Hafsah Binti Umar radhiyallahu ‘anha, Pemilik Mushaf Pertama

Nama lengkapnya ialah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay. Ia merupakan wanita keturunan suku Arab Adawiyah dan sekaligus putri dari salah satu sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yakni Umar bin Khaththab. Ibunya, Zainab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, adalah saudara perempuan dari Utsman bin Madh’un, muhajirin pertama sekaligus pemimpin dari kelompok orang-orang yang hijrah pertama kali ke Habsyi.

Hafshah lahir pada salah satu masa yang bersejarah, yakni saat Rasulullah memindahkan Hajar Aswad kembali ke ka’bah setelah sebelumnya ka’bah rubuh akibat banjir, dan hanya berselang beberapa hari setelah kelahiran Fathimah Az-Zahra, putri Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.

Hafshah adalah wanita dengan karakter yang tidak jauh dari ayahnya. Ia adalah sosok wanita yang berani, berkepribadian kuat, dan tegas dalam berucap. Hafshah juga merupakan wanita yang pandai dalam membaca dan menulis di saat wanita-wanita lain dianggap belum pantas memiliki kemampuan tersebut.

Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Hafshah bersuamikan seorang laki-laki yang bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi. Keduanya memeluk Islam bersama. Kemudian Khunais hijrah ke Habasyah pada hijrah yang pertama. Saat itu, jumlah sahabat yang hijrah terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan. Mereka dipimpin oleh Utsman bin Affan yang membawa istrinya, Ruqayyah putri Rasulullah. Kemudian Khunais dan istrinya Hafshah berhijrah pula ke Madinah. Ia turut dalam pasukan Badar. Dan wafat karena luka yang ia derita di perang pertama itu (Burhanudin al-Halabi: as-Sirah al-Halabiyah, 3/314).

Hafshah yang saat itu baru berusia 18 tahun menjadi seorang janda. Umar yang mengetahui bahwa anaknya menjadi janda dalam umur yang masih muda pun menjadi resah. Ia mencarikan laki-laki terbaik di sekelilingnya untuk dijodohkan dengan anaknya. Ia berusaha menjodohkan putrinya dengan orang-orang terbaik setelah para nabi, Abu Bakar. Tapi Abu Bakar tak memberi tanggapan. Kemudian ia dekati laki-laki yang malaikat pun malu padanya, Utsman bin Affan, tapi Utsman juga tak merespon seperti yang Umar harapkan.

Kemudian Umar menuju Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan mengadukan semua kegundahannya. Setelah mendengar semuanya, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam hanya berkata,

“Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.”

Umar sempat merasa bingung, namun ternyata itu merupakan sebuah pernyataan bahwa yang akan menikahi Hafshah adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wa Sallam sendiri. Tak dapat dilukiskan bagaimana bahagianya hati Umar saat itu.

Akhirnya Hafshah resmi menjadi salah satu istri dari manusia yang paling mulia di bumi ini, kekasih Allah, yakni baginda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Hafshah menjadi salah satu istri Nabi yang rajin ibadah, memperbanyak puasa, dan shalat malam bahkan hingga setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam wafat.

Pemilik Mushaf yang Pertama

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.

Hafshah, seorang wanita cerdas dan tangguh yang di-‘hadiahi’ sebuah kehormatan besar untuk menjadi istri Nabi dan menjadi pengumpul sekaligus pemilik mushaf Al-Quran pertama setelah kesabaran dan kelapangan dadanya dalam menerima kematian suami yang dicintainya dan menjadi janda dalam umur yang masih muda. Masalah yang kita hadapi saat ini mungkin masih sebagian kecil dari beratnya masalah yang dihadapi oleh Hafshah, atau mungkin juga sama. Namun, dengan kesabaran dan keikhlasannya dalam menerima musibah, Hafshah dapat melaluinya, bahkan mendapatkan kebahagiaan yang lebih besar. Apakah kita tidak bisa? Jawabannya tentu saja bisa. Janji Allah untuk orang-orang yang sabar tidak akan pernah diingkari.

Hafshah, sosok yang pantas menjadi teladan dan memberikan pernyataan tegas bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslimah. Muslimah memiliki hak untuk menuntut ilmu setinggi-tinginya, tanpa harus mengesampingkan kewajibannya yang lain. Termasuk dalam bidang-bidang ilmu yang belum banyak diselami oleh kebanyakan perempuan. Ingat, Hafshah pandai dalam membaca dan menulis ketika kemampuan itu masih dianggap ‘aneh’ untuk dimiliki perempuan-perempuan pada zamannya.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Hafshah. dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.[]

Home
Donasi
Hitung Zakat
Rekening