Setiap hamba yang beriman dengan adanya hari akhirat pasti memandang bahwa nilai dunia yang kita singgahi saat ini begitu rendah dibandingkan kehidupan akhirat yang kekal.
Lantaran inilah Allah Ta’ala tidak menjadikan dunia sebagai ganjaran bagi kaum yang taat kepada-Nya, sebagaimana Dia juga tidak menghukum kaum kafir dan yang bermaksiat dengan tidak memberikan mereka berbagai kenikmatan dunia.
Hal ini telah diisyaratkan oleh sabda suci Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk pun kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi : 2320, shahih)
Hadits ini menunjukkan bahwa dunia tak memiliki nilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala, sehingga kaya miskinnya seorang manusia tidak bisa dijadikan parameter nilai kemuliaannya dihadapan Allah Ta’ala, karena hal itu hanya bisa dinilai dari segi ketaqwaan: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Terjemahan QS. Al-Hujurat: 13).
Hanya saja perlu diyakini bahwa kekurangan hidup dan musibah yang menimpa seorang mukmin yang taat adalah suatu ujian yang apabila ia bersabar dalam menghadapinya, Allah akan mengangkat derajatnya sebagai orang sabar yang meraih pahala yang tak terhingga: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabar yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.” (Terjemahan QS. Az-Zumar: 10).
Juga musibah atau kesulitan hidup tersebut akan menjadi penghapus dosa-dosanya bila ia bersabar karena Allah: “Ujian selalu bersama dengan orang beriman lelaki dan perempuan, baik di dalam diri, anak dan hartanya, sampai dia bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak mempunyai satu kesalahan pun.” (HR Tirmidzi: 2687, shahih)
Sebaliknya, limpahan karunia dan kenikmatan dunia -baik berupa harta, kesehatan, atau waktu- yang diraih oleh orang-orang kafir dan orang yang suka bermaksiat adalah sebuah cobaan, apakah mereka akan sadar dan bersyukur karenanya ataukah malah tenggelam dalam kekufuran atau maksiat?!.
Bila karunia tersebut membuka mata hati mereka untuk kembali kepada Allah maka ini merupakan sebuah taufiq dan hidayah, sebaliknya bila karunia tersebut malah semakin membuat hati mereka buta dan tenggelam dalam praktek kekafiran dan maksiat maka inilah yang dinamakan istidraaj.
Istidraaj adalah bentuk jebakan dari Allah berupa pemberian limpahan berbagai materi dan kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya yang bermaksiat agar mereka semakin terlena dalam lingkaran maksiat tersebut sehingga dosa dan azab merekapun semakin besar. Atau bisa bermakna: bentuk penundaan azab secara bertahap atas mereka dengan cara diberikan kelapangan rezeki dan kesenangan hidup, sehingga tatkala kekufuran dan maksiat mereka telah mencapai puncaknya Allah akan menimpakan mereka azab tersebut.
Gambaran istidraaj inilah yang difirmankan Allah dalam Al-Quran, artinya: “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (Terjemahan QS Al An’am: 44)
Oleh karena itu seorang hamba yang tenggelam dalam maksiat dan dosa, atau terbiasa dengannya, janganlah terburu-buru dianggap telah sukses bila dikarunia anak, rezeki, istri, atau memiliki kemajuan dalam bidang usaha tertentu, sebab Rasulullah sendiri telah menasehati sahabat Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraaj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Lalu beliau membaca QS Al-An’am ayat 44 diatas. (HR. Ahmad: 17311, hasan).
Seorang mukmin yang menyaksikan kesuksesan duniawi orang kafir atau yang gemar bermaksiat hendaknya tidaklah merasa takjub apalagi iri dengan kesuksesannya, sebab Allah telah memerintahkan, yang artinya: “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Terjemahan QS. Ali Imran: 196-197).
Allah Ta’ala juga telah memperingatkan orang-orang kafir tentang kesuksesan mereka dalam firman-Nya: “Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka adzab yang menghinakan”. (Terjemahan QS Ali Imran: 178).
Bila ada seorang muslim yang merasa takjub atau iri dengan kesuksesan mereka, maka ia adalah seorang yang lemah imannya, sebagaimana lemahnya iman kaum Nabi Musa ‘alaihi salam yang merasa takjub dengan kekayaan Qarun yang dikisahkan dalam Al-Quran: “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. (Terjemahan QS Al-Qashash: 79).
Juga perlu dicamkan bahwa azab yang ditimpakan kepada orang-orang yang ditangguhkan atau diberikan istidraaj oleh Allah Ta’ala tidak mesti didapat tatkala masih hidup di dunia, bisa saja Allah menangguhkannya tatkala ia menghadap sakaratul-maut yang suu-ul-khaatimah (akhir yang buruk) atau ketika ia telah berada dalam alam kubur dan neraka.
Saat itulah mereka baru menyadari bahwa karunia yang mereka raih dalam kehidupan ini hanyalah sebuah bumerang dan sumber adanya bencana dan azab yang menimpa mereka: Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka adzab yang menghinakan”. (Terjemahan QS Ali Imran: 178).
Oleh karena itu, karunia dan nikmat yang hakiki adalah yang bisa membuat seorang hamba bersyukur dan mentaati Dzat yang menganugerahkannya kepada dirinya, namun bila karunia tersebut tidak membuat pemiliknya bersyukur, atau bahkan menjadikan dirinya semakin bermaksiat, maka ini hanyalah nikmat atau karunia yang semu, dan bentuk istidraaj yang hakiki.
Sayangnya, banyak diantara manusia yang tidak menyadari hal ini, sehingga ia pun menjadikan harta dan karunia tersebut sebagai sarana untuk bermaksiat kepada-Nya. Orang-orang yang seperti ini akan diazab oleh Allah cepat atau lambat, di dunia atau di akhirat, sebagaimana firman Allah Ta’ala, artinya: “Dan orang-orang yang mendustakan ayat Kami, nanti akan Kami tarik mereka dengan cara berangsur-angsur (kearah kebinasaan) dengan cara yang tak mereka sadari. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka, (namun) sesungguhnya rencana Ku (untuk menyiksa mereka) sangat kuat sekali”. (Terjemahan QS. Al-A’raf: 182-183).
Mengenai ayat ini, Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Maknanya adalah Kami akan menganugerahkan mereka berbagai karunia, dan melalaikan mereka dari sikap bersyukur.” Abu Rauq rahimahullah juga berkata: “Setiap mereka melakukan dosa, kami sengaja menambah karunia untuk mereka, dan membuat mereka lalai dari memohon ampunan.” (Tafsir Al-Qurthubi: 18/251).
Sungguh, ia hanyalah karunia yang menyengsarakan: “Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” (QS At-Taubah: 55)
Agar seorang hamba mengakui kesalahannya dalam penggunaan karunia tersebut, maka Allah pasti akan menanyakan tentangnya pada para hamba-hamba-Nya satu persatu diakhirat kelak, sebagaimana dalam hadis: ”Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan?; (2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan?; (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan?; dan (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan?”. (HR Tirmidzi: 2417, shahih).
Empat nikmat yang disebutkan dalam hadis ini adalah karunia paling utama yang dianugerahkan Allah pada hamba-hamba-Nya, maka marilah kita menggunakannya sebaik-baiknya dengan cara bersyukur dan menjadikannya sebagai sarana ketaatan agar ia tidak menjadi suatu bentuk istidraaj, dan agar kelak akan menjadi sebab keselamatan kita diakhirat kelak, aamiin.[]
Oleh: Ustadz Maulana La Eda, Lc.