Shalat yang Mencegah Perbuatan Keji dan Mungkar
LAZISWahdah.com 
– Dalam suatu pengajian yang cukup berkesan yang pernah penulis hadiri, sang Murabbi (ustadz) menceritakan sebuah kisah yang diriwayatkan dari sebagian ulama salaf, bahwa ketika ia akan menunaikan shalat, dia tampak gemetar dan berubah menjadi pucat pasi. Ketika ditanyakan hal itu, beliau berkomentar: “Saya berdiri di hadapan Allah Ta’ala, kalau saya dapat mengalami hal seperti ini di hadapan raja dunia, bagaimana lagi kalau di hadapan Raja seluruh kerajaan?” 

Membaca kisah di atas, mungkin Anda akan sepakat dengan saya, bahwa orang yang shalat dengan kesadaran penuh seperti inilah yang diharapkan dapat menahan perbuatan keji dan mungkar. Dia tentu akan mempersiapkan diri dengan maksimal sebelum ditatap oleh al-Malikul Mulk!

Pembaca yang budiman.

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid dalam situsnya islamqa.info membahas tentang shalat yang mencegah perbuatan keji dan munkar. Syaikh al-Munajjid mengutip firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ankabut: 45)

Ketika menjelaskan ayat di atas Imam al-Qurthuby rahimahullah berkata: “ … maksud seruan ‘Aqimis sholah’ (tegakkan shalat) adalah menjalankan dengan terus menerus dan menunaikan batasan-batasannya.”

Kemudian disebutkan latar belakang mengapa shalat dikatakan dapat menahan pelakunya dari prilaku keji dan munkar. Bahwa hal itu karena di dalamnya terdapat bacaan al-Qur’an yang mengandung nasehat dan karena shalat menyibukkan seluruh anggota badan. Jika seorang yang shalat masuk ke tempat shalat di mihrabnya, lalu dengan khusyu dan tertunduk kepada Tuhannya, dia teringat bahwa dirinya sedang  berdiri dihadapan-Nya dan bahwa Dia memperhatikan serta melihat hambaNya. Maka jiwa seorang hamba akan baik, tunduk dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah.

Imam al-Qurthuby dalam penjelasannya juga menyebutkan bahwa apalagi jika seorang Muslim dalam melaksanakan kewajibannya merasa ibadahnya tersebut adalah akhir dari amalannya.

Barangsiapa yang shalatnya sebatas sahnya saja, tidak khusu’, tidak mengingat dan tidak memenuhi  keutamaan-keutamaan –seperti umumnya shalat kita-, maka dia akan ditinggalkan shalatnya dalam kondisinya saat itu.

Thuma’ninah, Syarat Khusyu’

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa pada suatu hari, seorang sahabat pernah masuk ke dalam masjid. Saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga berada dalam masjid, tepatnya di sudut masjid. Sahabat tersebut melakukan shalat sunnah dua raka’at.

Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi Rasulullah. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menjawab:

“Wa’alaikas salam. Tolong ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat!”

Demikian jawaban Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seorang sahabat yang baru saja menghampirinya selepas melaksanakan ibadah shalat.

Sahabat itu kaget dengan perintah Sang Rasul. Setahunya, ia baru saja telah mengerjakan shalat sebanyak dua raka’at. Mungkinkah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tadi tidak melihat shalatnya sehingga beliau menyabdakan seperti itu? Namun ia tidak berani membantah sabda beliau. Dengan tanda tanya dalam hati, ia kerjakan juga perintah tersebut. Ia mengulangi shalatnya kembali, sebanyak dua raka’at.

Usai mengerjakan shalat, sahabat itu kembali mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasulullah menjawab:  “Wa’alaikas salam. Tolong ulangi shalatmu, karena sesungguhnya engkau tadi belum shalat!”

Sahabat itu kembali terkejut. Keterkejutannya kali ini bahkan lebih besar dari sebelumnya. Sangat jelas, ia baru saja melaksanakan shalat dua raka’at. Namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masih juga menyatakan dirinya belum shalat. Ia kemudian melaksanakan shalat dua raka’at seperti sebelumnya

Usai mengerjakan shalat, sahabat itu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengucapkan salam. Ternyata ia kemudian mendapati jawaban yang sama.

Subhanallah! Tiga kali sahabat itu mengerjakan shalat, tiga kali pula Rasulullah memerintahkan kepadanya untuk mengulang shalatnya. Rupanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menganggap sahabat itu belum sekalipun melaksanakan shalat.

Sahabat itu akhirnya menyerah. “Demi Allah Yang telah mengutus Anda dengan kebenaran,” Katanya, “Saya tidak bisa shalat selain seperti shalat yang tadi. (Jika apa yang saya kerjakan tadi salah), maka ajarilah saya!” lanjutnya penuh harap.

Dengan penuh kasih sayang dan kesabaran, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengajari sahabat tersebut. Beliau bersabda yang artinya, “Jika engkau hendak melaksanakan shalat, maka lakukanlah wudhu’ dengan sempurna, kemudian menghadaplah kiblat dan ucapkanlah takbir, kemudian bacalah surat (ayat) Al-Qur’an yang mudah bagimu (yaitu setelah membaca surat Al-Fatihah), kemudian lakukanlah ruku’ sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam ruku’, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri secara sempurna, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu dan duduklah (di antara dua sujud) sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk, kemudian lakukanlah sujud sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam sujud, kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam duduk (((dalam riwayat lain: kemudian berdirilah engkau sampai engkau thuma’ninah (tenang) dalam berdiri))), dan lakukanlah hal itu dalam seluruh (raka’at) shalatmu!”

Pembaca yang budiman,

Kisah yang diriwayatkan dalam kitab hadits Shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim tersebut mengajarkan kepada kita bahwa selain unsur gerakan anggota badan dan bacaan lisan, shalat juga memiliki rukun yang tidak boleh diabaikan, yaitu thuma’ninah. Thuma’ninah adalah melakukan setiap gerakan shalat secara sempurna, tenang dan diam beberapa saat sebelum melakukan gerakan shalat berikutnya. Shalat tidak boleh dikerjakan dengan cara mengebut bagai orang mau mengejar kereta dan asal cepat selesai saja.

Mari kita simak penjelasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam terjemahan hadits berikut:

“Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang cara shalat orang munafik? Orang munafik menunda-nunda shalat Ashar sehingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan (hampir tenggelam dan masuk waktu Magrib), ia berdiri melaksanakan shalat Ashar dan mematuk-matuk (dalam sujud) seperti patukan-patukan ayam jantan. Ia tidak berdzikir kepada Allah dalam shalatnya kecuali sedikit saja.” (HR. Ahmad)

Pembaca yang budiman,

Shalat adalah rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Shalat adalah tolok ukur kebaikan dan keburukan amal kita di akhirat kelak. Jika shalat kita belum memenuhi syarat, rukun, sunnah, khusyu’ dan thuma’ninah, niscaya nilai shalat kita akan buruk, bahkan bisa tidak sah. Akibatnya amalan-amalan kita yang lain juga akan dinilai buruk oleh Allah Ta’ala.

Oleh karenanya marilah kita perbaiki shalat kita, dengan menyempurnakan syarat, rukun dan sunahnya serta melaksanakannya dengan thuma’ninah dan mengusahakan kekhusyu’an.

Allah Ta’ala juga menerangkan keutamaan khusyu’ dan thuma’ninah dalam shalat dengan firman-Nya,

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 1-2)

“Ya Tuhanku, jadikanlah aku dan anak-cucuku sebagai orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami, perkenankanlah do’aku.”

Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Sumber : Majalah SEDEKAH PLUS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *