Oleh: Ustadz Maulana La Eda, Lc. MA. (Anggota Dewan Syariah Wahdah Islamiyah)

Suatu hari dalam majelis Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling utama?”. Beliau menjawab, “Yaitu setiap orang yang suci hatinya lagi jujur lisannya.” Kemudian sebagian sahabat bertanya lagi, “Kalau orang yang jujur lisannya, maka kami sudah tahu. Tapi siapakah yang suci hatinya itu?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang yang bertakwa dan bersih. Tidak ada dosa padanya, tidak zalim, tidak iri, dan tidak menyimpan dengki.” (HR Ibnu Majah: 4216, hasan).

Kisah ini mengisyaratkan pada setiap muslim bahwa parameter keutamaan seorang insan adalah terletak pada kesucian dan keselamatan hatinya dari berbagai noda dan dosa. Bahkan lebih dari itu parameter keselamatan dirinya di akhirat kelak sangat bergantung pada keselamatan hatinya. Sehingga sangat pantas bila Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berdoa agar ia terselamatkan dari azab dan kehinaan di hari kiamat kelak dengan sebab keselamatan dan kesucian hati ini, sebagaimana yang diabadikan Allah Ta’ala dalam firman-Nya: “Janganlah menghinakan aku pada hari (para makhluk) dibangkitkan. Hari di mana harta sama sekali tidak memberi manfaat dan tidak pula anak keturunan. Kecuali orang-orang yang mendatangi Allah dengan hati yang selamat.” (QS Asy-Syu’ara: 87-89).

Imam Ibnul-Qayim rahimahullah menegaskan bahwa makna “Al-Qalbu As-Saliim” ini adalah hati yang selamat atau suci dari noda kesyirikan, iri hati, dengki, hasad, sifat kikir, tamak, cinta dunia dan popularitas. Dengannya, hati terjauhkan dari hal-hal yang bisa memalingkannya dari Allah Ta’ala, juga dari berbagai macam syubhat dan doktrin sesat, atau syahwat dan hawa nafsu. (Lihat: Al-Jawaab Al-Kaafi: 151).

Kesucian hati inilah yang seharusnya menjadi dampak positif paling utama dari berbagai aktifitas ibadah dan pembinaan akhlak yang kita lakukan di bulan Ramadhan. Sehingga tidaklah Ramadhan berlalu melainkan hati kita telah suci berlukiskan aneka ketakwaan: “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).

Setelah Ramadhan, konsistensi ibadah kita hendaknya lebih berkualitas dan berkuantitas, akhlak kita harusnya semakin baik dan mulia, serta hati kita kian suci dan disucikan dari banyak noda; syirik, tamak, riya’, dengki, iri hati, niat buruk, buruk sangka, dan penyakit-penyakit hati lainnya. Sebab inilah yang menjadi salah satu tujuan dan hikmah seluruh aktivitas ibadah dalam bulan Ramadhan yang telah berlalu.

Puasa yang kita lakukan mestinya meningkatkan keikhlasan hati, kesabaran jiwa dan sikap mengasihi orang lain. Tarawih dan tahajud kita harus menggembleng hati agar konsisten bermunajat kepada Allah di sepanjang tahun.

Sedekah, zakat fitrah, dan pemberian makanan berbuka puasa; sudah sepantasnya meningkatkan kesadaran hati ini agar selalu peduli dengan sesama, menghilangkan sifat kikir, tamak, dan cinta dunia.

Serta akhlak buruk dan lisan kotor yang dilarang lebih tegas dalam Ramadhan; sudah semestinya menempa hati dan lisan kita agar semakin suci dan bersih. Sehingga, tidaklah kita berhari raya dan memasuki bulan Syawal, melainkan dampak positif tarbiyah Ramadhan itu telah tertanam dalam diri kita.

Lantaran urgennya kesucian dan keselamatan hati dan jiwa ini, Nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wasallam selalu menyempatkan diri untuk memohon kepada Allah agar diberikan hati yang suci dan lisan yang jujur: “Allaahumma innii as-aluka qalban saliiman, wa lisaanan shaadiqan.” [Wahai Allah, saya memohon pada-Mu agar memberikanku hati yang selamat dan lisan yang jujur]. (Lihat: HR Nasai dalam Sunan-nya: 1304 dan Ahmad: 17114, hasan).

Semua ini menunjukkan bahwa hati manusia adalah unsur paling penting yang ada dalam dirinya, sebab adanya kebaikan atau keburukan yang ada pada dirinya sangat tergantung pada kebaikan atau keburukan hati ini. Dalam hadis lain Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menegaskan, “Ingatlah, sesungguhnya dalam tubuh ini terdapat segumpal daging, bila ia baik maka seluruh tubuh akan baik pula, dan bila ia rusak, maka seluruh tubuh akan ikut rusak pula. Ingatlah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR Bukhari: 52, dan Muslim: 1599).

Oleh karena itu, demi mewujudkan adanya hati yang suci dan selamat dari noda dosa dan maksiat, seorang muslim harus terus berusaha memperbaiki hatinya dan menjauhkannya dari berbagai hal yang bisa mengotori atau bahkan merusaknya. Di antara trik menjaga keselamatan hati tersebut adalah:

  1. Berusaha mengikhlaskan berbagai aktifitas ibadah hanya mengharap keridhaan dan balasan dari Allah Ta’ala semata.

Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah, sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya kepada Allah Tuhan seluruh alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dan dengannyalah aku diperintahkan, dan aku menjadi orang yang pertama kali berpasrah diri (kepada-Nya).” (QS Al-An’am: 162-163).

  1. Rutin membaca Al-Quran dan mentadaburi makna-maknanya.

Allah Ta’ala berfirman: “Wahai sekalian manusia, telah datang kepadamu nasihat (peringatan) dari tuhanmu, dan juga obat penyembuh (penyakit) yang ada di dalam dada.” (QS Yunus: 59).

Ibnul-Qayim rahimahullah berkata, “Al-Quran itu adalah obat paling sempurna untuk hati dan tubuh.” (Zaad Al-Ma’aad: 4/352).

  1. Banyak berdoa kepada Allah agar mensucikan hati kita.

Hal ini seringkali dilakukan oleh Nabi kita, padahal beliau adalah orang yang paling dekat dengan Allah dan paling suci hatinya. Sehingga kita semua wajib mengikuti petunjuk beliau dalam doa ini. Di antara doa beliau adalah: “Allaahumma innii as-aluka qalban saliiman, wa lisaanan shaadiqan.” [Wahai Allah, saya memohon pada-Mu agar memberikanku hati yang selamat dan lisan yang jujur]. (Lihat: HR Nasai dalam Sunan-nya: 1304 dan Ahmad: 17114, hasan).

Juga hendaknya banyak berdoa agar segala unsur keburukan dihilangkan dari hati kita: “Wahai Tuhan kami, beri ampunlah kami dan dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami. Dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (QS Al-Hasyr: 10).

  1. Selalu berbaik sangka kepada setiap muslim.

Sikap berbaik sangka merupakan salah satu amalan hati yang sanggup mensucikannya. Allah Ta’ala telah memperingatkan kita semua agar menjauhi prasangka buruk: “Wahai orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa…” (QS Al-Hujurat: 12).

Dosa jenis inilah yang semestinya disucikan dari hati dan ketiadaannya merupakan ciri keselamatannya sebagaimana disebutkan dalam kisah di awal tulisan ini.

Kesucian atau keselamatan hati ini merupakan jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang disucikan hatinya oleh Allah Ta’ala. Ketika sakit menjelang wafat, Abu Dujaanah radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Tidak ada amalan sesuatu pun yang ada pada diriku yang lebih aku yakini (dapat menyelematkanku dari azab Allah Ta’ala) kecuali dua hal: yaitu aku sama sekali tidak berkata-kata pada hal yang tidak bermanfaat bagiku, dan hatiku senantiasa selamat dan suci terhadap kaum muslimin.” (Siyar A’laam An-Nubalaa: 1/243).

Demikian, semoga bulan suci Ramadhan yang telah kita lewati dijadikan sebab oleh Allah Ta’ala untuk Dia mengampuni dosa-dosa kita, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah kita, serta menjaga kesucian jiwa dan keselamatan hati kita, sehingga kita akan menjumpai-Nya dengan hati yang penuh keridaan. Aamiin.[]

***

Rubrik lain dari MAJALAH SEDEKAH PLUS bisa anda baca di Majalah Sedekah Plus Edisi 53 yang telah terbit.

📞 Info & Pemesanan Tlp/SMS/WA 085315900900

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *