Artikel ini akan membahas konsep cinta, harap, dan takut terhadap Allah, yang dapat dipetakan dari tadabbur surah Al-Fatihah. Surah Al-Fatihah adalah salah satu surah yang paling penting dalam Al-Qur’an, dan dalam beberapa ayat pertamanya, Allah menggambarkan sifat-sifat-Nya yang memunculkan perasaan cinta dan harap dalam hati hamba-Nya, sekaligus menginspirasi rasa takut yang seimbang.
Surah Al-Fatihah membawa pesan penting bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Penguasa yang akan mengadili setiap perbuatan di Hari Pembalasan. Pembahasan ini akan membantu kita memahami bagaimana cinta, harap, dan ketakutan pada Allah dapat membentuk hubungan kita dengan-Nya dan menginspirasi perilaku kita dalam hidup ini.
Mari kita mendalami lebih lanjut makna dan implikasi surah Al-Fatihah dalam artikel ini.
Allah Azza wajalla berfirman:
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٢ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ ٣ مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ ٤
“Segala puji bagi Allah, Tuhan pengatur semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan”. (QS. Al-Fatihah: 2-4)
Dalam ayat ini, Allah menyifati diriNya sebagai Tuhan yang Maha luas kasih sayangNya setelah menyifati diriNya sebagai Sang Penguasa alam. Hal ini menyiratkan pesan yang mulia, yaitu agar hambaNya tetap merasa cinta dan termotivasi untuk selalu berharap padaNya, tanpa ada rasa takut secara berlebihan yang melahirkan keputusasaan.
Ketika Allah menyifati diriNya sebagai Sang Penguasa alam, maka akan melahirkan rasa takut dalam diri hamba. Maka Allah gandengkan sifat itu dengan sifat kasih sayangNya. Sehingga pada sifatNya terkumpul hal-hal yang membuat hambaNya berada pada dua keadaan yaitu rasa takut dan cinta kepadaNya. Hal ini akan membantu seorang hamba untuk rajin beribadah kepadaNya dan menghalanginya bermaksiat padaNya. (Tafsir al-Qurthubi: 1/120)
Salah satu hikmah firman Allah ملك يوم الدين disebutkan setelah الرحمن الرحيم adalah agar manusia merasa takut akan adanya hari pembalasan terhadap seluruh amalan yang dilakukan di dunia, sehingga tidak terpedaya dan terlalaikan akan adanya ampunan dari Allah Azza wa jalla yang begitu besar, yang mungkin saja tidak akan didapatkan kerena buruknya amalan yang dilakukan secara terus menerus.
Kadang ada manusia yang terlalu berandai-andai akan mendapatkan ampunan dari Allah, lalu menghabiskan waktunya pada kelalaian. Akan tetapi dengan perbuatannya itu, ia masih sempat berkata, “Aku berbaik sangka akan mendapatkan ampunan dari Allah”.
Imam Hasan al-Bashri rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya ada kaum yang terlalaikan akan adanya ampunan dari Allah. sampai-sampai ketika mereka keluar dari dunia ini (meninggal dunia) mereka tidak memiliki kebaikan. Ada yang berkata, “Aku berbaik sangka kepada Rabbku”. Sungguh mereka telah berdusta, sebab jika mereka berbaik sangka pada Rabbnya, niscaya mereka melakukan amalan”. (Al-Wajlu wattawatstsuq bil amal: 28)
Kekuatan shalat yang mampu mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar adalah pada penghayatan ayat ini. Ketika seseorang mampu menghayati dengan baik bahwa seluruh amalannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb yang menguasai hari pembalasan, maka akan semakin besar rasa takutnya kepadaNya. Rasa takut itulah yang mencegah dirinya. Sebaliknya, seseorang yang kurang menghayatinya, maka akan semakin kecil rasa takutnya. Karena itu shalat yang dilaksanakannya hanya menjadi gerakan dan bacaan tanpa nilai apapun, yang tidak dapat menahannya dari perbuatan keji dan mungkar.
Dalam ayat ini Allah kembali mengulangi namaNya sebagai ar-Rahman-ar-Rahim setelah sebelumnya disebutkan dalam basmalah. Penempatannya kali ini disebutkan setelah firman Allah “Rabbul ‘Aalamiin” yang memberi penekanan khusus dan berlipat akan pengaturanNya itu bahwa Ia mengaturnya berdasarkan keMahaluasan kasih sayangNya.
Allah menyebut diriNya bahwa Dia adalah ar-Rahim. Nama ini memiliki makna yang amat agung. Tapi, Allah juga memberi nama makhlukNya yang memiliki sifat kasih sayang dengan nama rahim. Sebagaimana firmanNya:
فَٱللَّهُ خَيۡرٌ حَٰفِظٗاۖ وَهُوَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٰحِمِينَ ٦٤
“Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Rahim (Penyayang) diantara para makhluk yang rahim (penyayang)”. (QS. Yusuf: 64)
Hal ini menunjukkan bahwa adanya persamaan nama terhadap suatu sifat berbeda antara Allah dan makhlukNya. Artinya, Allah memiliki sifat yang secara nama sama dengan makhlukNya namun berbeda pada hakikatNya. Dari sini dipahami bahwa cara yang tepat dalam memahami nama-nama dan sifat Allah adalah dengan menerima nama-nama tersebut sesuai apa yang Allah sebutkan untuk dirinya sendiri tanpa menyerupakannya dengan makhluk, tanpa ta’wil, tahrif, ta’thil dan tanpa takyif dengan tetap memahami makna sifat tersebut namun dengan membedakan antara sifat Allah dengan sifat makhlukNya. Sifat Allah secara hakiki hanya dikembalikan kepada Allah tanpa mempertanyakan bentuk ataupun kaifiyahnya. Allah Azza wajalla berfirman:
لَا يُسَۡٔلُ عَمَّا يَفۡعَلُ وَهُمۡ يُسَۡٔلُونَ ٢٣
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai”. (QS. Al-Ambiyah: 23)
Ini menjadi kaidah yang berlaku pada setiap nama dan sifat Allah lainnya seperti, tangan, kalam, bersemayam di atas arsy dan lainnya. Dan inilah keyakinan dari mazhab Ahlissunnah waljama’ah.
Al-Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafiy rahimahullah berkata: “Ahlusunnah bersepakat bahwa Allah Subhanahu wata’ala tidak serupa dengan makhluk-Nya. Tidak serupa pada dzat-Nya, pada sifat-sifat-Nya dan juga tidak serupa pada perbuatan-perbuatan-Nya. Akan tetapi lafazh yang sama terkadang dipakai juga sebagai lafzah yang digunakan oleh manusia dalam bentuk umum, yang menunjukkan makna yang benar. Namun, lafazh manusia itu maknanya dinafikan oleh al-Qur’an akan tetapi akal tetap memahaminya bahwa diantara karakteristik Rabb yang Maha Tinggi adalah Dia tidak disifatkan sebagaimana sifat-sifat makhluk-Nya dan juga tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk-Nya pada segala sisi sifatnya. “Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya” ayat ini sebagai bantahan bagi orang-orang yang menyamakan-Nya dengan makhluk-Nya. “Maha Mendengar dan Maha Melihat,” ayat ini sebagai bantahan bagi orang-orang yang menyelewengkan maknanya”. (Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyyah: 1/154)
Seluruh faidah ini, menunjukkan kasih sayangNya yang tak terhingga kepada setiap makhlukNya. Besarnya pemberian, adanya peringatan dan luasnya kasih sayang pada setiap aturanNya, itulah cinta yang Allah sisipkan pada setiap namaNya bagi orang-orang yang ingin mentadabburinya.
Demikian artikel tentang cinta, harap dan takut pada Allah. Anda juga dapat membaca tadabbur surah al-Fatihah lainnya.
Oleh: Muhammad Ode Wahyu, SH.