Thariq Bin Ziyad: Sang Penakluk Andalusia Dan Sevilla
LAZISWahdah.com 
–  “Hujan itu telah mengguyurimu, hujan yang dulu hanya impian” THARIQ BIN ZIYAD

“Wahai Roderic, kami mendapati suatu kaum telah datang kepada kami, yang mana kami tidak mengetahui apakah mereka penduduk bumi atau langit”. (Komandan pasukan Ghoth)

Segala puji bagi Allah yang menganugrahi Jazair sehingga melahirkan banyak tokoh bagi umat ini. Tokoh kita kali ini merupakan seorang penakluk islami yang berasal dari sahara bumi nan luar biasa pencetak para pejuang tanpa henti, bak sekolah bagi para pembaharu. Ia bernama Thariq bin Ziyad -sang penakluk Andalus-.

Sebenarnya pembicaraan tentang Andalusia membutuhkan lembaran yang banyak, sebab berbagai peristiwa yang terjadi menyiratkan memori Indah nan abadi, selama lebih dari 800 tahun keberadaan ummat Muhammad –shallalahu ‘alahi wasallam- (lebih dari setengah usia ummat ini). Olehnya saya akan menyinggung kisah Andalusia di buku ini –In syaa_llah-, bukan untuk menangisi susu yang tertumpah (sungguh bukan itu tujuan saya), melainkan keyakinan saya bahwa kisah Andalus adalah gambaran pasang surut nan silih berganti bagi ummat ini selama 800 tahun lebih, yang menjadi sebaik-baik permisalan untuk menjelaskan kepada para pemuda sebab-sebab kebangkitan dan keterpurukan. Sebab, merupakan hikmah Allah menjadikan ketentuanNya tidak berubah di muka bumi.

Jika kita pelajari sebab-sebab kebangkitan dan kemenangan kaum muslimin pada suatu masa kemudian kita praktekkan, niscaya kebangkitan dan kemenangan akan menghampiri kita. Begitupula ketika kita mempelajari sebab-sebab keterpurukan untuk menjauhinya, kitapun akan terhindar darinya. Kisah peradaban Islam di Andalus merupakan kisah langka, yang mana anak manusia sulit mendapatkan yang semisalnya dari segi kemajuan, kemakmuran, dan toleransi antar penduduk maupun agama, sampai-sampai baratpun mengakuinya.

Sebelum kita mempelajari kisah pahlawan luar biasa kita, atau hikayat Andalus, ada poin penting yang harus dikemukakan; kenapa kaum muslimin Arab rela menempuh ribuan mil dari padang pasir mereka menuju wilayah lain seperti Barbar, Persia, dan Andalus?, bukankah hal itu termasuk penjajahan terhadap orang lain?.

Sungguh pertanyaan ini menghadirkan keraguan bagi sebagian orang. Mereka melihat persamaan antara penaklukan Islami dan penjajahan Eropa pada abad ke-19 dan 20, namun faktanya sungguh berbeda. Setiap pemerhati peperangan sejak masa Al Iskandar Al Makduni, peperangan Romawi, Mongol, dan yang terbaru peperangan Napoleon dan Hitler, akan mendapati tujuan dari suatu peperangan tak lepas dari 3 poin:
1. Perluasan wilayah dan Ekonomi, seperti yang dilakukan oleh kekaisaran Romawi yang meliputi 3 benua.
2. Dominasi terhadap polapikir tertentu dan pengontrolannya, seperti yang dilakukan Amerika, dengan berusaha menyebarkan yang semisal Amerika di seluruh dunia.
3. Tanpa tujuan atau perbuatan percuma, seperti Tatar Moghol yang berperang tanpa tujuan.

Adapun kaum muslimin berbeda seratus persen, sebab peperangan dalam Islam merupakan pengacualian terhadap 3 poin diatas. Tujuan kaum muslimin hanya satu; menyebarkan ajaran Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pada setiap orang di penjuru bumi ini.

Sebagian orang berujar: “kenapa kaum muslimin memerangi dan meruntuhkan berbagai kekaisaran dan tidak puas dengan menyebarkan Islam tanpa peperangan?”, jawabannya: seperti itulah dakwah kaum muslimin pada awalnya, utusan demi utusan dikirim kepada beberapa penguasa, akan tetapi mereka bunuh para utusan tersebut sebelum risalah Islam sampai ke rakyatnya. Sebab ajaran Islam yang membawa paham kesetaraan antar manusia sangat bertentangan dengan apa yang diinginkan kerajaan-kerajaan itu berupa penghambaan rakyat serta penganiayaan rakyat jelata. Maka pastilah mereka mencegah rakyatnya mempelajari risalah Islam yang menggoyahkan kekuasaan mereka.

Demi Allah, kami tidak mengirim pasukan kecuali setelah terbunuhnya para utusan dan da’i. Adapun ketika diberikan kesempatan menyampaikan dakwah Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada manusia, tidak aka ada satu pedangpun terhunus disana, lihatlah bagaimana Indonesia menjelma menjadi negara Islam terbesar sebagai contoh kongkritnya.

Namun jika tujuan utama adalah penyebaran Islam, mengapa tidak kita dapati keberadaan kaum muslimin di Andalus dari penduduk Spanyol dan Portugal saat ini?. Jawabannya: sebagian besar muslimin saat itu merupakan penduduk asli disana, bukan apa yang disangkakan sebagian, bahwa mereka imigran Arab, dan Barbar. Akan tetapi mereka (kaum muslimin) diusir dari rumah mereka dan dibunuh di pengadilan (sebagaimana yang akan kita saksikan dilembaran berikutnya!).

Adapun rahasia tersembunyi dari penaklukan kaum musimin terhadap Andalus dan mengherankan kebanyakan orang; bahwa Andalus sebenarnya tanah Islam puluhan tahun lamanya, bahkan jauh sebelum lahirnya Thariq bin Ziyad!. Dan juga pernah menjadi negara Islam merdeka 20 tahun sebelum diutusnya Rasulullah –shallallahu ‘alahi wasallam-.

Bagi siapapun yang ingin mengetahui rahasia terpendam tersebut hendaknya menunggu sejenak bersama buku ini hingga pembahasan tokoh lain dari umat ini, yang bernama Arius.

Kisah Andalusia dimulai ketika suku Visigoth1 menetap di daerah ini. Mereka bukanlah penduduk asli disana, akan tetapi mereka berasal dari daerah lain tepatnya utara Eropa. Nama Andalusia merupakan sebutan bagi semenanjung Iiberia (saat ini Spanyol dan Portugal). Saat itu Visigoth dipimpin oleh seorang raja bernama wittiza yang berhasil dibunuh oleh Pimpinan Majan Roderik. Ia mengambil alih kekuasaan serta menetapkan pajak yang besar, hingga dibenci oleh rakyat Andalus. Pada saat itu terjadilah penindasan dan kedzaliman di seantero Andalusia.

Disisi lain dari kota Thanjah (Tangier) yang dipimpin oleh seorang berambut pirang, bermata biru, berperawakan tinggi dan kekar, seorang Barbar berasal dari Eropa, tepatnya etnis latin disana. Dulu ia seorang penyembah berhala, hingga datangnya Arab dengan Islam, Iapun tertarik dengan ajaran yang menyenangkan dan pemahaman akan tauhid yang mudah, maka iapun beriman terhadap agama ini, dan menjadi sibuk mengenalkan agama ini kepada yang lainnya.

Dia yang dulunya diperbudak Romawi dengan ancaman pedang, dijadikan pemimpin bagi Thanjah oleh para pembebas Arab. Diapun memimpin kaum muslimin dengan Adil, baik Arab maupun Barbar. Dialah Thariq bin Ziyad, tokoh Islam nan luar biasa perwakilan khilafah Umawiyah di Thanjah.

Setelah menerima surat dari komando umum wilayah Afrika di Qayrawan yang berisi izin khalifah umawiyah Al Walid bin Abdul Malik –rahimahullah- untuk menyebarkan Islam di Andalus, Thariqpun bergerak menyebrangi lautan bersama 7 ribu pejuang (sebagian besar dari mereka berasal dari suku Barbar yang baru memeluk Islam), untuk menyerang barisan pertahanan goth di Selatan dan membinasakannya. Pimpinan musuh berhasil melarikan diri dan kembali meyusup pada malam hari untuk mengetahui resep yang menjadi kekuatan para penakluk asing tersebut, disanalah ia mendapati sesuatu yang menakjubkan!.

Dihadapannya terpampang para prajurit yang perkasa bak singa nan buas di siang hari, sedang beribadah kepada Rabb mereka dimalam hari dengan memperbanyak ruku’ dan sujud. Mereka membaca sebuah kitab dengan bercucuran air mata… Iapun tak percaya dengan apa yang disaksikannya, dan segera mengirimkan surat kepada raja Roderic di Toledo yang berisi: “Wahai Roderic, kami mendapati suatu kaum telah datang kepada kami, yang mana kami tidak mengetahui apakah mereka penduduk bumi atau langit”.

Roderic segera bergerak bersama 100.000 tentara berkuda yang dilengkapi persenjataan terbaru, Roderic juga memerintahkan mereka membawa tali tambang yang banyak untuk mengikat kaum muslimin jika berhasil dikalahkan.

Thariq bin Ziyad mengirim surat kepada komando umum kaum muslimin wilayah Afrika agar mangirimkan bala bantuan. Sebanyak 5.000 pasukan tambahan segera bergabung sehingga keseluruhan berjumlah 12.000 orang (kebanyakan dari mereka pasukan pejalan kaki), berhadapan dengan 100.000 pasukan berkuda kaum kristen Goth. Kedua pasukan bertempur pada peperangan “lembah Barbath” yang tak lekang dimakan waktu, pada tanggal 28 Ramadhan tahun 92 H. Perang yang tidak kita ketahui tentangnya ini, tidak kalah besar dari perang Yarmuk dan Qadisiyah.

Peperanganpun berkecamuk…, gelombang pasukan Kristen bergerak menuju kaum muslimin bagaikan gemuruh ombak…. sungguh berbada kedua pasukan yang bertempur, satu pihak berperang bersama gulungan tali, yang lain berperang bersama Allah Ta’ala!. Setelah 8 hari berlalu dan gugurnya 3.000 pejuang dijalan Allah, kemenanganpun menghampiri kaum muslimin yang ditandai dengan terbunuhnya Roderic bengis sang pemilik gulungan tambang.

***

Kota demi kota di Andalus berhasil dibebaskan tanpa harus berperang, karena rakyat Andalus telah mendengar ketangguhan pasukan ini, dan keindahan hukum Islam. Kemudian brigade cahaya Islam disebarkan untuk mengajarkan Islam di seantero Andalus, hingga terpancar kembali cahaya tauhid di negri ini.

***

Ketika menceritakan panglima yang luar biasa ini ada suatu masalah yang harus diluruskan, yaitu suatu perkataan yang diceritakan oleh bapak dan kakek kita, atau yang diajarkan di sekolah-sekolah kita, seakan-akan sesuatu yang nyata. Suatu perkataan yang disandarkan kepada panglima Islam Thariq bin Ziyad, berbunyi: “lautan dibelakang kita, dan musuh dihadapan kita”.

Sebenarnya perkataan diatas tidak lain merupakan perkataan bohong dan palsu yang dibuat oleh orientalis demi menutupi rasa malu akan kekalahan 100.000 pasukan mereka dihadapan 12.000 kaum muslimin. Mereka hendak mengelabui kita seakan-akan sebab keberanian kaum muslimin hanyalah suatu keterpaksaan berperang karena tidak ada kapal untuk melarikan diri!. Namun mereka tidak memahami bahwa kaum muslimin sangat mengidamkan kesyahidan (gugur di jalan Allah)… pernahkah kaum muslimin menang kerena jumlah yang banyak?!.

Perkataan itu tidak didapati sama sekali dari buku-buku pokok sejarah Islam, namun hanya terdapat di buku-buku Eropa. Keterangan akan hukum boleh tidaknya perbuatan itu juga tidak terdapat di buku-buku Islam. Kemudian komandan secerdas Thariq pastilah paham kemungkinan akan kekalahan pasukannya (hal ini mungkin saja terjadi). Maka seharusnya yang ia lakukan ketika itu, mundur sejenak ke wilayah kaum muslimin, dan perkara ini dibolehkan dalam syariat Islam2 dan tidak merupakan aib. Dan yang lebih jelas dari semua itu, demi menyangkal perkataan bohong ini, bahwa kapal-kapal itu bukan milik mereka, sehingga tidak boleh dibakar!.

1 Salah satu cabang suku Goth yang tinggal di Eropa.
2 yaitu mundur untuk menyusun strategi baru atau bergabung dengan pasukan tambahan.

Sumber : Wahdah.or.id 

Tinggalkan Balasan