LAZISWahdah.com – Kabaena gunung yang tinggi
Ombak di laut sama ratanya
Sedih-sedih orang yang pergi
Yang ditinggal bagaimana rasanya ….
Perpisahan adalah sesuatu yang memilukan. Perih tak terkira, apatah lagi dengan orang yang tercinta. Karenanya, air mata berlinang, syair dirajut dan didendangkan. Andai bisa memilih, saya yakin kata ‘perpisahan’ dalam kamus kehidupan sepakat untuk dihapuskan. Namun, sudah menjadi sunnah Ilahi yang menciptakan segalanya berpasangan. Jika ada malam pasti ada siang. Ada kaya, ada miskin. Ada senyum, ada tangis. Dan jika ada pertemuan, pasti ada perpisahan. Sampai ada korban perpisahan yang berkata: “Bukanlah perpisahan yang kutangisi ,namun perjumpaan yang kusesali.” Baginda Rasulullah ketika terpaksa meninggalkan kampung halaman_ Kota Mekah_ ikut merasakan kesedihan itu. Betapa tidak, disanalah beliau dilahirkan, dibuai, dan dibesarkan. Memulai perjuangan yang penuh suka dan duka. Ketika turun perintah hijrah, Beliau dengan penuh rasa sedih berangkat menuju Kota Medinah, dengan air mata berlinang seakan beliau berbicara dengan Kota Mekah. Beliau berkata: “Demi Allah, Allah tahu engkau kota yang paling aku cintai. Andai pendudukmu tidak mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.”
Saya pun merasakan demikian, Kawan. Kesedihan mendalam meninggalkan bumi pertiwi sangat terasa waktu itu. Sebenarnya bukan karena buminya, tapi karena disanalah orang-orang tercinta itu berada. Ibu, Bapak, Saudara, Kerabat, Handai Tolan, Ayam piaraan, Roker dan Rosa, dll ….
Yang menjadi motivasi bagi saya adalah benar-benar ‘rihlah’ demi ilmu untuk meraih Syurga. Kalau saja para pencari dunia rela jauh dari kampung halaman, sanak saudara, dan famili, lalu mengapa pencari akhirat gak bisa bersabar?!(dan inilah dintara sebab mengapa saya bisa bertahan hidup di Sudan, banyak tenaga kerja berjibaku, bahkan ada yang terlantarkan dan ditampung di KBRI, ada juga yang menjadi buruh bangunan berpanas ria bermandikan peluh demi mencari sesuap nasi).
Imam Syafi’i-rahimahullah- dalam syairnya berkata:
Merantaulah, engkau akan mendapatkan pengganti dari orang-orang yang kau tinggalkan … dan bekerja keraslah, karena sesungguhnya kelezatan hidup itu ada dalam kerja keras …
Sungguh aku melihat menggenangnya air itu akan membuatnya rusak …
jika ia mengalir maka ia menjadi jernih, dan jika tidak mengalir maka dia akan menjadi keruh …
Singa-singa, andaikan tidak pernah meninggalkan sarangnya, dia tidak akan mendapatkan mangsa …
dan anak panah takkan pernah mengenai sasaran jika tidak meninggalkan busurnya …
Matahari, andaikan dia berhenti terus di orbitnya …
pasti semua manusia akan menjadi bosan kepadanya, baik orang ‘Ajam maupun Arab …
Biji emas itu tidak ada bedanya dengan tanah biasa di tempat-tempat asalnya …
sedangkan cendana hanyalah kayu bakar saja di negeri asalnya …
Jika biji emas itu meninggalkan negeri asalnya, maka menjadi mahal harganya …
dan jika kayu cendana itu meninggalkan negeri asalnya maka ia pun semahal emas ….
Pukul 00.00 WIB, Bandara Soetta, Jakarta …. Tibalah saat-saat keberangkatan terbang tinggi menuju Negeri 2 Nil, Khartoum-Sudan. Dari asrama LIPIA tempat kami (saya, Mukran) nginap, diantar naik taksi oleh Rustam tinggi abu Muh Rustam Mush’Ab dari Sinjai dan Khairul Yamin dari Jogja. Nggak lama kemudian, para penerima beasiswa yang serombongan dengan kami datang satu persatu, hampir semua diantar keluarganya, terutama yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Ramai. Kalau saya lihat, mungkin ada yang diantar satu RT, ada yang satu pesantren, ada juga calon mahasiswa dari Medan yang sudah berkeluarga diantar istri dan anaknya. Subhanallah, sebuah pengorbanan!
Pemandangan itu menarik perhatian saya dan Mukran, karena kami kurang kerjaan waktu itu, tidak ada keluarga yang antar karena memang sudah resmi dilepas dari kampung masing-masing. Kami dibreafing pendamping dari Depag, tiket dibagikan beserta Pasport yang sebelumnya di kedutaan Sudan untuk ditempeli Visa. Masuklah kami ke ruang tunggu pesawat international, para pengantar melambaikan tangan, kami ikut melambai disertai senyuman, walau terus terang gak satupun yang kami kenal. Ikut ramai larut dalam atmosfir pelepasan teman-teman serombongan kami, ada Asep Ami Azwar Farid , Aa Akh Hubur , Takur (Taufiqurrahman), Azis Karammel (nama lengkap beliau Abdul Azis tapi saya memanggilnya Karammel, hm … Ada kisahnya tersendiri), Agus Aulia Elluthfi Hamid Lutfi, Muliadi, dan dua orang mahasiswi. Eh, hampir lupa, ada juga si Alfi Umaymah Alrushaudi Syahar…(Inilah kelebihan berjamaah, saling menutupi, jika mereka tersenyum, anda mengira untuk anda dan jika anda tersenyum, anda mengira mereka semua khusus menyambut senyuman anda. Mengaji berjama’ah juga menyamarkan yang salah bacaannya).
Kami semua berpenampilan rapi, masih necis, dan kelihatan parlente, bahkan ada yang pake jas lengkap dengan sepatunya. Maklumilah, kawan … keluar negeri ceritanya, naik pesawat dengan penumpang heterogen, dan kami tidak menyadari bahwa keparlentean itu hanya akan bertahan beberapa hari dan akan berganti dengan kelusuhan setelah berada di Sudan.
Pesawat kami Qatar Airways, keren menurut kami waktu itu, dan ternyata banyak teman-teman saya yang baru pertama kali naik pesawat, antum bisa bayangkan gimana norak dan udiknya, mungkin ibarat Ratu Balqis yang baru melihat istana kaca Nabi Sulaiman yang beralaskan sungai berlapis kaca sampai mengira istana Sulaiman kebanjiran terus angkat kain. Jujur, kawan … ada yang buka sendal masuk pesawat (tapi itu mending bisa balik ngambil, daripada ada yang buka sendal keluar dari lift, kan repot ngejar sendalnya).
Masker penutup mata anti silau kami kira masker penutup hidung, jadilah ia bertengger dihidung, baru tersadar ketika pesawat telah terbang dan kami ke toilet, ternyata semua penumpang naro’nya di mata. Saya duduk berdekatan dengan Azis Karammel, iseng beliau tanya saya: “Antum sudah berapa kali naik pesawat?”, saya jawab: “Berapa, yah?”(Seakan lupa karena keseringan, padahal saya juga baru dua kali naik pesawat. Pertama waktu ke Palu MTQ, dan yang kedua waktu beberapa hari lalu dari Makassar). Saya balik bertanya: “Antum”?Azis jawab: “Baru sekarang ini.”(Duhai, betapa lugunya kau, kawan).
Kalo Mukran lain lagi kesibukannya, beliau kemana-mana bawa catatan kecil dan pulpen, mendatangi orang-orang yang bisa diajak ngobrol Bahasa Arab, dan menulis kosakata-kosakata yang baru didengarkannya, semangat 45.
Selama kurang lebih delapan jam di pesawat, saya banyak melamun, antara percaya dan tidak bisa mendapat kesempatan belajar keluar negeri, gambaran masa depan mulai tersketsakan, termasuk membayangkan Kampus Universitas tempat saya kuliah nantinya, gambaran saya kembali seperti ketika membayangkan Stiba sebelum melihat langsung, kampus yang megah, fasilitas yang wah, apatah lagi penerima beasiswa pasti akan mendapatkan service yang lengkap, bayangan saya di Sudan nanti seperti di Medinah, mahasiswanya tinggal di asrama mirip apartemen yang berAC, uang saku bulanan (kafalah) yang bisa dikirim separuhnya ke orang tua, dan sudah bisa ditabung demi menyempurnakan separuh agama, apalagi kalau ada asrama untuk mahasiswa berkeluarga pasti asyik sebagaimana fasilitas di Universitas Madinah, tiket liburan tahunan PP… Karena itulah yang saya dengar selama ini dari yang kuliah disana.
Tibalah kami di Sudan dengan selamat, Alhamdulillah. Kami antri di Loket Imigrasi, setelahnya lanjut ambil bagasi, dan disitulah firasat saya mulai terusik karena pemeriksaan barang bagasi kok manual, gak pakai x-ray, koper-koper dibuka, termasuk koper saya yang isinya; selain baju-baju, penuh dengan makanan instan seperti Indomie, ikan tuna kaleng, ‘goreng-goreng’ yang merupakan kolaborasi apik antara tempe, kacang, dan ikan teri buatan mama, sabun lifebuoy merah (sabun langganan sejak kecil yang kalo pakai selainnya bisa alergi), nescafe sachet dan pelembab. Hm … mungkin lagi mati lampu.
Kami disambut para mahasiswa yang tergabung dalam PPI (Persatuan Pelajar Indonesia), seremoni cipaka-cipiki berjalan lancar, selanjutnya kami diarahkan menuju bus yang sudah dicarter panitia penjemputan, sempat juga bertanya-tanya dalam hati; kok gak ada penjemputan resmi dari Universitas? Kami kan penerima beasiswa. Kalo yang pernah saya dengar dari Mahasiswa Medinah, calon mahasiswa baru dijemput pake bus ber-AC, kalo ini dijemput bus setengah butut tanpa AC dengan kursi lipat bagian tengah dengan ‘kumsari'(bc:kondektur) yang bertugas buka tutup pintu. Waktu itu puncak musim panas, tempias udara kering menerpa muka, karena jendela yang terbuka lebar. Suasana hati bergejolak, sepanjang jalan terlihat kering dan gersang, sesekali berpapasan atau melewati gerobak-gerobak yang ditarik oleh ‘himar’ atau Keledai. Suasana di atas bus riuh rendah. Saya bersebelahan duduk dengan seorang mahasiswa pascasarjana yang ikut menjemput, dari raut muka beliau terlihat telah berumur, yang dikemudian hari saya kenal bernama Lalu Agus Pujiartha-hafidzahullah-. Beliau menyapa saya disertai senyuman dari bibir yang kering sedikit terkelupas karena pengaruh suhu udara yang panas: “Akhi dari mana?”, Saya jawab: “Sulawesi, Makassar.”
“Siapa nama antum?” Lanjut beliau. “Harman,”jawab saya singkat. Saya kurang mood menjawabnya, disamping masih letih, banyak hal yang berkecamuk dalam hati saya. Saya belum bisa menyimpulkan apa-apa tapi kesan pertama negara Sudan seakan jauh dari yang terbayangkan. Sebenarnya sebelum berangkat sudah ada informasi awal bahwa di Sudan butuh kesabaran ekstra, tapi kan kita mahasiswa penerima beasiswa? Seperti apapun kondisinya mestinya ada pelayanan istimewa, karena saya beranggapan bahwa gak mungkin pihak universitas ngasi beasiswa kalau kesannya asal-asalan, ini menyangkut nama baik. Dan kenyataannya baru terjawab beberapa waktu setelahnya, bukan cuma butuh kesabaran ekstra,tapi kesabaran ekstra Plus.
Iseng saya bertanya pada Ust. Lalu Agus yang sudah mulai pembicaraan tadi: “Ust, disini kafalah (santunan) perbulan berapa sih? Dan ada gak tiket tahunan kayak Medinah? Trus nanti uang pengganti tiket kita diambil dimana?.”Beliau tersenyum, sambil mengusap punggung saya, beliau menjawab : “Nantilah dijelaskan, Akhi. Antum istirahat aja dulu, masih letih, kan?.” Hati saya semakin gak menentu. Setelah itu, sepanjang jalan saya cuma diam sambil berkhayal, ingat Mama … tak terasa mata saya sembab, air mata tergenang di ujung pelupuk mata, berusaha saya tahan,namun akhirnya tumpah. Itulah air mata pertama saya yang tumpah di tanah Sudan, beruntung gak ada yang lihat. saya juga tidak mengerti penyebabnya, perasaan campur aduk gak menentu, dan ternyata air mata itu akan disusul air mata demi air mata yang mengiringi keberadaan saya selama kurang lebih lima tahun ke depan … Apakah saya cengeng? Mungkin. Lebay? Tidak juga. Tapi bukankah air mata bisa sedikit meringankan keperihan dalam hati, kawan?.
Sore jelang Maghrib, kami tiba di tujuan. Bukan di Universitas tapi kita ditampung di Sekretariat PPI Sudan, Kawasan ‘Arkawit’ namanya, dekat Kampus, berhadapan dengan lapangan bola, sebuah rumah sederhana berpagar besi tertutup, bertetangga dengan penjual arang(oh iya, waktu itu di Ibukota Khartoum banyak penjual arang yang ternyata digunakan untuk keperluan memasak. supermarket juga masih sangat sedikit, bahkan yang terkenal cuma satu, ‘Afra’ namanya, senior saya yang bernama ‘Madrasah’ cerita bahwa waktu diresmikan beliau hadir. Orang Sudan dengan bangga nunjuk ‘Afra’ seraya nanya ke ‘Madrasah’: “Ahoi, Fi Baladikum Zey dy Fiih?”/saudaraku, di negaramu yang kayak gini ada nggak?”. Madrasah diam terpana, gak tau mau jawab apa. Orang Sudan itu mengulangi pertanyaannya dengan nada kesal karena gak digubris. Akhirnya Madrasah menjawab : “Zey dii Mafii, lakin Ahsan min dii, katiiiir”/ yang kaya gini gak ada, tapi yang lebih baik dari ini, banyaaaak. Hahaha. Dia pun diam seribu bahasa). Tanpa berlebihan saya menganggap waktu itu bahwa Sudan dengan segala kebersahajaannya ibarat kembali ke tahun 70-an, walau saya lahir tahun 80-an, seakan pesawat mewah Qatar Airways yang saya tumpangi selama kurang lebih 8 jam adalah mesin pengundur waktu milik Doraemon. Terbelakang dari sisi pembangunan dan perkembangan tekhnologi. Bayangkan! Kalo ada Ta’lim atau Ceramah Syekh di sebuah Masjid, panitia harus siapkan meja besar depan Syekh dengan colokan listrik yang banyak, karena yang merekam membawa tape recorder seperti punya bapak yang dibeli sebelum saya lahir. Makanya, waktu saya bawa alat perekam MP3 berukuran mini waktu itu banyak yang heran dan penasaran, ketika mereka sibuk siapkan kaset rekaman dan tape recordernya, saya cuma gantung alat perekam di tiang mic atau izin dimasukkan ke saku Syekhnya. Ada yang iseng tanya: “Da Syunuu”?/ini alat apa?, saya jawab: “ini perekam yang bisa merekam puluhan bahkan ratusan ceramah.” Dia gak percaya berseru: “Wallai”?/betul Demi Allah?. Saya jawab dengan senyuman ….
Kembali ke sekretariat PPI …
Malam pertama di Sudan. Kami tidur di aula PPI, berkas-berkas kami dikumpul panitia yang telah ditunjuk untuk mendampingi proses registrasi.
Satu hal yang paling berkesan malam itu adalah terjawabnya rasa penasaran saya dengan Firman Allah: “Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara Keledai” (QS. Luqman : 19). Ketika saya bersiap istirahat, tiba-tiba terdengar seperti suara pintu besi karatan yang dibanting-banting, saya bertanya ke salah seorang mahasiswa: “siapa sih yang banting-banting pintu?”, beliau jawab: “itu suara Keledai, akhi”. Saya kemudian berkata: “Shadaqallahul ‘Adziim.”
Lalu, bagaimanakah cerita selanjutnya?
Kafalah, tiket pulang tahunan, uang pengganti tiket, rencana B, jadi kuli bangunan, piket KBRI, Mukran yang mau buka TK/TPA, dll …?
Nantikan pada episode berikutnya ….