Di masa jahiliyah ia terikat janji dengan Aswad Abdu Yaghuts untuk diangkat sebagai anak hingga namanya berubah menjadi Miqdad bin Aswad. Tetapi setelah turunnya ayat mulia yang melarang merangkaikan nama anak dengan nama ayah angkatnya dan mengharuskan merangkaikannya dengan nama ayah kandungnya, maka namanya kembali dihubungkan dengan nama ayahnya, yaitu Amr bin Sa’ad.
Miqdad bin Amr termasuk golongan yang pertama kali masuk Islam. Ia adalah orang ketujuh yang menyatakan keislaman secara terang-terangan dan rela menanggung penderitaan dan siksaan, serta kekejaman kaum Quraisy. Hingga ketika Allah memerintahkan untuk memerintahkan hijrah ke Madinah Miqdad pun termasuk dalam rombongan kaum Muhajirin.
Pada masa awal tinggal di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi sahabat Muhajirin dalam kelompok yang terdiri dari sepuluh orang, yakni untuk mereka yang tidak tinggal dengan orang-orang Anshar, tetapi tinggal di serambi masjid sebagai Ahlu Shuffah. Miqdad berada dalam satu kelompok dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ada tiga ekor kambing yang dapat diperah susunya untuk kelompok ini.
Suatu ketika Miqdad dan dua orang temannya dalam keadaan sangat lapar dan payah, sementara ada satu gelas susu yang merupakan jatah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sendiri sedang berkunjung ke rumah seorang sahabat. Setan pun membisikkan pikiran jahat pada Miqdad, “Sebaiknya engkau minum susu itu. Nabi sedang berkunjung ke rumah sahabat Anshar, dan pasti beliau dijamu dengan istimewa disana…”
Miqdad mengabaikannya, tetapi setan terus membisikinya, dan keadaannya yang payah serta rasa lapar itu pun mendukung, sehingga ia tidak tahan lagi, susu itupun diminumnya dengan dua orang temannya.
Setelah minum kedua temannya tertidur, sedangkan Miqdad sendiri dihantui perasaan bersalah karena meminum susu jatah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setan menambah kegundahannya dengan bisikan-bisikan, “Apa yang engkau lakukan? Muhammad akan segera datang, dan akan mencari jatah susunya, pasti engkau akan binasa karena ia akan berdoa untuk kebinasaan orang yang menyerobot bagiannya…”
Tak berapa lama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, beliau langsung shalat sunnah beberapa rakaat. Miqdad makin gelisah, menunggu apa yang akan terjadi. Usai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh ke arah gelas susu yang telah kosong, kemudian beliau mengangkat tangan untuk berdoa….
“Binasalah aku!!” Kata Miqdad dalam hati.
Tetapi kemudian ia mendengar doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah, berilah makanan kepada orang yang memberiku makanan, berilah minuman kepada orang yang memberiku minuman.”
Mendengar doa tersebut, Miqdad bergegas bangun dan mengambil pisaunya. Ia bermaksud menyembelih salah satu dari ketiga kambing tersebut untuk makanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi ia terkejut menemui ketiga kambing tersebut dalam keadaan penuh air susunya, padahal ketika datang bersama kedua temannya, tidak ada setetespun susu yang dapat diperah dari ketiga kambing tersebut.
Miqdad mengambil sebuah bejana dan mengisinya dengan susu kemudian membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meminumnya beberapa teguk lalu diberikan kepada Miqdad.
Setelah minum beberapa teguk, Miqdad mengembalikannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah beliau minum beberapa teguk diberikan lagi kepada Miqdad. Begitulah beberapa kali bergantian minum hingga akhirnya Miqdad kekenyangan dan tertawa mengingat apa yang dilakukannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang faham apa yang terjadi, tersenyum dan bersabda, “Perbuatanmu itu adalah salah satu keburukanmu, hai Miqdad! Tetapi itu semua tidak terjadi kecuali karena rahmat Allah Azza wa Jalla. Sebaiknya engkau bangunkan kedua temanmu agar bisa merasakan susu ini.”
“Ya Rasulullah, aku tidak perduli siapa yang disalahkan dalam hal ini, tetapi yang penting engkau telah meminum susu itu, dan aku telah meminum sisa engkau…” Kata Miqdad.
Kemudian ia membangunkan kedua temannya untuk bisa menikmati susu yang penuh berkah tersebut.
Miqdad termasuk ahli Badar, yakni sahabat yang mengikuti perang Badr, yang di dalam al-Qur’an telah dijamin keselamatannya di akhirat. Keberanian dan perjuangannya di medan Perang Badar akan selalu diingat oleh kaum Muslimin sampai saat ini.
Miqdad bin Amr pernah tampil berbicara mengobarkan semangat di tengah ketakutan dan kegalauan kaum Muslimin dalam peperangan Badar karena kekuatan musuh yang begitu dahsyat.
Miqdad berkata, “Wahai Rasulullah, teruslah laksanakan apa yang dititahkan Allah, dan kami akan bersama anda. Demi Allah, kami tidak akan berkata seperti apa yang dikatakan Bani Israil kepada Nabi Musa, ‘Pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah’, sedang kami akan mengatakan kepada anda, ‘Pergilah Engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami ikut berjuang di sampingmu’. Demi yang telah mengutus engkau membawa kebenaran! Seandainya engkau membawa kami melalui lautan lumpur, kami akan berjuang bersamamu dengan tabah hingga mencapai tujuan.”
Kata-katanya mengalir laksana anak panah yang lepas dari busurnya. Hingga merasuk ke dalam hati orang-orang Mukmin. Dan wajah Rasulullah pun berseri-seri sementara mulutnya mengucapkan doa yang terbaik untuk Miqdad.
Pasukan Islam pun menjadi bersemangat mengikuti semangat Miqdad. Kata-kata Miqdad benar-benar berdampak positif kepada segenap pasukan Islam. Pasukan kaum Muslimin yang hanya sekitar 300 orang dengan izin Allah mampu mengalahkan 1000 orang pasukan kafir Quraisy.
Dalam kancah perang tersebut Miqdad membuktikan kejujuran ucapannya. Dengan kelincahannya berkuda Ia memporak-porandakan barisan pasukan Quraisy.
Abdullah bin Mas’ud pernah berkata, “Saya telah menyaksikan perjuangan Miqdad, sehingga saya lebih suka menjadi sahabatnya daripada segala isi bumi ini.”Miqdad bin Amr pernah diangkat oleh Rasulullah sebagai Gubernur di suatu wilayah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, “Bagaimana dengan jabatanmu?”
Ia menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikanku menganggap diri ini di atas rakyat sedang mereka di bawahku. Demi yang telah mengutusmu membawa kebenaran, mulai saat ini saya tidak akan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang.”
Ia menjadi gubernur, lalu dirinya dikuasai kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi gubernur lagi setelah pengalaman pahit itu. Dan ia menepati janjinya itu. Sejak saat itu, ia tak pernah menerima jabatan pemimpin.[]