Artikel ini membahas tentang pertanyaan sedekah yang dilakukan tanpa sepengetahuan suami. Bagaimana hukumnya?.
Bentuk pertanyaannya sebagai berikut:
Pertanyaan:
Saya ingin bertanya, biasanya ada orang yang meminta-minta datang ke rumah dari panti asuhan, tapi suami saya pesan sama saya kalau dikasih 5000 saja, tapi saya tambahin jadi 10.000, tapi suami saya tidak tahu. Apakah saya berdosa tidak patuh sama suami? Apakah yang membedakan jika suami menyakiti hati istrinya sebaliknya seorang istri menyakiti hati suaminya dan berapa besar perbedaan dosa dari kedua perbuatan tersebut? Tolong dijawab, wassalamu alaikum.
Jawaban:
Ustadz Muhammad Irfan Zein, Lc., tim Konsultasi Syariah WIZ memberikan jawaban sebagai berikut:
Asal yang berlaku berkenaan dengan harta seseorang adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-
; لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seorang bagi yang selainnya kecuali dengan keikhlasan hati orang itu.”. (HR. Ahmad).
Maka –wallahu álam- berdasarkan asal yang berlaku inilah seorang sahabat wanita pernah datang bertanya kepada Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam-, “Bolehkah ia mengambil harta suaminya untuk keperluan diri dan anaknya tanpa sepengetahuan suaminya –mengingat bahwa sang suami tidak memberikan nominal yang cukup buatnya- ?.”
Ketika itu, Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- mengatakan
; خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah sejumlah yang wajar (logis) untuk keperluanmu dan keperluan anakmu.”. (HR. Bukhari).
Selain asal yang telah disebutkan, asal lainnya bahwa seorang istri wajib taat kepada suaminya pada hal-hal yang tidak melanggar syariát agama. Termasuk di dalamnya terhadap perkara yang ditanyakan. Olehnya, bertolak dari dua asal yang telah disebutkan, seorang wanita tidaklah dibenarkan untuk mengambil nominal lebih dari apa yang telah diizinkan oleh sang suami.
Menguatkan penegasan ini adalah riwayat Abu Umamah, ia menceritakan, aku pernah mendengar Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- bersabda ketika Beliau berkhutbah pada pelaksanaan haji wada;
لا تنفق امرأة شيئا من بيت زوجها إلا بإذن زوجها قيل يا رسول الله ! ولا الطعام قال ذاك أفضل أموالنا
“Tidak diperbolehkan bagi perempuan Muslimah menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya, kecuali dengan seizinnya. Kemudian ditanyakan kepada Beliau, “Wahai Rasulullah, termasuk juga makanan?.” Beliau menjawab; “Itu merupakan harta kita yang berharga.” (HR Tirmidzi).
Dikecualikan dari seluruh keterangan ini satu keadaan yaitu ketika sang istri mengetahui secara benar bahwa sang suami ridha, tidak akan marah, atau bahkan justru akan senang jika hartanya digunakan untuk sedekah. Dan selama hal tersebut tidak membawa mudharat bagi rumah tangga mereka. Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- bersabda;
إِذَا أَنْفَقَتْ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِهِ
“Apabila seorang wanita menginfakkan harta suaminya tanpa perintah (tanpa sepengatahuan) dari sang suami, maka sang suami mendapat setengah pahalanya.” (HR. Bukhari).
Selanjutnya, tujuan dari sebuah pernikahan tentu adalah mewujudkan kehidupan yang tenang dan bahagia; ukhrawi maupun duniawi. Allah berfirman;
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”. (QS. Ar-Ruum: 21)
Olehnya tidak dibenarkan bagi masing-masing dari keduanya untuk berbuat dzhalim terhadap yang lainnya. Seluruhnya adalah bagian dari bentuk kedzhaliman yang diharamkan oleh Allah. Allah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi, yang disampaikan oleh Abu Dzar ;
يَا عِبَادِى إِنِّى حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوا
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kedzhaliman itu bagi diri-Ku sendiri, dan Aku jadikan ia sebagai sesuatu yang haram diantara kalian; maka janganlah kalian saling mendzhalimi.”. (HR. Muslim).
Tentang kewajiban seorang suami berlaku baik kepada istrinya, Allah berfirman;
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Pergauilah mereka (istri-istri kalian) dengan baik.”. (an Nisa’; 19).
Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- bersabda;
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ
“Cukuplah yang menjadikan seorang laki-laki itu dinyatakan berdosa, yaitu ketika ia menelantarkan (tidak berbuat baik dan tidak memberi nafkah yang cukup) orang-orang yang wajib dinafkahinya.”.
Adapun tentang kewajiban istri berbakti kepada suaminya, maka Rasulullah -shallallahu álaihi wa sallam- bersabda;
لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Tidak boleh bagi seorang sujud kepada manusia selainnya. Seandainya hal itu dibolehkan, niscaya saya akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya.”. (HR. Ahmad).
Dan sebagai kesimpulan bahwa kehidupan rumah tangga adalah kehidupan yang wajib dijalankan secara baik oleh suami dan istri. Masing-masing dari keduanya memiliki hak dan kewajiban yang wajib ditunaikannya. Dan tidak boleh bagi masing-masing dari keduanya melalaikan kewajibannya terhadap yang lain, karena itu adalah bentuk kedzhaliman yang diharamkan oleh Allah.