Terimalah Pemberian SuamiLAZISWahdah.com – Bagi pengantin baru, atau suami-istri yang baru diamanahi anak satu, rizki yang sedikit mungkin masih mencukupi. Maksudnya, keduanya bisa mengatur keuangan keluarga sekalipun harus tetap menghemat agar pengeluaran tidak lebih besar daripada pemasukan. Namun, hal itu akan sedikit menjadi ‘masalah’ jika amanah itu semakin bertambah, dan tuntutan kebutuhan rumah tangga juga semakin banyak. Sungguh, pada kondisi saat-saat itu dibutuhkan kesabaran lebih, dan juga sikap qanaah.

Karena dengan berbekallah sikap qanaah, seseorang akan ridha terhadap rizki yang telah ditetapkan Allah kepadanya. Sehingga dia tidak akan berkeluh kesah mengadukan Rabbnya kepada makhluk yang lemah seperti dirinya. Maka peran seorang istri untuk meneguhkan hati suami untuk mencari rizki yang halal mutlak diperlukan.

Istri yang shalihah nan baik adalah istri yang menerima pemberian suaminya, seberapapun itu. Tentu jika si suami sudah berusaha untuk mencari nafkah sesuai dengan kemampuannya. Karena yang membagi rizki itu Allah, dan kita yakin bahwa Allah memberikan rizki berdasarkan ilmu dan hikmah-Nya. Dia melapangkan rizki sebagian hamba yang dikehendaki-Nya, dan menyempitkan rizki bagi sebagian hamba yang dikehendaki-Nya pula. Masing-masing ada kebaikan dan kemaslahatan bagi si hamba.

Oleh karenanya, seorang suami-istri, terlebih seorang istri haruslah qanaah terhadap rizki yang Allah karuniakan melalui kerja si suami. Sungguh, sifat qanaahnya akan memacu si suami untuk tetap menjaga diri dalam bekerja dan mencari rizki yang halal saja.

Dua Sikap yang Berbeda
Diriwayatkan dari Khalid bin Yazid, dia berkata, “Hasan Al-Bashri bercerita, ‘Ketika di Mekah, aku mendatangi seorang pedagang kain untuk membeli baju, lalu si pedagang mulai memuji-muji dagangannya dan bersumpah. Akupun kemudian meninggalkannya dan aku katakan kepada diriku sendiri, ‘Tidak pantas membeli dari orang semacam ini.’ Maka akupun membeli dari pedagang yang lain.”

Setelah berlalu dua tahun sejak kejadian itu, aku melaksanakan ibadah haji. Aku bertemu lagi dengan orang –pedagang kain yang suka bersumpah- itu, tapi aku tidak lagi mendengarnya memuji-muji dagangannya dan bersumpah. Aku pun bertanya kepadanya, “Bukankah engkau orang yang dulu pernah berjumpa denganku beberapa tahun yang lalu?” Ia menjawab, “Iya, benar.” Aku bertanya lagi, “Apa yang membuatmu berubah seperti sekarang? Aku tidak lagi melihatmu memuji-muji dagangan dan bersumpah!”

Ia pun bercerita, “Dulu aku punya istri yang jika aku datang kepadanya dengan sedikit rizki, ia meremehkannya dan jika aku datang dengan rizki yang banyak ia menganggapnya sedikit. Lalu Allah mewafatkan istriku tersebut, dan akupun menikah lagi dengan seorang wanita. Jika aku hendak pergi ke pasar, ia memegang bajuku lalu berkata, “Wahai suamiku, bertaqwalah kepada Allah, jangan engkau beri makan aku kecuali dengan yang thayyib (baik lagi halal). Jika engkau datang dengan sedikit rezeki, aku akan menganggapnya banyak, dan jika kau tidak dapat apa-apa aku akan membantumu memintal (kain).”

Kisah yang disebutkan oleh Abu Bakar Ahmad bin Marwan dalam kitab al-Mujalasah wa Jawahirul ‘Ilm (5/251-2522) ini mengandung banyak pelajaran. Di antaranya, sikap dua istri yang berbeda di atas berpotensi untuk merusak atau memperbaiki kinerja suami. Maka, berhati-hatilah wahai para istri, jika engkau terlalu menuntut suamimu dengan hal-hal yang berlebihan. Cukupkanlah diri dengan yang halal dan baik. Karena ukuran rizki itu terletak pada keberkahannya, bukan pada jumlahnya.

Penulis teringat dengan kisah yang menyentuh dari seorang ustadz. Katanya, suatu pagi buta, beliau pernah didatangi oleh seorang suami. Ia menceritakan apa yang barusan ia lihat di rumahnya, dan percakapan sederhana dengan istrinya. Waktu itu istrinya tengah mengumpulkan kertas-kertas dari buku tulis yang sudah tidak dimanfaatkan. Dengan teliti ia kumpulkan kertas-kertas itu dengan perasaan yang entah bagaimana rasanya. Suami wanita pengumpul kertas itu pun bertanya, “Untuk apa mi…?” “Doakan ya bi…, agar ada penjual rosokan yang mau membeli kertas-kertas ini. Agar kita bisa membeli tempe.” Jawabnya. Deg. Hati suaminya gerimis. Ia tidak kuasa menahan buliran airmatanya yang jatuh menggenangi pipinya. Ustadz yang mendengar cerita itu pun terharu. Alangkah sabarnya keluarga tersebut, dan betapa qanaahnya mereka.

Di antara pelajaran berharga yang bisa kita petik dari kisah di atas adalah bahwa ada banyak saudara-saudara kita yang secara ekonomi tergolong orang yang diuji dengan sempitnya rizki, jauh melebihi kekurangan kita. Ajaibnya, mereka bisa melalui itu semua dengan sifat qanaah. Sifat yang membuat pemiliknya serasa kaya. Karena ia hanya mengharap karunia dari Dzat Yang Maha Kaya saja, sama sekali tidak meminta-minta kepada hamba yang lemah semisal dirinya. Semoga Allah mengayakan hati kita dengan sifat qanaah. Wallahul musta’an.

Muhibbukum fillah, ibnu abdil bari [dimuat di majalah hujjah edisi 7; Juli 2014 M].

Tinggalkan Balasan