Artikel ini akan mentadabburi tawakkal sebagai kekuatan yang mengokohkan kita di atas keimanan.
Allah Azza wajalla berfirman:
وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS. Ath-Thalaq: 3)
Ini adalah janji Allah Azza wajalla kepada setiap hamba-Nya. Satu janji yang tidak mungkin diingkari, bahwa setiap hamba yang bertawakkal pada-Nya akan dicukupkan segala keperluannya.
Definisi Tawakkal
Tawakkal berarti memasrahkan segala urusan kepada Allah dengan tetap berupaya menempuh jalan untuk meraih apa yang diinginkan, tanpa berpangku tangan menunggu nasib dan berharap hajat datang dengan sendirinya.
Begitulah cara bertawakkal yang Rasulullah ﷺ ajarkan. Beliau ﷺ bersabda:
لو أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير تغدو خماصا وتروح بطانا.
“Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Dia akan memberikan rezki kepada kalian sebagaimana Dia memberikannya pada seekor burung. Burung itu keluar di pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang”. (HR. An-Nasai)

Tawakkal menjadikan burung terbang dan berpindah tempat dari satu ranting ke ranting lainnya dan dari satu pohon ke pohon lainnya untuk mendapatkan makanan. Maka begitu pula hendaklah manusia bertawakkal, dia berusaha mendapatkan apa yang ia inginkan, namun dengan terus memasrahkan hasilnya hanya kepada Allah.
Contoh Tawakkal
Allah Azza wajalla telah berjanji bahwa siapa yang bertawakkal padanya, maka tawakkal itu telah cukup baginya. Allah Azza wajalla akan mencukupkan keperluannya. Tawakkal bisa menjadi kekuatan baginya, dan bisa menjadi sebab tercukupkan keperluannya itu.
Hal itu terbuktikan pada Nabi Hud ‘alaihissalaam. Di hadapan kaumnya yang berjumlah begitu banyak dan sedang murka menentang dakwah tauhidnya, ia tetap mampu berdiri tegar dan kokoh, bahkan dengan gagah menantang mereka. Allah Azza wajalla mengabadikan kisah ini di dalam al-Qur’an. Allah Azza wajalla berfirman:
قَالَ إِنِّيٓ أُشۡهِدُ ٱللَّهَ وَٱشۡهَدُوٓاْ أَنِّي بَرِيٓءٞ مِّمَّا تُشۡرِكُونَ ٥٤ مِن دُونِهِۦۖ فَكِيدُونِي جَمِيعٗا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ ٥٥ إِنِّي تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمۚ
“Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. (QS. Hud: 54-56)
Bayangkanlah, bagaimana tawakkal membuatnya kuat hingga ia berani menantang seluruh orang-orang kafir itu untuk menjalankan tipu daya mereka tanpa memberikannya masa tangguh sedikitpun.
Keyakinan dan Kepasrahan
Kekuatan tawakkal terletak pada keyakinan dan kepasrahan orang yang bertawakkal kepada Allah Azza wajalla. Kedua sifat itu, yakni sifat yakin dan pasrah juga terkumpul dalam sifat keikhlasan.
Tawakkal tidak akan mampu dilakukan tanpa adanya sifat ikhlas. Dalam hal ini, seorang yang ingin bertawakkal harus ikhlas menerima keputusan Allah, ikhlas untuk diatur olehNya, ikhlas menghambakan diri padaNya, dan ikhlas untuk tidak mengkufuri segala nikmat-nikmatNya.
Sehingga, apapun yang terjadi dalam hidupnya dari keputusan Allah dan hukum-hukumNya, niscaya tidak akan mengubah keyakinanNya bahwa Allah adalah sebaik-baik Pengatur.
Kekuatan tawakkal hanya dapat diraih dengan membenarkan sifat tawakkal itu. Karena itu, dalam surah ath-Thalaq ayat 3, Allah Azza wajalla menggunakan kata man (من) sebagai isyarat adanya penyaratan pembenaran hati.
وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS. Ath-Thalaq: 3)
Jika persyaratan Allah terpenuhi, maka janjiNya pun akan diberikan.
Qana’ah dan Ikhlas
Orang yang bertawakkal pada Allah akan memunculkan sifat qana’ah dalam dirinya. Karena itu, ia akan senantiasa bersyukur atas segala nikmat Allah terhadap dirinya, walau nikmat itu terkesan sedikit atau berbeda dengan nikmat yang Allah berikan pada orang lain. itu adalah salah satu kekuatan.
Kekuatan itulah yang membuat setan tidak kuasa menyesatkan orang yang bertawakkal, baik dengan hujjah dan kekuatannya. Ini adalah janji Allah yang tidak akan diingkari. Allah Azza wajalla berfirman:
إِنَّهُۥ لَيۡسَ لَهُۥ سُلۡطَٰنٌ عَلَى ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ ٩٩
“Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya”. (QS. An-Nahl: 99)
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:
ليس له طريق يتسلط به عليهم : لا من جهة الحجة ولا من جهة القدرة
“Setan tidak memiliki jalan untuk menguasainya, baik dari sisi hujjah ataupun kekuatan”. (Ightsatu al-Lahafan Fi Mashayid asy-Syaithan: 132)
Hujjah setan untuk menyesatkan manusia adalah was-was yang ia bisikkan dalam hati-hati manusia. Orang yang bertawakkal pada Allah tidak akan tergoyahkan dengan was-was itu, sebab keikhlasan telah tumbuh kuat dalam hatinya lalu menghiasi perangainya. Hal itu akan membuatnya menerima Allah dengan seluruh ketetapanNya. Itulah kekuatan dan itu telah cukup untuk dirinya.
Renungkanlah, nikmat apakah yang lebih besar dari bantuan Allah berupa kekuatan yang dapat mengokohkanmu diatas iman? Sementara iman itulah yang menjadi syarat utama seseorang dapat masuk ke dalam surga.
Inilah hikmah Allah menempatkan perintah tawakkal pada ayat talak, yaitu untuk menguatkan orang-orang yang telah bercerai. Sebab, perceraian sering kali membuat kegoncangan dan kegelisahan hati, dan setan selalu saja memberi was-was untuk menyesatkan pada orang-orang yang sedang bersedih lantaran perceraiannya itu.
Maka tawakkal akan meringankan kegoncangan hati itu hingga tidak memberi pengaruh sedikitpun pada keimanannya. Itulah yang diperlukan oleh orang-orang beriman setiap kali menghadapi masalahnya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan hambaNya untuk menjaga mereka dari kesesatan dan siksa nerakaNya. Wallahu a’lam.
Demikian artikel tentang tawakkal ini. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang fadhilah.
Oleh: Muhammad Ode Wahyu S.Pd.I, SH