LAZISWahdah.com – Sekitar tahun delapan puluhan, di Indonesia sangat populer istilah “Islam KTP” yaitu seorang yang mengaku Muslim dan ditunjukkan buktinya secara formal dengan identitas KTP, namun tidak mengerjakan shalat, tidak berpuasa pada bulan Ramadhan, tidak menggunakan hijab jika ia adalah wanita, dan mengabaikan beberapa kewajiban-kewajiban syar’i atau sebaliknya tidak mengindahkan perkara-perkara yang diharamkan oleh syari’at. Ringkasnya Islam KTP adalah orang yang Islamnya hanya sekedar identitas tapi tidak menunjukkan ketaatan pada syariat Islam.
Fenomena “Islam KTP” atau Islam Identitas nampaknya menjadi fenomena yang selalu aktual di setiap masa yang senantiasa bisa kita saksikan di setiap waktu terutama di waktu shalat lima waktu, di setiap bulan Ramadhan, di setiap moment adanya kewajiban syar’i maupun pada moment-moment yang membutuhkan pilihan meninggalkan atau melakukan. Bahkan di zaman sekarang ini fenomena tersebut sangat menyedihkan dan memalukan, terutama di bulan Ramadhan. Jika zaman dulu orang Islam yang tidak berpuasa masih memiliki rasa malu dan bersembunyi ketika makan dan minum di siang hari. Mereka ini masih sulit kita temukan, kalaupun kita temukan mereka di warung hanya kelihatan kakinya, namun sekarang ini budaya itu sudah sangat jauh bergeser, mereka yang tidak berpuasa tanpa udzur sudah sangat mudah kita temukan bertebaran, mereka tidak hanya menampakkan kakinya, tetapi sudah sangat berani dan tidak malu lagi menampakkan mukanya di warung-warung, restoran maupun di rumah makan lainnya.
Makna Islam
Islam sebagai satu-satunya agama yang diakui dan diridhai oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, bukan hanya sekedar identitas dan pengakuan, namun Islam adalah agama yang memadukan unsur lahiriyah dan unsur batiniyah, di dalamnya terkandung pengakuan formal seperti syahadatain, keyakinan dan pengamalan lahiriyah dan juga pengamalan hati. Ketika seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melakukan pengakuan bahwa kami sudah beriman, maka turunlah ayat di surat Al-Hujurat (49) ayat 14:
قَالَتِ ٱلۡأَعۡرَابُ ءَامَنَّاۖ قُل لَّمۡ تُؤۡمِنُواْ وَلَٰكِن قُولُوٓاْ أَسۡلَمۡنَا وَلَمَّا يَدۡخُلِ ٱلۡإِيمَٰنُ فِي قُلُوبِكُمۡۖ
Artinya: “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ´kami telah tunduk´, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu,…”
Ulama tafsir menjelaskan, bahwa ke Islaman orang Arab Badui itu baru pada tingkat pengakuan/perkataan, apa yang diucapkan belum didasari oleh keyakinan. Para Ulama membedakan istilah Iman dan Islam jika keduanya bertemu dalam satu kalimat, seperti ayat di atas; maka Islam bermakna perkataan dan amal-amal lahiriyah. Sedangkan kalimat iman berkaitan dengan amalan hati.
Dengan demikian, ayat tersebut menyebutkan dua unsur ke Islaman, yaitu Iqrar (pengakuan) dan I’tiqad (keyakinan).
Sementara itu unsur amaliah dalam Islam disebutkan dalam hadits Jibril yang salah satu kandungannya tentang rukun Islam. Dari lima rukun yang disebutkan dalam rukun Islam itu, hanya satu diantaranya tentang pengakuan dan keyakinan (dua kalimat syahadat), sementara empat diantaranya adalah pengamalan, yaitu: menegakkan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat dan menunaikan haji bagi yang memiliki kemampuan dana dan fisik. Ini menunjukkan bahwa pengamalan dalam wujud melaksanakan segala hal yang diperintahkan dan menjauhi segala perkara yang dilarang merupakan unsur yang sangat penting dalam ke-Islaman.
Para Ulama membuat satu kesimpulan tentang makna Islam, diantaranya disebutkan oleh Syekh At-Tamimi Rahimahullahu Ta’ala dalam Kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah,
Islam adalah berserah diri kepada Allah Ta’ala dengan cara mentauhidkan-Nya, tunduk patuh kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan (atas segala perintah dan larangan-Nya), serta membebaskan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.
Dari definisi tersebut, terkandung tiga unsur dalam makna Islam; perkataan, keyakinan dan perbuatan, demikian pula harus ada unsur unsur An-Nafyu (mengingkari sesembahan selain Allah dan mengingkari segala sistem yang bertentangan dengan syari’at-Nya) dan unsur Al-Itsbat (menetapkan keesaan Allah dan mengakui kebenaran syariat-Nya).
Agar Islam Kita tak Sekedar Identitas
Sekalipun identitas dalam makna yang luas merupakan bagian yang penting dan tak terpisahkan dari ajaran Islam, namun hakikat keIslaman tidak hanya cukup dengan merasa mulia terhadap identitas Islam. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٞ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu: (QS. Al-Baqarah: 208)
Agar Islam kita tidak hanya sekedar identitas, maka ada tiga metode terbaik:
1. Mengkaji Islam
Dengan mengkaji Islam dari sumbernya yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai yang dipahami oleh orang-orang terbaik dari umat ini (para sahabat, tabi’in dan atbaut taabi’in) maka akan lahirlah pemahaman yang benar dan keyakinan yang kuat terhadap ajaran Islam.
Pemahaman dan keyakinan yang kuat akan ajaran Islam tidak secara otomatis datang begitu saja, namun harus dicari di majelis-majelis ilmu.
Ingat perkataan Imam Bukhari rahimahullah: Ilmu dahulu sebelum perkataan dan perbuatan.
2. Mengamalkan Islam
BerIslam tidak cukup hanya dengan mengkajinya. Islam menuntut kita untuk komitmen dan berusaha mengamalkan hal-hal yang telah kita pelajari. Amal adalah buah nyata dari ilmu, dan ilmu yang benar akan melahirkan buah yang berkualitas yaitu Iman dan amal yang shalih.
Bukankah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam banyak ayat menjanjikan surga-Nya dengan selalu menggandengkan perkataan iman dan amal shalih.
3. Bergaul dengan Orang-orang Shalih
Salah satu sifat iman adalah bertambah dan berkurang, bisa naik bisa turun. Iman akan bertambah dengan amal-amal ketaatan dan akan berkurang dengan dosa dan maksiat. Karena itu keimanan yang tumbuh dari hasil mengkaji ilmu syar’i harus selalu dijaga sebab penyakit dan hama keimanan sangat banyak dan selalu mengintai kelalaian kita.
Salah satu metode yang efektif menjaga keimanan adalah senantiasa bergaul dengan orang-orang yang shalih dan berhati-hati bergaul dengan orang-orang yang mementingkan dunianya daripada akhiratnya, dan berhati-hati bergaul dengan orang-orang yang berIslam sekedar identitas belaka.
Wallahu A’la Wa A’lam Bish Shawab.[]
Penulis : Oleh Ustadz Ir. Muhammad Qasim Saguni, MA. (Ketua dewan Syuro Wahdah Islamiyah)
Sumber : Majalah Sedekah Plus