LAZISWahdah.com – Pada tahun 2002 M, Allah Ta’ala berkehendak mengenalkan aku dengan salah seorang pemuka kota Jember, Jawa Timur, Haji ‘Ali ‘Asy’ariy namanya. Dia seperti seorang ayah bagiku. Kisahku bersama beliau kusebutkan sebagai bentuk pengakuan akan kebaikannya kepadaku. Demikian pula agar pembaca Qiblati bisa mengetahui kisah perjuangan yang agung.

Hajj_promo_944Pertama kalinya dia bertemu denganku di kota Bondowoso, tepatnya di Masjid al-Ikhlash selepas shalat Jum’at. Dia datang dan duduk bersamaku dengan kehadiran salah seorang ikhwah. Kala itu aku belum mengetahui kalau dia orang kaya, karena penampilannya yang sederhana. Di saat aku mengetahui bahwa dia termasuk penduduk kota Jember, kukatakan kepadanya, ‘Aku berminat membeli tanah atau rumah tempat tinggal di Jember, karena aku juga ingin mendirikan markaz dakwah Islam di sana. Dia pun langsung memintaku untuk mengunjunginya di Jember. Maka aku berjanji untuk mengunjunginya, akan tetapi setelah itu aku pergi ke Makkah.

Empat bulan setelah itu, aku kembali ke Indonesia, kemudian langsung pergi ke Jember dengan tujuan mencari rumah untuk di beli. Kemudian aku mengingat laki-laki yang telah memintaku untuk menziarahinya. Sayang, aku tidak mengenalnya selain nama jalan dan namanya saja. Yang kemudian menjadi jelas bagiku, bahwa namanya yang kusimpan ternyata salah. Di saat kami pergi ke jalan Danau Toba, kami mulai bertanya kepada penduduk tentang Haji Umar, bukan Haji ‘Ali. Sebab kerancuan ini adalah dulu aku bertanya tentang nama putranya yang sulung, lalu dia menyebut nama Umar. Maka bersamaan dengan berjalannya waktu, aku menyangka bahwa namanya adalah Umar.

Setiap kali kami bertanya kepada seseorang tentang rumah Haji Umar, dia memberitakan kepada kami bahwa tidak ada seorang pun di jalan ini yang bernama Haji Umar. Setelah lebih dari sejam pencarian, aku ingat bahwa Umar adalah nama putranya, bukan namanya. Akan tetapi, sekalipun demikian aku belum mengingat namanya.

Maka kamipun bertanya tentang seseorang yang nama putranya adalah Umar, maka mereka langsung menunjukkan kepada kami rumah orang tersebut. Ternyata rumahnya tidak terlalu jauh. Di tengah perjalanan kami menuju rumahnya, aku yakin bahwa kami akan berjalan menuju rumah salah seorang yang miskin. Ternyata kami sampai di depan sebuah rumah mewah, dan kebetulan dia berada di sana. Dia pun sangat bergembira saat melihat aku. Dia berkata, ‘Setelah berbulan-bulan, aku menyangka bahwa Anda tidak akan datang.’ Maka kuberitakan kepadanya bahwa dulu itu aku pergi ke Makkah.

Maka dia bertanya kepadaku, ‘Apakah Anda masih mencari sebuah rumah?’
Kujawab, ‘Ya.’
Diapun berkata, ‘Mari bersamaku, aku punya rumah untuk Anda.’
Maka kami pergi bersama, dan sampailah di sebuah rumah indah, lalu dia berkata, ‘Bagaimana pendapat Anda?’

Maka kukatakan, ‘Rumah ini indah, tetapi terlalu kecil, tidak bisa memenuhi tujuan saya, yaitu menjadi tempat tinggal, dan sekaligus markaz dakwah.’
Dia berkata, ‘Saya paham apa yang Anda inginkan. Mari ikut saya.’
Dia pun membawa saya dan orang yang bersama saya menuju sebuah rumah besar dua tingkat, lebih besar dari yang kubayangkan. Di sana ada 19 kamar, dan sebuah aula besar untuk kajian. Kemudian dia meminta pendapatku. Lalu aku kabarkan kepadanya bahwa rumah ini terlalu besar, aku menyangka aku tidak bisa membelinya.’

Maka dia berkata, ‘Ini adalah rumah saya, dan sekarang menjadi waqaf untuk Anda.’
Aku pun terheran-heran, dan aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Bahkan sekarang aku tidak ingat apa jawabanku kala itu. Akan tetapi yang kuingat adalah ucapannya yang aku tidak pernah melupakannya hingga hari ini, ‘Anda adalah cucu para sahabat, dan saya ingin Anda menjadi tetangga saya.’
Biar bagaimanapun, ini adalah permulaan perkenalanku dengan manusia yang mulia lagi dermawan yang dia sangat mencintaiku, sementara dia belum pernah mengenalku sebelumnya. Seseorang yang aku juga mencintainya seakan-akan dia adalah orang tuaku.

Selang beberapa hari, aku tahu bahwa Haji ‘Ali adalah salah satu orang kaya di kota Jember, bahkan dia diberi gelar Tuan Tanah karena banyaknya tanah yang dimilikinya. Selang beberapa waktu, dia membawaku ke sebuah tanah yang luas, banyak pekerja yang sedang bekerja di sana. Di ujung tanah ini terdapat sebuah bukit yang kemudian kami menaikinya dengan mobil.

Setelah kami keluar, dia mulai menjelaskan kepada saya letak tanah yang luas tersebut, kemudian mengisyaratkan kepada batas-batas tanah dari empat sisinya. Setelah menjelaskan, dia mengagetkanku dengan ucapannya, ‘Tanah ini milik Anda, wahai Syaikh Mamduh.’ Maka aku pun mengucapkan banyak terima kasih, dan kukatakan kepadanya, ‘Wahai Haji ‘Ali, saya tidak datang ke Indonesia untuk melakukan jual beli tanah, saya datang untuk amal dakwah, saya banyak berterima kasih kepada Anda dari lubuk hati saya, cukuplah saya dengan rumah besar yang telah Anda waqafkan kepada saya.’

Maka dia menjawab, ‘Jika Anda tidak puas dengan tanah ini, maka saya memiliki tanah lain (luasnya, sepertinya dia menyebut empat, lima, atau enam hektar).’
Maka saya katakan kepadanya, ‘Tanah tersebut sangat indah, dan cukuplah itu di Indonesia, akan tetapi saya sama sekali tidak membutuhkannya, mudah-mudahan Allah membalas Anda segenap kebaikan.’

Beberapa hari berikutnya, dia mengundangku untuk datang ke rumahnya seraya berkata, ‘Saya melihat sesuatu yang aneh pada diri Anda.’
Kukatakan kepadanya, ‘Apa itu?’

Dia menjawab, ‘Saya melihat Anda naik becak, dan ini tidak layak bagi Anda, Anda harus punya kendaraan, dan saya ingin membelikan Anda mobil yang Anda pilih sendiri.’

Maka kukatakan kepadanya, ‘Saya adalah orang yang sederhana, saya menikmati naik becak, dan tidak butuh mobil.’
Maka dia mengulang-ulang permintaannya, dan aku pun mengulang-ulang alasanku.
Biasanya dia melewati saya kemudian bertanya kepada saya tentang kekurangan apa yang saya hadapi, atau jika saya membutuhkan sesuatu. Pada suatu hari, dia datang kepada saya seraya berkata, ‘Besok saya ingin Anda bersama saya untuk mencatatkan akta waqaf atas nama Anda.’

Maka saya meminta udzur kepadanya karena saya berniat untuk memperpanjang visa, yang kemudian lebih dari itu saya ingin pergi ke Lombok.
Maka dia berkata kepada saya, ‘Jangan pergi ke kantor Imigrasi, datanglah ke rumah saya jam 8 pagi.’

Maka saya hadir di rumahnya, sementara aku tidak tahu apa maksudnya. Maka kudapati di sana ada dua orang dari pegawai kantor imigrasi. Kemudian Haji Ali meminta passport saya lalu memberikannya kepada mereka. Salah seorang dari mereka mengambilnya kemudian pergi dengan sepeda motor. Setengah jam berikutnya, dia datang dengan membawa passport saya, dan telah selesai perpanjangan visa saya. Lalu Haji ‘Ali meminta saya untuk mengabarinya setiap kali akan memperbaharui visa agar urusannya menjadi mudah.

Cukuplah keutamaan laki-laki itu bagi saya dengan bagian ringkas ini, betapapun saya menyebutkan keutamaannya, saya rasa tidak bisa memenuhi hak-haknya.
Pada suatu hari, dia menyebutkan kisah perjuangannya, dan bagaimana dia menjadi salah seorang yang kaya setelah sebelumnya dia adalah seorang yang miskin. Kisahnya sangat panjang, hanya saja cukuplah saya menyebutkan perkara aneh lagi indah di dalamnya.

Saat Haji Ali masih miskin, dia bernadzar, bahwa jika Allah membuatnya kaya, maka dia akan berhaji untuk Allah sebanyak 40 kali. Maka Allah Ta’ala menginginkan dia menjadi orang kaya, lalu Allah membuka bagian dari perbendaharannya dengan perintah-Nya kun fayakun. Maka mulailah Haji Ali memenuhi nadzanya kepada Allah, dan mulailah dia melakukan perjalanan tiap tahun menuju ibadah haji. Lalu jadilah sebagai kebiasaannya pergi untuk berhaji tiap tahun. Dan sepanjang ibadah hajinya yang berulang-ulang dia berangan-angan untuk mati di Makkah, dan di kuburkan di kuburan Ma’la.

Pada tahun 2004 dia telah menyelesaikan penunaian ibadah haji yang ke 37 kali, setelah itu dia terkena stroke, lalu kesehatannya banyak menurun, namun dia terus menunaikan hajinya, lalu berangkat haji sambil menahan dirinya untuk menunaikan ibadah haji yang ke 38. Setelah kembali, dia terkena stroke lagi yang lebih parah dari sebelumnya. Akibatnya dia beberapa bulan masuk rumah sakit di Jember dan Surabaya. Hingga saya beranggapan bahwa dia tidak akan bisa berdiri dari sakitnya karena kondisinya yang buruk. Akan tetapi aku dikagetkan dengan niatnya untuk berangkat haji setelah kondisinya sedikit membaik. Padahal perkembangan baik itu menghalanginya untuk berangkat dan menunaikan kewajiban haji, tetapi dia ingin menyempurnakan perjalanan penunaian nadzar kepada Allah Ta’ala dalam keadaan yang paling sulit dari sakitnya. Sungguh, dia seorang yang jujur terhadap dirinya dan kepada Allah Ta’ala.

Pada tahun 2005 (1425 H) dia datang ke Makkah dengan ditemani oleh istri dan putranya, Haji Umar, dan sejumlah jama’ahnya. Telah menjadi kebiasannya setiap tahun menghajikan orang-orang atas biayanya. Ditambah lagi ada sekelompok haji yang pergi berangkat haji di bawah kepemimpinannya.

Saat dia tiba di Makkah, sampailah berita kepadaku bahwa dia jatuh pingsan lalu dibawa ke klinik Indonesia. Maka aku cepat-cepat pergi untuk meyakinkannya. Saat aku mendapati perawatan sederhana, dan melihat kurangnya kemampuan pelayanan, saya memindahkannya menuju Rumah Sakit Umum Hara` sementara dia dalam keadaan koma. Dan dia terus dalam keadaan seperti itu untuk beberapa hari.
Atas dasar itu, mustahil baginya untuk menunaikan ibadah haji pada tahun tersebut. Pada hari kelima dari bulan Dzulhijjah, sejumlah ulama Makkah menziarahinya, dan jumlah mereka lebih dari lima belas orang, dan tokoh mereka adalah Mufti Masjidil Haram dan Ulama besar Makkah, DR. Thalal Abunnur. Mereka berdo’a kepada Allah bagi kesembuhannya. Sementara Haji Ali tidak menyadari satu orang pun di antara mereka.

Pada malam 9 Arafah, terjadi perkara aneh, keadaannya tiba-tiba membaik yang membuat para dokter keheranan, dan itu adalah pertama kalinya dia mengenaliku dan berbicara denganku.
Di saat aku merasa yakin bahwa dia sudah sadar, aku meminta kepada dinas kesehatan untuk membawanya ke ‘Arafah besok agar bisa wuquf bersama para jama’ah haji di sana. Sementara aku, atau putranya menyempurnakan lempar jumrah atas namanya.

Dan benar, disiapkanlah sebuah mobil khusus untuknya bersama dengan orang-orang khusus, lalu dinas kesehatan membawanya ke Arafah dan wuquf di sana hingga matahari terbenam, kemudian dikembalikan sekali lagi ke Rumah sakit, dan kesehatannyapun sedikit membaik.

Akan tetapi beberapa hari setelah itu, keadaannya turun drastis. Lalu tak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Di saat datang waktu kedatangan istrinya dan putranya yaitu Haji Umar, aku meyakinkan mereka, bahwa aku akan menggantikan mereka merawatnya di Makkah, dan hendaknya mereka semua kembali ke Indonesia, agar mereka tidak menemui kesulitan daripada jika mereka tertinggal, dengan izin Allah, Allah akan menetapkan sesuatu yang terbaik baginya. Maka, dikarenakan kepercayaan mereka kepadaku, juga pengetahuan mereka akan kecintaanku kepada Haji Ali, dan bahwa dia seperti seorang ayah bagiku, merekapun kembali ke Indonesia.

Beberapa hari setelah kembalinya mereka (keluarga Haji Ali) di tanah air, berpulanglah roh Haji Ali kembali ke Penciptanya. Maka terlaksana sudah angan-angannya untuk mati di Makkah. Sementara itu sudah lama ada peraturan untuk tidak mengizinkan jama’ah haji dikuburkan di pekuburan Ma’la. Tetapi aku menolak dia dikuburkan selain di kuburan Ma’la. Maka aku sampaikan perkara tersebut kepada amir Makkah saat itu, yaitu Amir Abdul ‘Aziz , yang kemudian mengabulkan permintaan dan memerintahkan pada hari yang sama untuk menguburkan haji ‘Ali di kuburan Ma’la.

Haji Ali wafat diwaktu zhuhur, namun karena ada pemeriksaan resmi yang harus diselesaikan antara pihak Saudi dan Indonesia, aku putuskan shalat atasnya dilakukan keesokan harinya setelah subuh di Masjidil Haram, dan dikebumikan setelah shalat. Akan tetapi hal ini membutuhkan kesungguhan dan kerja keras. Waktu yang tersisa tinggal beberapa jam, sementara pemeriksaan banyak, termasuk diantaranya adalah penyerahan Rumah sakit, memandikannya, kemudian memindahkannya ke Masjidil Haram, hingga aku tidak tidur sepanjang malam.

Alhamdulillah, pemeriksaan berkas-berkas bisa selesai dengan cepat, demikian pula dengan sampainya persetujuan pemakaman di kuburan Ma’la. Sejumlah ulama Makkah ikut serta dalam pemandiannya. Yang menshalatinya pada hari itu adalah Syaikh Su’ud as-Syuraim, dengan dihadiri oleh jutaan orang yang shalat. Kala itu Masjidil Haram penuh dari awal hingga akhir, tidak ditemukan pada tempat yang kosong, hingga kami merasa kesulitan untuk masuk dan keluar karena berdesak-desakannya manusia.

Setelah itu kami membawanya ke kuburan Ma’la sementara kedelapan surat persetujuan pemakamannya ada ditanganku. Sungguh aku mengetahui nilai dari surat tersebut, surat-surat itu mengantarkan seorang laki-laki agung kepada angan-angannya yang agung.

Kami pun sampai bersama sejumlah Ulama, dan tokoh mereka adalah Syaikh ‘Abdurrahman al-Qashshash, Mufti Masjidil Haram dan anggota Dewan Pengajar Universitas Ummu Quro, serta sejumlah thalibul ilmi Indonesia, dan yang aku ingat di antara mereka adalah akhi Ustadz Hamdi dari Bondowoso.

Aku sendiri yang turun ke liang kubur lalu menghadapkan wajahnya ke arah Qiblat kemudian kucium kepalanya, lalu kuucapkan salam perpisahan terakhir dengan cucuran air mataku yang menetes di atasnya. Air mataku itu adalah air mata terakhir antara aku dan dia di kehidupan alam dunia ini.

Demikianlah kematian laki-laki mulia tersebut, seorang laki-laki yang barangkali Allah telah menetapkan untuk mengenalku hingga aku menjadi sebab terwujudnya angan-angannya untuk dikuburkan di pekuburan Ma’la. Dan menjadikan aku sebagai sebab para ulama dan ahli ilmu ikut serta dalam penguburannya sebagai bentuk pemuliaan dan penghormatan baginya.

Seorang laki-laki yang aku meminta kepada Allah agar aku bisa membalas sebagian dari jasa baiknya kepadaku dan kepada dakwah. Mudah-mudahan Allah merahmati ayahku, Haji ‘Ali Asy’ariy, dan memasukkannya ke dalam sorga-Nya yang luas.

(*) Haji Umar telah menunaikan haji mewakili ayahnya sebagai pemenuhan nadzar ayahnya untuk berhaji yang ke-40 kali. Mudah-mudahan Allah Ta’ala membalasnya dengan sebaik-baik balasan. Dan saya berharap kepada setiap orang yang membaca kisah ini untuk mendo’akannya mendapat rahmat Allah Ta’ala.

Sumber : Majalah Qiblati dengan judul asli KISAHKU BERSAMA HAJI ALI ASY’ARI oleh Syaikh Mamduh Farhan al-Buhairi

Tinggalkan Balasan