Ilustrasi gelar haji

Muslim Indonesia yang pulang haji, langsung dapat gelar “Haji” (Kalau jemaah wanita disebut “Hajjah”) di depan namanya.  Padahal, orang-orang di tanah suci ataupun di Timur Tengah misalnya, tak ada tradisi itu. “Kenapa dulu tidak ada Haji Diponegoro, Kiai Haji Mojo, padahal mereka sudah haji?” seperti diungkapkan sejarawan Islam Nusantara dari Nahdlatul Ulama (NU), Agus Sunyoto seperti dikutip NU Online. Bagaimana sejarah dari fenomena unik khas kita ini?

Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam menjadi salah satu kekuatan anti-kolonialisme di Indonesia masa penjajahan Belanda. Semangat kemerdekaan sering digelorakan oleh tokoh-tokoh Islam. Salah satunya ketika mereka pulang dari ibadah haji. KH. Ahmad Dahlan, ketika pulang haji mendirikan Muhammadiyah. Begitu pula KH. Hasyim Asyari yang mendirikan NU sepulangnya dari ibadah haji. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam sepulangnya dari haji. Cokroaminoto yang juga berhaji, sepulangnya ia mendirikan Sarekat Islam. Tentu, pendirian organisasi-organisasi itu benar-benar mengkhawatirkan pihak Belanda.

“Dulu kiai-kiai enggak ada gelar haji, wong itu ibadah kok. Sejarahnya dimulai dari perlawanan umat Islam terhadap Kolonial. Setiap ada pemberontakan selalu dipelopori guru thariqah, haji, ulama dari pesantren,” tutur Agus Sunyoto.Maka, agar pergerakan tokoh-tokoh Islam terus bisa dipantau dan diawasi, disematkanlah gelar haji di depan nama Muslim Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji dan kembali ke Tanah Air saat itu. Ini bahkan hingga diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad tahun 1903.

“Untuk apa gelar haji? Supaya gampang mengawasi, intelijen, sejak 1916 itulah setiap orang Indonesia yang pulang dari luar negeri diberi gelar haji,” ujar Agus Sunyoto.

Aktivitas haji juga dipantau dan diawasi sejak dini. Sehingga di Kepulauan Seribu, di P. Onrust dan P. Khayangan, Pemerintahan Hindia-Belanda mendirikan karantina jemaah haji. Pulau-pulau itu dijadikan gerbang utama jalur lalu lintas perhajian Indonesia dengan alasan kamuflase “untuk menjaga kesehatan”.

Kini, gelar haji ‘pun kerap menjadi gelar penanda kelas ekonomi sosial.

Seiring berjalannya waktu, sebutan gelar ‘Haji’ itu semakin populer di tengah umat muslim Tanah Air. Alhasil, secara turun temurun hingga kini panggilan ‘Haji’ menjadi akrab di Indonesia, bahkan menular ke negara tetangga seperti Malaysia, Brunai Darussalam dan Thailand bagian Selatan.

Penggunaan gelar haji yang umum disematkan (disingkat “H”) oleh mayoritas penduduk Asia Tenggara, sering mendapatkan kritikan dari ulama dan cendekiawan. Mereka menganggap penggunaan gelar ini sebagai perbuatan riya dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi Wasallam dan para As-sabiqun Al-Awwalun.

Oleh: Faisal dari berbagai sumber