Oleh: Ustadz Ridwan Hamidi, Lc. M.P.I., MA.
Kita sering mendengar istilah riya’. Kata “riya” berasal dari kata roo-a yuroo-i, sedangkan sum’ah berasal dari kata sami’a (mendengar). Orang yang riya’ berharap agar orang lain melihat perbuatannya. Orang yang sum’ah berharap agar orang lain mendengar perbuatannya.
Riya’ berikut semua derivatnya itu merupakan akhlaq yang tercela dan merupakan salah satu sifat orang munafiq. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisaa’: 142).
Ada sebuah hadits yang patut jadi renungan kita bersama terkait bahaya riya’ pada amalan yang kita kerjakan. Hadits yang disampaikan oleh sahabat mulia, Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Beliau menuturkan:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ، وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ اْلقُرْآنَ فَأُوتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ، قَالَ:كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌ، فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ، وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ، قَالَ: كَذَبْتَ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ.
Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat kelak adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Orang tersebut didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang telah diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya: ‘Apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab: ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu di dunia).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu dengan posisi mukanya di bawah (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al-Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Lalu Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al-Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata: ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al-Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al-Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu di dunia).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret dengan posisi mukanya di bawah (tertelungkup) dan melemparkannya ke dalam neraka. Selanjutnya adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya: ‘Apa yang engkau telah lakukan terhadap nikmat-nikmat tersebut?’ Dia menjawab: ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman: ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang telah dikatakan (tentang dirimu di dunia).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya dengan posisi mukanya di bawah dan melemparkannya ke dalam neraka.’” [1]
Riya masuk ke dalam kegiatan ibadah manusia dengan beragam bentuk. Secara garis besar, ibadah yang tercampuri riya’, ada tiga (3) keadaan [2]:
- Riya menjadi motivasi melakukan ibadah sejak awal. Misalnya seorang yang melakukan shalat agar dilihat orang sehingga disebut-sebut sebagai orang shalih dan rajin beribadah. Dia sama sekali tidak mengharapkan pahala dari Allah. Jenis seperti ini jelas merupakan syirik dan ibadahnya batal.
- Riya tersebut muncul saat melaksanakan ibadah. Maksudnya motivasi awal sebenarnya ikhlas mengharapkan pahala dari Allah namun kemudian di tengah jalan terbersit riya’. Riya seperti ini terbagi dalam dua keadaan:
- Jika bagian akhir ibadah tersebut tidak terikat atau tidak ada hubungannya dengan bagian awal ibadah, maka ibadah yang bagian awal sah sedangkan yang bagian akhir batal. Contohnya seperti seseorang akan bersedekah dengan sebesar Rp. 100.000, namun dibayarkan dalam dua termin. Termin pertama, sedekah Rp. 50.000, dengan ikhlas. Termin kedua, Rp. 50.000 tapi dilakukan dengan riya’. Nah, dalam hal ini, Rp. 50.000 pertama sah dan berpahala sedangkan Rp. 50.000 yang kedua gugur.
- Jika bagian akhir ibadah tersebut terikat atau berhubungan dengan bagian awalnya, maka ada dua keadaan:
1) Kalau dia sungguh-sungguh melawan riya’ tersebut dan sama sekali tidak terbuai sampai ibadahnya selesai, maka bisikan riya’ ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap nilai pahala ibadah tersebut. Dalilnya adalah sabda Nabi:
إِنَّ اللهَ تَجاوَزَ عَنْ أُمَّتي ما حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُها ما لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbersit di benaknya selama hal itu belum dilakukan atau diucapkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Misalnya: seseorang yang shalat dua rakaat dan sejak awal ia ikhlas karena Allah semata. Pada rakaat kedua terbersit perasaan riya dalam hatinya lantaran ada orang yang sedang memperhatikannya. Namun ia melawannya dan terus berusaha agar tetap ikhlas semata-mata karena Allah. Nah, yang demikian ini maka shalatnya tidak rusak insya Allah dan tidak kehilangan pahala shalatnya.
2) Kalau tidak berusaha melawan riya’ yang muncul bahkan larut dan terbuai di dalamnya, maka pahala ibadahnya rusak dan gugur. Misalnya seseorang yang shalat dua rakaat dan sejak awal ia ikhlas karena Allah semata. Pada rakaat kedua terbersit perasaan riya dalam hatinya lantaran ada orang yang sedang memperhatikannya. Nah, kalau dia ini hanyut dalam riya’nya dan tidak berusaha melawan maka gugurlah keseluruhan shalatnya yang dua rakaat tersebut, karena saling terkait antara rakaat pertama dan rakaat kedua.
- Riya tersebut muncul setelah ibadah selesai dikerjakan. Riya seperti ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap ibadahnya tadi. Ibadahnya tetap sah dan benilai pahala. Namun jika yang dilakukan adalah perbuatan yang mengandung unsur permusuhan seperti misalnya al-mannu (menyebut-nyebut pemberiannya kepada orang lain) danadzaa (menyakiti orang lain) dalam sedekahnya, maka ini akan menghapus pahalanya. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
“Janganlah kalian menghilangkan pahala sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya atau menyakiti (perasaan si penerima) seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak berimana kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al-Baqarah: 264)
Pembaca yang budiman, ikhlas (bersih dari riya) adalah aktifitas yang membutuhkan perjuangan. Cobalah kita renungkan aktifitas kita sehari-hari. Jangan sampai aktifitas yang kita lakukan sia-sia tanpa pahala. Tidaklah salah jika Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullaah menuturkan: ”Tidaklah aku bersungguh-sungguh membenahi sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena ia senantiasa berubah-ubah padaku.”[3]
Imam Yusuf bin Husain ar-Raazi rahimahullah berkata, “Urusan yang paling mulia di dunia adalah ikhlas. Berkali-kali aku bersungguh-sungguh dalam menggugurkan riya’ dari hatiku, tetapi seakan-akan riya’ itu tumbuh kembali dengan warna (bentuk) yang berbeda.[4]
Hanya kepada Allah kita memohon bimbingan. Wallahu a’lam.
———————
Rujukan:
[1] Muslim, Kitabul Imarah, (6/47) atau (3/1513-1514, no. 1905).
[2] Disarikan dari Kitab al Qaul al Mufid Syarah Kitab Tauhid, karya Syeikh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin, pada bab tentang Riya.
[3] Jaami’ al-’Uluum wa al-Hikam, hal. 18, karya Ibnu Rajab al-Hambali, cet. Ke-1, Dar el-Aqidah, Kairo, Mesir, tahun 2002.
[4] Jaami’ al-’Uluum wa al-Hikam, hal. 2.