LAZISWahdah.com – Semua berawal dari perenungannya tentang kematian.
Malam itu, sebelum memasuki rumah tempat pesta digelar, Brent melihat beberapa orang membawa keluar sesosok tubuh lunglai seorang pemuda mabuk. Pemuda itu lalu diletakkan di salah satu sisi halaman rumah, dan ditinggalkan bersama mereka yang lebih dulu tak sadarkan diri karena alkohol. Tak ada pertolongan, tak ada obat-obatan. “Aku berpikir, bagaimana jika mereka mati?” ujarnya.
Brent tak dapat membenarkan apa yang baru dilihatnya. Terlebih, ketika ia berharap ada sedikit kepedulian di sana, Brent justru mendapati sebaliknya. “Beberapa orang yang baru datang ke pesta berlalu begitu saja saat melewati mereka yang tergeletak di halaman. Itu menyedihkan,” katanya.
Sebuah pertanyaan menghantuinya. “Jika aku mengalami hal menyedihkan seperti orang-orang yang ada di halaman itu dan kemudian mati, apakah mereka akan memikirkan keadaanku?”
Keesokannya, sebuah peristiwa lain kembali menghentak hati Brent, memaksanya merenungi segala hal dalam hidupnya. “Seorang dosen mendatangi kelasku dan membawa berita kematian salah seorang teman sekelas kami,” kenangnya. Brent terguncang.
Perasaan takut menyergap Brent. Dan remaja 17 tahun itu mulai memikirkan kehidupannya, juga kematian yang ia tahu akan menghampirinya.
Brent memiliki seorang Ibu yang menjadi pengajar Injil, dan menyekolahkan Brent di sebuah sekolah Injil. “Aku mengetahui isi kitab suciku. Dan karenanya, aku banyak bertanya tentang agamaku,” kata Brent.
Brent tahu, nabi-nabi yang diutus jauh sebelum Yesus lahir menyampaikan ajaran yang sama, yakni tauhid. “Pun Yesus. Dalam Injil dijelaskan bahwa ia menyerukan tauhid. Dan itu bertentangan dengan konsep Trinitas yang diajarkan gereja,” ujarnya.
Siang itu, saat membaca terjemahan al-Qur’an di perpustakaan kampus, Brent dikejutkan oleh sebuah ayat yang mengatakan bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. “Ayat itu seolah menjawab keraguanku tentang Trinitas,” katanya.
“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: “(Tuhan itu) tiga”, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (An-Nisa’: 171)
Brent mencuri Mushaf terjemah al-Qur’an itu dari perpustakaan, dan mulai berinteraksi dengan al-Qur’an. Keterkejutan terbesar muncul saat ia membaca ayat-ayat tentang Yesus. “al-Qur’an memuat cerita tentang kelahirannya yang menakjubkan, tentang ibunya yang mulia, juga keajaiban yang tidak diceritakan dalam Injil, ketika dari buaian ia membela kehormatan ibunya.”
Penemuan hari itu membawa Brent pada sebuah misi pembuktian. “Aku bertekad menemukan pernyataan Injil yang akan mampu menjawab pernyataan al-Qur’an. Dan Brent menemukannya. Sayang, jawaban itu sama sekali tak mendukung doktrin agamanya, dan justru membenarkan al-Qur’an.
Dalam Injil Yohanes 3:16 misalnya, tulis Brent dalam artikel “My Passion for Jesus Christ” (muslimmatters.org), disebutkan tentang anak Tuhan dan kehidupan abadi bagi siapapun yang mempercayainya. “Jika kita terus membaca, kita akan bertemu Matius 5:9 atau Lukas 6:35 yang menjelaskan bahwa sebutan ‘anak Tuhan’ tidak hanya untuk Yesus,” katanya.
Brent menambahkan, baik dalam teks Perjanjian Baru dan juga Perjanjian Lama, Injil menggunakan istilah “anak Tuhan” untuk menyebut orang yang saleh. “Dalam Islam, kita menyebutnya muttaqun (orang-orang yang bertakwa),” jelas Isa.
Dalam pencarian yang semakin dalam, Brent menemukan bahwa ayat terbaik yang dapat membuktikan doktrin trinitas telah dihapuskan dari Injil. “Ayat itu dulu dikenal sebagai Yohanes 5:7, dan kini secara universal diyakini sebagai sebuah ayat sisipan yang pernah secara sengaja ditambahkan oleh gereja,” terang Isa yang kemudian menguraikan hasil penelitian seorang profesor peneliti Injil asal Dallas, Daniel B. Wallace, tentang ayat tersebut.
Dari The New Encyclopedia Britannica yang dibacanya, Brent menemukan pula bahwa tidak satupun doktrin dalam Perjanjian Baru, termasuk kata Trinitas ataupun perkataan Yesus sekalipun, bertentangan dengan pengakuan Yahudi tentang ketauhidan yang disebutkan dalam Perjanjian Lama (Injil Ulangan 6:4).
Brent berkesimpulan, bukan Yesus (Isa al-Masih) ataupun para pengikutnya yang mengajarkan Trinitas.
Pertanyaan dalam otak Brent belum tuntas. Ia kembali bertanya-tanya, “Jika Injil dan al-Qur’an sama-sama memastikan Yesus bukanlah seorang anak Tuhan, lalu siapa dia?”
Lagi-lagi, Brent menemukan banyak kesepakatan antara Injil dan al-Qur’an. Melalui ayat masing-masing, kedua kitab yang diselaminya itu menegaskan kenabian Yesus. “Yesus diutus untuk menyeru umatnya pada keesaan Tuhan, sebagaimana dilakukan para nabi dan rasul sebelumnya.”
Persoalan agama itu menjadikan Brent semakin kritis, yang menggiringnya pada berbagai pertanyaan besar tentang agamanya. Ia mempelajari berbagai agama lain. “Aku mencari tahu tentang beberapa agama, aku mempelajari paganisme, dan aku tertarik pada Islam.”
Di mata Brent kala itu, Islam adalah agama yang sempurna. “Aspek ekonomi, pemerintahan, semua diatur dengan baik dalam Islam. Aku kagum pada cara Muslim memperlakukanku, dan aku sangat kagum pada bagaimana Islam meninggikan derajat perempuan.”
Brent pun menyatakan keinginannya untuk masuk Islam pada seorang teman Muslimnya. “Sayang, ia memberitahuku bahwa aku tak bisa menjadi Muslim, hanya karena aku dilahirkan sebagai Kristen. Karena tak mengerti, aku menerima informasi itu sebagai kebenaran,” sesalnya.
Tanpa agama yang menenangkan hatinya, Brent seolah terhenti di sebuah sudut dengan banyak persimpangan. Perhentian itu membangunkannya di sebuah malam. “Aku berkeringat dan menangis. Aku sangat ketakutan sambil terus bergumam ‘Aku bisa mati kapanpun’,” tuturnya.
Dengan keringat dan air mata itu, Brent memanjatkan doa. “Aku meminta pada semua Tuhan; Tuhan umat Kristen, Tuhan umat Islam, Tuhan siapapun, karena aku tak yakin harus meminta pada salah satu diantaranya.”
“Tuhan, aku teramat sedih dan gundah dan tak tahu bagaimana menyelesaikannya. Tolong, beri aku isyarat, beri aku petunjuk, beri aku jalan keluar,” Brent mengutip doa yang diucapkannya 15 tahun lalu.
Isyarat Allah menghampiri Brent keesokan harinya. Seorang Muslimah asal Burma yang menjadi teman kampusnya mengiriminya sebuah email. Ia tahu Brent telah tertarik pada Islam sejak belajar di sekolah menengah, dan dalam emailnya itu ia bertanya apakah Brent masih tertarik pada Islam. Brent mengiyakan.
Beberapa hari kemudian, teman asal Burma itu datang ke rumah Brent dan membawakannya sejumlah buku tentang Islam. Membacanya, Brent tahu bahwa Islam tak melarang non Muslim sepertinya untuk memeluk agama itu. “Dari buku itu aku tahu bahwa banyak dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, termasuk Abu Bakar, adalah mualaf. Aku sangat senang dan berteriak dalam hati, ‘Ini yang kumau’.”
Selesai dengan bacaannya, Brent mendatangi seorang teman Muslim dan memintanya menjelaskan tentang jannah (surga). Dari penjelasan tentang surga itu, bertambahlah kekaguman Brent, juga kemantapannya pada Islam. Masjid Al-Fatih Coburg, Melbourne, menjadi saksi keislaman Bent Lee Graham.
Ia lalu mengganti namanya menjadi Isa Graham. “Aku ingin orang (non Muslim) tahu bahwa dalam Islam, kami juga mempercayai Yesus,” ujarnya. Bagi Isa, mencintai seseorang tidak seharusnya diwujudkan dengan menuhankannya, melainkan mengatakan segala sesuatu tentangnya apa adanya.
***
Sumber : Majalah Sedekah Plus