Ilustrasi tadabbur surah Al-Fatihah

Artikel ini akan membahas tentang tadabbur Al-Qur’an surah al-Fatihah khususnya ayat ke enam dan tujuh.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦  

“Tunjukilah kami jalan yang lurus”. (QS. Al-Fatihah: 6)

Ayat ini menunjukkan adanya anjuran memperbanyak doa kepada Allah Azza wa Jalla. Memperbanyak doa bukanlah amalan yang tercela dan terlarang, sebab memperbanyak doa adalah wujud kefakiran hamba kepada Allah yang akan membukakan pintu jalan datangnya cintaNya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah dalam berdoa adalah memperpanjang dan menguraikannya dengan memperjelas doa tersebut. Hal ini disebabkan beberapa hal: (1) memperpanjang doa menunjukkan kecintaan seorang, karena bukti seseorang mencintai sesuatu adalah dengan memperbanyak munajat padanya. Engkau terhubung dengan Allah dalam doa. Oleh karenanya, panjangnya doa yang engkau panjatkan menunjukkan bahwa engkau cinta bermunajat padaNya. (2) Memperpanjang doa dapat merinci doa yang kita panjatkan. Hal ini menunjukkan begitu fakirnya seorang pada RabbNya. (3) Memperpanjang doa lebih dapat menghadirkan hati. (4) Memperpanjang doa dapat menambah pahala. (5) Hal ini masuk dalam kategori ilhah dalam berdoa (yaitu meminta pertolongan dengan terus memperbanyak doa padaNya), sedang Allah mencintai orang-orang yang berdoa dengan bentuk ilhah kepadaNya”. (Syarh al-Mumti’: 5/319-320)

Ayat ini menjelaskan bahwa seorang hamba tidak memiliki jalan menuju kebahagiaan kecuali dengan istiqamah di atas jalan yang lurus. Sedangkan untuk meraih keistiqamahan, tidak lain kecuali dengan hidayah Allah Ta’ala. (Al-Fawaid Karya Ibnu Qayyim : 19)

Pada ayat ini Allah Azza wa Jalla menggunakan dhamir “naa” (نا) pada kata ihdina (اهدنا), menunjukkan bahwa munajat seorang hamba kepadaNya dalam memohon hidayah tidak hanya ditujukan untuk dirinya sendiri, akan tetapi juga untuk orang lain. Hal ini bermakna bahwa seorang hamba harus memiliki rasa cinta pada saudaranya yang lain, sehingga ia pun mendoakannya. Seorang hamba hendaknya tidak memiliki sifat tamak ingin masuk surga sendiri lalu membiarkan yang lain tersesatkan, hingga membiarkan mereka berada dalam jurang api neraka. Seorang hamba yang baik merasa iba dan prihatin ketika melihat orang lain berada di atas kesesatan karena menyelisihinya  dalam kebenaran. Karena rasa iba itu, ia tidak mencelanya dan tidak menertawai kesalahannya itu. Justru ia mendoakannya agar Allah mengangkat kesesatan itu dan menggantinya dengan hidayah.

Seorang hamba yang sampai pada tingkatan ubudiyah tidak memiliki sifat takjub pada diri sendiri ketika ia mengetahui keutamaan ada pada dirinya. Sebab, ketika ia berdoa “Tunjukilah kami jalan yang lurus” berarti ia meyakini bahwa keutamaan yang ada pada dirinya bukanlah disebabkan kehebatan dan kepandaian dirinya, namun ia merupakan karunia dan hidayah dari Allah Azza wa Jalla.

Ayat ini menunjukkan bahwa hendaknya seorang hamba senantiasa berdoa dengan doa yang paling utama. Para ulama mengatakan doa yang paling utama adalah doa yang terdapat pada ayat ini.

Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah menjadikan doa pada surat ini sebagai doa yang paling utama dari berbagai doa yang diucapkan seorang hamba. Sebab perkataan ini telah difirmankan oleh Rabb semesta alam. Sehingga jika engkau berdoa dengannya, maka berarti engkau telah berdoa dengan firmanNya”. (Tafsir al-Qurthubi: 1/125) 

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ini merupakan doa yang paling sempurna dan paling bermanfaat bagi seorang hamba. Oleh karena itu, wajib bagi setiap hamba untuk berdoa kepada Allah dengannya pada setiap rakaat shalatnya. (Tafsir as-Sa’di: 27)

Melalui ayat ini Allah Azza wa Jalla memberi petunjuk pada hamba-hambaNya tentang adab-adab doa, yaitu hendaklah seorang hamba memulainya dengan puji-pujian terhadapNya. Oleh karenanya, sebelum doa pada ayat ini disebutkan, Allah memulai surat al-Fatihah dengan pujian terhadap diriNya.

Melalui ayat ini Allah Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada hamba-hambaNya bahwa bahwa jalan yang dapat mengantarkan seseorang selamat dari murka Allah adalah adalah shiraat al-mustaqiim yaitu jalan yang lurus.

Allah Azza wa Jalla beberapa kali menyebutkan sifat-sifat shiraat al-mustaqiim di dalam al-Qur’an. Sifat-sifat itu adalah:

  1. Shiraat al-mustaqiim adalah jalannya orang-orang yang telah mendapat nikmat.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ 

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka”. (QS. Al-Fatihah: 6-7)

  1. Shiraat al-mustaqiim adalah pengesaan terhadap Allah dalam ibadah.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ ٱللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمۡ فَٱعۡبُدُوهُۚ هَٰذَا صِرَٰطٞ مُّسۡتَقِيمٞ

“Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus”. (QS. Ali Imran: 51)

  1. Shiraat al-mustaqiim adalah jalan dengan berpegang teguh pada agama Allah (islam).

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَن يَعۡتَصِم بِٱللَّهِ فَقَدۡ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

“Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”. (QS. Ali Imran: 101)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Berpegang teguh pada Allah dan bertawakkal padaNya merupakan pengokoh hidayah, penangkal kesesatan, wasilah untuk mendapatkan petunjuk dan jalan yang lurus menuju tempat yang di dambakan (surga)”. (Tafsir Ibnu Katsir: 1/350)

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلۡإِسۡلَٰمُۗ 

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”. (QS. Ali Imran: 19)

Allah juga berfirman:

وَمَن يَبۡتَغِ غَيۡرَ ٱلۡإِسۡلَٰمِ دِينٗا فَلَن يُقۡبَلَ مِنۡهُ وَهُوَ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنَ ٱلۡخَٰسِرِينَ“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imran: 85)

Oleh: Muhammad Ode Wahyu, SH

(Berlanjut di halaman selanjutnya)