renungan menjadi terfakir
Menjadi Terfakir

Dalam perjalanan singkat 60-70 tahun di dunia ini, sebenarnya apa yang kita cari?

Dalam seluruh lelah-letih kita menunaikan ibadah kepada Allah…

Dalam semua kepayahan menahan godaan syetan dan dorongan nafsu…

Dalam semua pengorbanan waktu dan tenaga menghadiri pertemuan-pertemuan dakwah yang katanya membicarakan urusan umat…

Sebenarnya apa yang sedang kita kejar?

Dari sudut ruang yang jauh, mungkin kita akan mendengarkan jawaban “yang biasa kita dengarkan”: aku sedang mencari dan mengejar ridha Allah.

Jawaban yang luar biasa.

Jawaban yang memang sudah sepatutnya diberikan.

Jawaban yang “penuh cahaya”.

Tapi jawaban yang luar biasa ini semakin lama semakin terasa sangat klise kedengarannya. Jawaban yang kita sendiri pada saat mengucapkannya, sering ragu pada diri: benarkah aku memang melintasi semua kelelahan dan keletihan itu untuk mengejar ridha-Nya?

Kita meragukan shidq (ketulusan dan komitmen hati) kita sendiri untuk itu…

Maka di situ terciptalah sebuah ruang hampa. Sebuah celah yang kosong. Kehampaan dan kekosongan yang akhirnya menyebabkan sebuah kekeringan. Kekeringan jiwa dan hati. Bukan pada jiwa para pendosa dan pendurhaka. Bukan pada jiwa manusia yang siang-malam beruntai maksiat demi maksiat. Bukan.

Ini adalah kekeringan jiwa dan hati para ahli ibadah.

Ini adalah kehampaan jiwa para manusia shaleh dan baik.

Kegersangan jiwa dan hati para pendakwah di jalan Allah.

Mungkinkah ini terjadi?

Kenapa tidak. Syetan bukan dominasi para pendosa dan pendurhaka. Syetan bukan dominasi orang kafir, pezina, koruptor dan pendurhaka. Syetan juga hadir untuk orang-orang shaleh. Maka Ibnu al-Jawzy menulis buku berjudul Talbis Iblis: Perangkap Iblis. Bacalah buku itu…niscaya engkau akan melihat betapa banyak strategi Iblis menghadap orang-orang shaleh; seperti Anda!

***

Jadi mengapa kesibukan beribadah justru menciptakan ruang hampa di jiwa?

Mengapa aktifitas dakwah justru mengeringkan hati?

Mungkin ada banyak jawaban untuk itu. Tapi salah satunya adalah kita seringkali lupa.

Lupa untuk menyadari bahwa semua lelah-letih beribadah itu…

Semua lelah-letih mengurusi dakwah itu…

Semua kepayahan menghadapi godaan syetan itu…

Sebenarnya untuk menunjukkan dan membuktikan satu hal: bahwa kita adalah sekumpulan manusia yang faqir, sangat faqir kepada Allah!

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ

“Wahai sekalian manusia! Kalian (benar-benar) orang-orang yang faqir kepada Allah, dan Allah sajalah Yang Mahakaya lagi Mahaterpuji.” (Fathir: 15)

Jadi apakah ibadah demi ibadah itu membuat kita semakin menyadari betapa miskinnya kita di hadapan-Nya?

Apakah kelelahan mengurusi dakwah itu membuat kita semakin menyadari betapa lemah dan tidak berdayanya diri ini? Betapa besarnya hajat kita untuk selalu bersandar kepadaNya?

Atau jangan-jangan ibadah demi ibadah itu malah membuat kita semakin jumawa dan sedemikian suci…

Jangan-jangan kesibukan dakwah malah membuat kita semakin merasa hebat dengan potensi diri dan lupa terhadap ke-Mahakuasaan Allah Azza wa Jalla…

***

Jika dari waktu ke waktu, rasa faqir dan miskin kepada Allah Ta’ala semakin kukuh dan teguh dalam jiwa…

Maka selamat untuk Anda!

Anda akan menjadi manusia paling bahagia, di dunia dan akhirat.

 

Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. M.Si.

(Sumber: Majalah SEDEKAH PLUS rubrik Oase edisi 6, Tahun I)

Tinggalkan Balasan