Sejak usia muda, cahaya iman bersinar dalam jiwanya. Rabi’ah bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, nama yang tak asing di telinga kaum Muslim, memiliki hati yang penuh dengan pengertian dan pemahaman tentang Islam.
Ketika pertama kali ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, cintanya kepada Islam dan sang Rasul seketika mekar. Rabi’ah dengan tulus menyerahkan dirinya sebagai pendamping setia Nabi. Ke mana pun Rasulullah pergi, Rabi’ah selalu berada di sisinya.
Rabi’ah menjadi pelayan setia yang siap melayani Rasulullah sepanjang hari, bahkan hingga malam larut saat Rasulullah melakukan shalat malam. Ia bahkan mendengar sang Nabi membaca Al-Fatihah dan ayat-ayat Al-Quran dalam tengah malam yang sunyi.
Rasulullah selalu membalas kebaikan dengan lebih banyak kebaikan. Suatu ketika, Rasulullah memanggil Rabi’ah dan berkata, “Wahai Rabi’ah bin Ka’ab, sampaikan permintaanmu dan itu akan aku kabulkan.”
Rabi’ah, meski miskin, memikirkan permintaannya dengan sungguh-sungguh. Awalnya, ia ingin meminta kekayaan dunia agar bisa bebas dari kemiskinan. Namun, hati kecilnya memberikan nasihat yang bijaksana, dan ia meminta Rasulullah berdoa agar menjadi pendampingnya di surga.
Rasulullah diam sejenak, lalu bertanya, “Tidak ada permintaan lain?”
Rabi’ah dengan mantap menjawab, “Tidak, ya Rasulullah, hanya itu yang aku inginkan.”
Rasulullah pun memberinya petunjuk, “Bantulah aku dengan dirimu sendiri. Perbanyaklah sujud.”
Sejak saat itu, Rabi’ah dengan tekun mendekatkan diri kepada Allah melalui sujudnya, mengharapkan ganjaran yang begitu besar, yaitu keberuntungan menemani Rasulullah di surga sebagaimana ia pernah melayani sang Nabi di dunia.
Tidak lama kemudian, Rasulullah kembali memanggilnya. “Mengapa engkau tidak menikah, hai Rabi’ah?” tanya sang Nabi.
Rabi’ah, yang awalnya enggan menikah, menjawab, “Saya tak ingin ada yang mengganggu kewajiban berkhidmat kepada Anda, ya Rasulullah. Dan saya tidak memiliki apa-apa, termasuk mahar untuk menikah.”
Rasulullah, dengan perhatian dan kasih sayangnya, menyuruhnya menikah dengan seorang gadis dari keluarga tertentu. Bahkan, Rasulullah memberinya sebidang kebun yang berbatasan dengan kebun milik Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai hadiah pernikahan.
Namun, pernah terjadi perselisihan antara Rabi’ah dan Abu Bakar terkait sebatang pohon kurma. Saat situasi memanas, Abu Bakar menyampaikan kata-kata tak pantas. Namun, kemudian ia menyesal dan meminta agar Rabi’ah mengucapkan kata-kata serupa sebagai hukuman.
Rabi’ah menolak dengan bijaksana, dan ketika Abu Bakar mengadukan kejadian ini kepada Rasulullah, Rabi’ah tetap menjaga kesopanan. Ia tak ingin melukai hati Rasulullah dan Abu Bakar. Ia berkata kepada mereka yang mencela sikapnya, “Itulah ‘Ash-Shiddiq,’ sahabat terdekat Rasulullah dan orang tua kaum Muslimin. Dia adalah seorang yang penuh kemuliaan.”
Dalam keadilan dan hikmahnya, Rasulullah meminta Rabi’ah untuk mengucapkan doa agar Allah mengampuni Abu Bakar. Perdamaian pun kembali memenuhi hati mereka berdua, dan mereka hidup rukun kembali.
Rabi’ah bin Ka’ab adalah contoh teladan tentang bagaimana seorang sahabat Nabi menampilkan kesetiaan dan kerendahan hati dalam pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya serta dalam hubungannya dengan sesama manusia. Kesetiaan dan kerendahan hati Rabi’ah menjadi pelajaran berharga bagi semua Muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari mereka.