua berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah; dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.”
Bacaan ini berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud, “Sebelum tasyahud kami diwajibkan membaca, ‘Assalamu ‘ala Allah qabla ‘ibadihi, assalamu ‘ala Jibril, assalamu ‘ala Mika’il, assalamu ‘ala fulan. Lalu Nabi berkata, “Jangan mengucapkan, ‘Assalamu ‘alallah (semoga keselamatan terlimpah kepada Allah)’, karena Allah adalah as-Salam, tetapi ucapkanlah, “Attahiyatu lillah…dst.””
Selain itu, dalam tasyahud akhir disyaratkan muwalah (berkesinambungan), dan tidak disyaratkan mengurutkan bacaan. Tasyahud akhir -demikian pula dzikir ma’tsurah lainnya- disyaratkan menggunakan bahasa Arab.
10. Duduk Tasyahud Akhir
Duduk tasyahud akhir merupakan tempat untuk bertasyahud. Karena itu, hukum duduk ini wajib bagi orang yang mampu. Maksudnya, ketika hukum kewajiban tasyahud telah ditetapkan maka hukum duduk tasyahud pun wajib.
11. Membaca Shalawat Nabi setelah Tasyahud dalam Posisi Duduk
Bacaan minimal shalawat Nabi adalah “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”, atau “…’ala rasulih”, atau “…’ala an-Nabiy.”
Ketiga rukun yang disebutkan terakhir ini saling berkaitan. Dalam al-Minhaj, Imam al-Nawawi menyatakan, “Bacaan tasyahud dan duduk tasyahud jika diteruskan dengan salam, keduanya tergolong rukun. Akan tetapi, jika tidak ditutup dengan salam (ketika tasyahud awal), maka keduanya termasuk sunah. Bagaimanapun bentuk duduknya, itu dibolehkan.”
Pada tasyahud awal disunahkan melakukan duduk iftirasy. Yaitu duduk bertumpu pada mata kaki bagian kiri dan menegakkan telapak kaki kanan, dan mengarahkan ujung jemari ke arah kiblat. Sedangkan pada tasyahud akhir (walaupun dua rakaat saja) disunahkan duduk tawarruk. Yaitu, seperti duduk iftirasy hanya saja telapak kaki kiri dijulurkan keluar ke sebelah kanan dan menempelkan bokongnya ke lantai.
Menurut pendapat yang ashah, bagi makmum masbuq dan orang yang lupa, disunahkan duduk iftirasy. Masih menurut pendapat yang ashah, dalam tasyahud awal dan akhir dianjurkan untuk meletakkan tangan kiri pada ujung lutut kiri dengan merapatkan jemari; meletakkan tangan kanan pada lutut kanan sambil mengenggam jari kelingking dan jari manis (begitu pula dengan jari tengah menurut pendapat yang azhar); dan membiarkan jari telunjuk serta mengacungkannya saat mencapai bacaan, “La ilaha illallah”, karena mengikuti sunah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, dan tidak disunahkan menggerak-gerakannya. Sedangkan menurut pendapat yang azhar, dengan menghimpun ibu jari pada jari telunjuk.
Menurut pendapat yang azhar, membaca shalawat Nabi hukumnya wajib pada tasyahud akhir, dan sunah pada tasyahud awal. Sedangkan membaca shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud awal tidak disunahkan, menurut pendapat yang shahih, karena tasyahud awal sifatnya singkat; tapi disunahkan pada tasyahud akhir.
Minimal bacaan shalawat kepada Nabi dan keluarganya yaitu “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa alihi”. Tambahan sampai dengan “hamidum majid” yang terdapat dalam tasyahud merupakan sunah tasyahud akhir. Yaitu:
اللهم صل على محمدٍ وعلى آل محمد كما صليت على إبراهيم و على آل إبراهيم وبارك عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آل محمد كما باركت علَى إِبْرَاهِيم وعلى آل إبراهيم إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau telah melimpahkannya kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad seperti Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahaagung.”
Dalil kewajiban membaca shalawat Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Ka’ab bin Ujrah -radhiyallahu’anhu-. Dia berkata, “Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- menemui kami, lalu kami bertanya, “Kami telah mengetahui bagaimana cara mengucapkan salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu?” Nabi menjawab, Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ald ali Muhammad…dst,” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Berdoa setelah tasyahud akhir hukumnya sunah. Doa yang bersumber dari Nabi lebih afdhal, seperti,
اللهم اغفرلي مَا قَدَّمْتُ وما أخَّرْتُ وما أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ وَمَا أَسْرَقْتُ وَمَا أَنتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنى ألتَ الْمُقَدَّمُ وَأَنتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلا أنت
“Ya Allah, ampunilah aku atas dosaku yang terdahulu, dosaku yang kemudian, dosaku yang kusembunyikan, dosaku yang kutampakkan, atas sikap borosku, dan semua dosa yang Engkau lebih mengetahui dariku. Engkau yang Maha Mendahulukan dan Maha Mengakhirkan. Tiada ilah selain Engkau,” (HR. Muslim)
Muslim juga meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, “Jika seorang dari kalian selesai melaksanakan tasyahud akhir, mohonlah perlindungan dari empat perkara: dari siksa neraka jahanam, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah al-Masih ad-Dajjal.”
اللهم إني أعوذ بك من عذاب جهنم، ومن عذاب القبر، ومن فتنة المحيا والممات، ومن فتنة المسيح الدجال
Imam disunahkan tidak menambah bacaan doa melebihi batas minimal membaca tasyahud dan shalawat kepada Nabi. Orang yang tidak mampu membaca keduanya boleh membaca terjemahnya. Menurut pendapat yang ashah, mereka juga boleh menerjemahkan doa dan dzikir yang disunahkan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi orang yang mampu.
12. Mengucapkan Salam
Batas minimal salam adalah “assalamu’alaikum”. Menurut pendapat yang ashah yang ditetapkan dalam al-madzhab, mengucapkan “salamun’alaikum” tidak sah, juga tidak wajib niat keluar dari shalat. Ucapan salam yang sempurna yaitu “assalamu’alaikum warahmatullah”, dua kali, sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Inilah salam yang ma’tsur.
Pada salam pertama menoleh ke kanan hingga pipi kanannya terlihat (dari belakang); dan pada salam kedua menoleh ke kiri hingga pipi kirinya terlihat (dari belakang), dengan niat mengucapkan salam pada makhluk yang ada di sebelah kiri dan kanannya, seperti malaikat, manusia, dan jin.
Dalam shalat jamaah, imam meniatkan salam pertama dan kedua bagi para makmum. Makmum niat menjawab salam imam. Orang (imam atau makmum) yang berada di sebelah kanan orang yang mengucapkan salam berniat menjawab salam dengan salam kedua; sedangkan orang yang berada di sebelah kirinya menjawab dengan salam pertama. Adapun orang yang berada di belakang atau di depan orang yang mengucapkan salam berniat menjawabnya bisa dengan salam pertama atau salam kedua.
Dalil kewajiban salam pertama adalah sabda Nabi yang telah dikemukakan, “Pengharam (aktivitas selain) shalat adalah takbir, dan penghalalnya adalah salam.”
13. Mengerjakan Rukun Shalat Secara Berurutan (Tertib)
Dalil kewajiban tertib adalah karena mengikuti sunah Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- (ittiba’), sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadts shahih, “Salatlah kalian seperti kalian melihatku salat.”
Apabila seseorang sengaja mendahulukan rukun fi’li tidak pada tempatnya, seperti melakukan sujud sebelum ruku, maka salatnya batal. Jika hal itu terjadi karena lupa maka semua rukun yang dilakukan setelah rukun yang tertinggal dianggap tidak ada. Jika dia ingat sebelum melakukan rukun yang sama, lakukanlah rukun tersebut. Jika tidak demikian, teruskanlah rakaatnya dan sempurnakan rakaat berikutnya.
Jika pada akhir salat dia yakin belum melakukan sujud di rakaat terakhir, sujudlah dan ulangi tasyahudnya. Akan tetapi jika hal itu terjadi pada selain rakaat terakhir, atau dia ragu-ragu, lakukanlah satu rakaat lagi.
Apabila dia telah berdiri untuk melakukan rakaat kedua, padahal belum bersujud pada rakaat pertama, maka jika dia dalam posisi duduk meskipun duduk istirahat, bersujudlah; namun jika tidak dalam posisi duduk, duduklah dengan tuma’ninah lalu bersujudlah.
Apabila rukun yang lupa dikerjakan tersebut teringat setelah salam, hukumnya sebagai berikut; jika rukun yang tertinggal berupa niat dan takbiratul ihram maka salatnya batal. Jika rukun tersebut bukan niat atau takbiratul ihram maka salatnya dilanjutkan asal selisih waktunya tidak lama dan dia tidak terkena najis; membelakangi kiblat dan berbicara sebentar dalam ukuran ‘urf, seperti lima kata, masih bisa ditolerir. Jika selisih waktunya lama atau diselingi dengan pembicaraan yang panjang maka salatnya harus dimulai dari awal.
Apabila orang yang salat, ingat pada akhir salat empat rakaat (seperti Zhuhur, Asar, dan Isya) bahwa dia tidak melakukan dua atau tiga kali sujud tapi tidak tahu pada rakaat yang keberapa, maka dia wajib mengerjakan dua rakaat lagi, mengacu pada hal yang lebih mendekati persamaan. Jika dia yakin meninggalkan empat sujud pada salat empat rakaat, dia harus melakukan satu sujud dan dua rakaat. Jika dia meninggalkan lima atau enam sujud, dia harus mengerjakan tiga rakaat, atau bila lupa tidak melakukan tujuh sujud, dia harus melakukan satu sujud dan tiga rakaat.