Dia seperti tokoh dalam sebuah film yang berperan sebagai mata-mata. Menyusup ke barisan musuh, mengamati, dan mempelajari segala hal tentang musuh. Setelah mengetahui titik kelemahannya, ia langsung dapat melumpuhkan musuhnya. Kira-kira seperti itulah cara Snouck Hurgronje melemahkan umat Islam.
Christiaan Snouck Hurgronje, usianya baru 28 tahun ketika menjadi doktor dalam bidang bahasa dan sastra oriental dari Universitas Leiden. Di usia itu pula, oleh pemerintah kolonial Belanda, Snouck dikirim ke Jeddah pada pertengahan 1884 untuk mengamati segala kehidupan umat Islam di Mekkah, lebih khusus umat Islam asal Hindia Belanda (Indonesia) yang menjadi wilayah koloni Belanda.
Mekkah, kota suci umat Islam, haram dimasuki orang kafir. Ia menjadi kota yang misterius bagi orang-orang Barat pada umumnya. Karena itu, pada 16 Januari 1885 Snouck menyatakan diri masuk Islam, mengucapkan kalimat syahadat di hadapan Qadhi Ismail Agha. Setelah itu, ia mengubah nama menjadi Abdul Ghaffar dan berkhitan.
Untuk dapat memasuki Mekkah yang dijaga pasukan Turki Utsmani, seseorang harus menunjukkan identitasnya bahwa ia seorang muslim. Sumber menyebutkan, Snouck alias Abdul Ghaffar memperlihatkan ‘barangnya’ yang telah dikhitan agar dapat meyakinkan sang penjaga. Ia pun diizinkan masuk. Tak ingin dicurigai, Snouck mengikuti gaya hidup warga setempat. Ia mengenakan jubah, sorban, berjanggut, giat ibadah, dan tidak berbicara dengan wanita di depan publik. Ia bertemu dengan mufti Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, guru dari para ulama Nusantara. Snouck mempu meyakinkannya tentang keislamannya hingga sang mufti mengajak Snouck ke rumahnya.
Di Mekkah, Snouck banyak mempelajari kehidupan umat Islam asal Hindia Belanda (Nusantara) yang bermukim di sana. Semua hasil pengamatan dan penelitian, ia tuangkan dalam surat-suratnya kepada pemerintah Belanda dan bukunya berjudul “Mekka” yang menjadi rujukan pemerintah dan para orientalis.
Selama di Mekkah, Snouck banyak dibantu Raden Abu Bakar Djajadiningrat, pelajar Nusantara yang tinggal di Mekkah. Abu Bakar mengajarinya bahasa Melayu serta memperkenalkannya dengan para penuntut ilmu asal Nusantara yang belajar di sana. Dari Abu Bakar pula, Snouck diperkenalkan dengan gurunya yang berasal dari Maroko, Sayyid Abdullah Az-Zawawi.
Maha benar Allah yang memiliki kuasa memberikan hidayah kepada seseorang. Beberapa waktu tinggal di Mekkah, bertemu dengan para ulama, berinteraksi dengan umat Islam, shalat lima waktu di depan Ka’bah, mendengar lantunan ayat Al-Qur’an setiap hari, menyimak hadits-hadits nabawi, namun hal tersebut tak juga membuat hati Snouck cinta pada Islam. Ia belajar Islam hanya untuk kepentingan kolonialisme.
Pada 1889, sekitar 4 tahun meninggalkan Mekkah, Snouck Hurgronje diutus pemerintah Belanda sebagai penasihat di Hindia Belanda. Di sinilah Snouck menerapkan ilmunya yang sangat berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah kolonial atas rakyat Hindia Belanda (Indonesia). Snouck lebih dulu bertugas di Garut, Jawa Barat. Sekitar dua tahun di Garut, pada 1891, ia ditugaskan ke Aceh sebagai penasihat dari Gubernur Jenderal J.B van Heutsz. Snouck melihat supremasi adat atas syariat, ia mendekati tokoh-tokoh adat (uleebalang), mengambil hati mereka sehingga mereka tertarik bergabung dengan pemerintah Belanda. Usahanya berhasil. Tokoh-tokoh adat adalah orang-orang yang tidak terlalu memedulikan syariat. Dalam bukunya berjudul Achenese, Snouck mengungkapkan bahwa meski ulama dididik dengan doktrin bahwa adat (hukum adat) dan hukom (hukum agama) dapat duduk secara berdampingan dalam sebuah negara Muhammad yang baik, tetapi dalam praktiknya sebagian besar kehidupan mereka diatur oleh adat, dan hanya sebagian kecil yang diatur oleh hukom.”
Menurutnya, adat dan Islam merupakan dua domain yang berbeda dan terpisah. Bahkan hubungan adat-Islam memperlihatkan ketegangan dan konflik seperti yang terjadi kemudian dalam hubungan sosial-politik antara uleebalang dan ulama. Snouck merekomendasikan kepada pemerintah Kolonial Belanda untuk menggandeng kelompok uleebalang, memberi mereka penghargaan sehingga bersedia menerima kekuasaan Belanda. Melalui bantuan para uleebalang inilah pemerintah kolonial Belanda mampu melemahkan umat Islam dan memukul mundur para ulama yang merupakan sosok penting dalam melakukan perlawanan (jihad) melawan penjajah.
Snouck berpandangan, biarkan umat Islam menjalankan agamanya dengan beribadah, melakukan ritual-ritual yang diajarkan agamanya tapi pisahkan mereka dari kehidupan politik. Sehingga urusan politik dan pemerintahan dikendalikan oleh para elite yang mendukung pemerintah kolonial Belanda. Dan inilah yang terjadi di Aceh. Para pejuang Aceh tidak kalah dalam Perang Aceh yang telah dimulai sejak 1873. Para pejuang Aceh mampu menewaskan 17.000 serdadu Belanda pada dekade pertama perang.
Akan tetapi sejak kedatangan Snouck didukung Jenderal van Heutsz dan para uleebalang, perlawanan umat Islam Aceh mampu diredam. Pada Februari 1899 di Meulaboh, tokoh pejuang Aceh Teuku Umar berhasil ditaklukkan. Ia gugur di ujung peluru pasukan Belanda. Sang istri, Cut Nya’ Dien menggantikannya bergerilya hingga titik darah penghabisan. Bahkan ketika matanya telah buta. Pada akhirnya Cut Nya’ Dien tertangkap dan dibuang di Sumedang, Jawa Barat, tahun 1904.
Snouck wafat pada 1936 dan dimakamkan di samping makam ibunya, Anna Maria van Gogh, di Groenesteeg, pemakaman elite di Leiden. Sebagian menduga bahwa Snouck dimakamkan secara islami, tapi perlu diketahui bahwa Groenesteeg adalah pekuburan Kristen yang dibuat sejak 1813 oleh gereja setempat.
Demikian artikel tentang Snouck Hurgronje ini. Anda juga dapat membaca artikel tentang sejarah islam lainnya.
Referensi:
1. Historia.id
2. Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah I, Salamadani Pustaka Semesta, Bandung
3. Jajat Burhanuddin, Ulama & Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, Mizan, Bandung
Oleh: Mahardy Purnama