Telah disebutkan pada edisi sebelumnya bahwa shalat, puasa, thawaf, dan jima’ diharamkan bagi wanita haid. Dan hal ini telah disepakati oleh ulama kaum muslimin. Artikel ini akan membahas tentang hukum menyentuh Al-Quran saat haid.
Dalil-Dalil tentang Hukum Menyentuh Al-Quran Saat Haid
Telah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang masalah ini. Di antara sebabnya adalah perbedaan penafsiran ayat Allah ‘Azza wa Jalla :
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Terjemahan QS. Al Waqi’ah : 79)
Ulama yang membolehkan wanita haid menyentuh mushaf al-Qur’an mereka memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Sesungguhnya al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara. Tidak menyentuhya kecuali (hamba-hamba) yang disucikan. Diturunkan oleh Rabbul ‘Alamin.” (Terjemahan QS.al-Waqi’ah: 77-80)
Kata ganti pada “Tidak menyentuhnya” kembali kepada ﻛﺘﺎﺏ ﻣﻜﻨﻮﻥ (Kitab yang terpelihara) yaitu lauh mahfuzh. Ibnu ‘Abbas, Jabir bin Zaid, dan Abu Nuhaik berkata, “(yaitu) kitab yang ada di langit”.
Adh Dhahhak berkata, “Mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa setan-setanlah yang menurunkan Al-Qur’an kepada Muhammad shallallaahu’alaihi wa sallam, maka Allah memberitakan kepada mereka bahwa setan-setan tidak kuasa dan tidak mampu melakukannya.” (Tafsir Al-Thabari).
Mengenai ﺍﻟﻤُﻄَﻬَّﺮُﻭﻥَ (yang disucikan) menurut pendapat beberapa ulama, di antaranya:
- Ibnu ‘Abbas berkata : “Adalah para malaikat”. Demikian pula pendapat Anas, Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Adh Dhahhak, Abu Sya’tsa’ , Jabir bin Zaid, Abu Nuhaik, As Suddi, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan selain mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir)
- Ibnu Zaid berkata, “yaitu para malaikat dan para Nabi. Para utusan (malaikat) yang menurunkan dari sisi Allah disucikan; para nabi disucikan; dan para rasul yang membawanya juga disucikan.”
Maka tidak benar membawakan arti “hamba yang disucikan” bagi orang yang tidak junub, haid, orang yang berhadats, atau membawa barang najis. Akan tetapi, wajib untuk membawanya kepada arti: Orang yang tidak musyrik sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.” (QS. At-Taubah: 28)
Di samping itu lafal yang digunakan dalam ayat tersebut adalah dalam bentuk isim maf’ul-nya (orang-orang yang disucikan), bukan dalam bentuk isim fa’il (orang-orang yang bersuci). Tentu hal tersebut mengandung makna yang sangat berbeda.
Mengenai hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci”, Syaikh Nashiruddin Al Albani rahimahullah berkata, “Yang paling dekat –Wallahu a’lam– maksud “orang yang suci” dalam hadits ini adalah orang mukmin baik dalam keadaan berhadats besar, kecil, wanita haid, atau yang di atas badannya terdapat benda najis karena sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam: “Orang mukmin tidaklah najis” (Muttafaqqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) dan hadits di atas disepakati keshahihannya. Yang dimaksudkan dalam hadits ini (yaitu hadits “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci” bahwasanya beliau melarang memberikan kuasa kepada orang musyrik untuk menyentuhnya, sebagaimana dalam hadits:
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Muttafaqqun ‘alaihi).
Mereka juga berdalil dengan surat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Heraclius yang di dalamnya terdapat ayat atau beberapa ayat. Tetapi jumhur menjawab bahwa surat yang terdapat di dalamnya ayat ini tidaklah dikatakan mushhaf, dan itu tidak mengapa karena sama dengan membawa buku-buku agama yang di dalamnya terdapat ayat al-Qur’an.
Sedangkan ulama yang melarang wanita haid dan yang berhadats secara umum berkata : “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”, yakni dari janabah dan hadats. Lafal ayat bersifat khabar (berita) tapi yang dimaksud adalah thalab (yakni larangan). Dan yang dimaksud al-Quran di sini adalah mushaf, sebagaimana dalam hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma :
“Beliau melarang perjalanan dengan membawa Al Qur’an menuju tanah musuh.” (Muttafaqqun ‘alaihi) (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Syekh Abdurrahman al-Sa’dy berkata : “Dan apabila (al-Quran) ini tidak disentuh kecuali (malaikat) yang disucikan, orang-orang kotor dan syaitan-syaitan tidak memiliki kemampuan dan kekuasaan untuk menyentuhnya, maka pengertian ayat ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuhnya al-Quran kecuali orang yang suci sebagaimana disebutkan dalam hadits, sehingga dikatakan ayat ini adalah khabar yang bermakna larangan, yakni : janganlah menyentuh al-Quran kecuali orang yang suci” (Tafsir al-Sa’dy)
Mereka juga berdalil dengan hadits Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amr bin Hazm dari bapaknya dari kakeknya bahwasanya Nabi shallallahu’alaihi wasallam menulis surat kepada penduduk Yaman dan di dalamnya terdapat perkataan :
“Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (HR Malik, an-Nasai, Ibnu Hibban, al-Baihaqi).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : Sejumlah Imam menshahihkan hadits ini karena kemasyhurannya. Ibnu Abdil Bar berkata : “Surat ini dikenal oleh ahli sirah dan diketahui oleh orang yang berilmu, demikian terkenalnya sehingga tidak butuh pada sanad karena menyerupai hadits mutawatir di mana orang-orang menerima dan mengenalnya”. Syekh al-Albani berkata : “Shahih”
Dalil lainnya hadits marfu’ dari Ibnu Umar :
“Janganlah kamu menyentuh mushaf kecuali kamu dalam keadaan suci” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawaid, beliau berkata : para perawinya tsiqah. Al-Hafizh berkata : sanadnya la ba’sa bih (tidak mengapa) tetapi di dalamnya ada perawi yang diperselisihkan).
Suci yang dimaksud adalah suci dari hadats besar dan kecil, maka bagi seseorang yang berhadats kecil sedang ia ingin memegang mushhaf untuk membacanya maka hendaklah dia berwudhu terlebih dahulu. Inilah yang dilakukan Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqash berkata, “Aku sedang memegang mushaf di hadapan Sa’ad bin Abi Waqash kemudian aku menggaruk-garuk. Maka Sa’ad berkata, ‘Apakah engkau telah menyentuh kemaluanmu?’ Aku jawab, ‘Ya.’ Dia berkata, ‘Berdiri dan berwudhulah!’ Maka aku pun berdiri dan berwudhu kemudian aku kembali.” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwaththa’ dengan sanad yang shahih)
Ishaq bin Marwazi berkata, “Aku berkata (kepada Imam Ahmad bin Hanbal),”Apakah seseorang boleh membaca tanpa berwudhu terlebih dahulu?” Beliau menjawab, “Ya, akan tetapi hendaknya dia tidak membaca pada mushaf sebelum berwudhu”.
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Benar yang beliau katakan, karena terdapat hadits yang dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau bersabda, ‘Tidak boleh menyentuh Al-Quran kecuali orang yang suci’ dan demikian pula yang diperbuat oleh para shahabat Nabi shallallahu ’alaihi wasallam.” (Dari Larangan-larangan Seputar Wanita Haid, dari Irwaul Gholil I/161 dari Masa’il Imam Ahmad hal. 5)
Kesimpulan
Melihat dalil- dalil dari masing-masing kelompok, maka dapat disimpulkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf al-Quran kecuali bagi orang-orang yang telah bersuci dari hadats besar atau kecil. Pinggiran dan bagian-bagian mushaf yang tidak tertulis padanya ayat masuk dalam hukum mushaf. Namun boleh menyentuhnya dengan penghalang seperti kaos tangan, atau lainnya yang tidak menempel pada mushhaf, membolak-balikan lembaran dengan pulpen, dan lain-lain.
Syeikh Ibnu Baz berkata: “Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Quran menurut pendapat yang lebih shahih dari dua pendapat ulama, karena tidak ada dalil yang melarang, namun tidak boleh menyentuh mushaf, dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang bersih atau selainnya, dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan” (Fatawa Syeikh Bin Baz 24/344).
Adapun menyentuh terjemahan Al-Quran atau buku-buku tafsir walaupun berbahasa arab maka tidak mengapa karena tidak dianggap mushhaf Al-Quran, meskipun sebagian ulama mensyaratkan tafsirnya harus lebih banyak. Wallahu a’lam.
Demikianlah artikel tentang hukum menyentuh Al-Quran bagi wanita haid. Anda juga dapat membaca artikel tentang adab dan akhlak lainnya di sini. Semoga bermanfaat!