Bersyukurlah wahai para wanita
LAZISWahdah.com – 
Andai sejenak memikirkan nikmat menjadi seorang wanita, maka rasa syukur akan mengiringi keseharian sang wanita, meski kerap wanita identik –katanya- dengan suka mengeluh. Tentu, seorang wanita beriman (termasuk  beriman) akan menyikapi berbagai ‘rasa ketidaknyamanan’ dengan kesabaran. Sabar mengharap pahala dan meminta ganti yang lebih baik dari Allah, sebagaimana syukur dengan kenikmatan, yang terejewantah dengan ketaatan.

Bayangkan! Datang bulannya wanita saja, cukup membuat nyeri perut yang ‘teramat sangat’ bagi kebanyakan wanita. Sebuah takdir yang hanya diperuntukan oleh wanita, tidak mungkin dialami oleh kaum pria. Perasaan sensitif, gampang marah, kurang enak dalam bergaul saat datang bulan, adalah sekelumit derita yang mesti dilewati.

Belum lagi, derita ketika mengandung. Seorang ibu hamil harus ekstra menjaga janin dalam rahimnya agar jangan sampai keguguran. Juga berat badan yang semakin bertambah semasa hamil sembilan bulan, mesti ditanggungnya. Kadang pula, muntah yang tak terelakkan cukup menganggu aktivitas sang ibu. Penderitaan belum berakhir, jelang detik-detik melahirkan. Seolah perasaan tak menentu menyelimuti, diliputi kekhawatiran menghampiri. Kesakitan yang luar biasa, seakan nyawa adalah taruhannya.

Tugas selanjutnya ialah menyusui sang anak, lalu merawatnya. Ada kalanya anak menggigit saat menyusu. Rela begadang demi menenangkan anak yang rewel di tengah heningnya malam, saat ibunya diterpa ngantuk.

Masya Allah, di antara faidah datang bulan adalah menyeimbangkan hormon-hormon sebagai indikator kesehatan yang baik untuk tubuh. Termasuk pula, siklus haid yang teratur memengaruhi faktor kesuburan wanita kelak. Lebih takjub lagi, secara akal sederhana, ‘manusia mengandung manusia’, makhluk mulia (karena ketaatan).  Dan sebuah pekerjaan mulia yang seyogyanya disambut suka cita. Mengenyahkan segala penderitaan dengan pecahnya tangis sang bayi. Menjadikan peran ibu sebagai kenikmatan. Sebab bejibun pahala siap menanti, jika disertai keikhlasan!

Satu di antaranya perintah menyusui. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS al-Baqarah[2]:233).

Berkata al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/633): “Ini merupakan petunjuk dari Allah ta’ala kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anaknya dengan penyusuan yang sempurna yaitu 2 tahun.

Alhamdulillah, di antara tanda kesempurnaan ciptaan-Nya adalah diciptakannya ASI bagi wanita sebagai makanan terbaik bagi bayi. Kolostrum yakni ASI yang keluar di awal-awal persalinan berwarna kekuning-kuningan merupakan imunisasi alami bayi, juga obat yang mengandung zat kekebalan yang melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi dan alergi. Sangat berguna untuk bayi.

Bukan sebaliknya, sebuah aktivitas yang sangat melelahkan raga dan jiwa. Sebab berjalan waktu, tahun berganti tahun, mengandung-melahirkan, seperti terasa beban. Wal’iyadzubillah! Coba tengok bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kelak membanggakan banyaknya anak.

Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu di hadapan para nabi nanti pada hari kiamat.” (shahih riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik).

Menuai hikmah dengan mengawali prasangkaan baik kepada Allah bahwa banyaknya anak menjadi tangga menuju surga, insya Allah, disertai ikhtiar, lalu Allah-lah yang memberi hidayah kepada hamba-hambaNya.

Menjadikan aktivitas mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat sebagai aktivitas penuh kenikmatan, lagi mengharap pahala atas ‘sedikit banyaknya’ keluhan semasanya. Cukuplah Allah yang mengganjar semuanya! Hebat, bukan?! Jika pada diri tiap wanita memaknai tahapan fase kehidupan yang dirasakan sebagai bentuk pengaturan Allah terhadapnya, ridha terhadap takdirnya, lalu ‘nikmat dibalas nikmat’ dengan berupaya menjadikan anak sebagai anak yang shalih shalihah nantinya.

Memang, menyandang status wanita ‘plus’ (bersuami dan memiliki anak), mampu mengubah hidup yang awalnya biasa-biasa saja, lalu pada akhirnya menjadi luar biasa! Sebelum menikah, wanita hanya disibukkan dengan dirinya dan kariernya. Itu yang mendominasi. Tetapi setelah memasuki fase rumah tangga, wanita mulai disibukkan bukan hanya dengan dirinya (menjaga penampilan terbaik di hadapan suami), tetapi juga berkhidmat untuk suami dan anaknya, beserta seabreg pekerjaan rumah tangga yang tidak pernah habis-habisnya. Beginilah kehidupan mengajarkan.

Terlepas, peran suami istri yang saling membantu dalam berumahtangga, seorang wanita (bersuami) semestinya banyak bersyukur dengan peran ganda dalam kehidupan rumah tangganya, termasuk jika harus membantu suami memenuhi kebutuhan hidup. Rasanya, segala keluhan menjadi nihil, sebab wanita mengedepankan rasa syukurnya kepada Allah, atas nikmat yang melimpah ruah dalam perjalanan pernikahannya! Ujian keimanan atau musibah menerpa, sungguh tak sebanding dengan kenikmatanNya yang -sekali lagi- melimpah. Yang dengan ujian atau musibah itu, dijadikannya (lagi) sebagai sarana kedekatannya kepada Allah!Bukankah ini juga kenikmatan ?! Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan?[]

Sumber : Majalah SEDEKAH PLUS edisi 16

Tinggalkan Balasan