Ilustrasi terbiasa nikmat

Hal-hal yang disenangi oleh hati manusia tidak selamanya dapat membahagiakan dirinya sendiri. Banyak manusia yang tertipu oleh perasaannya, mereka terbuai oleh keindahan sesaat yang membawa mereka pada kenikmatan, namun ternyata kenikmatan itu berakhir dengan rasa takut bahkan kebinasaan.

Sebagai contoh orang-orang yang berpacaran, kebanyakan dari mereka pada awal-awal perbuatannya selalu diliputi oleh perasaan-perasaan yang sangat indah, ketenangan hati dan romantika, seolah hari-hari mereka adalah bunga-bunga yang bermekaran.

Namun setelah berjalannya waktu, perasaan tadi berubah menjadi kecemasan, rasa takut dan kekhawatiran yang amat luar biasa. Bagaimana tidak, cinta tadi telah berubah menjadi malapetaka, hamil di luar nikah, munculnya aib-aib yang begitu malu jika ia tersebar, akhirnya kedua insan yang tadinya penuh cinta, kini di hantui oleh rasa takut, kecemasan dan rasa putus asa.

Demikianlah akhir dari perbuatan mencari kenikmatan yang menyalahi aturan Allah Azza wa Jalla. Pada awalnya dia adalah kenikmatan yang terasa indah, namun pada akhirnya dia berbuah kesengsaraan. Waktu terbuang sia-sia dalam kemaksiatan, sementara ia akan menjadi sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan kelak.

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berkata:

“Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya daripada kematian, karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari Allah Azza wa Jalla dan kehidupan akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.

Dunia dari awal hingga akhirnya tidak sama nilainya dengan obsesi sesaat, maka bagaimana lagi dengan memenuhi semua tujuan hidup sepanjang usia? Sesuatu yang dicintai hari ini bisa berubah menjadi sesuatu yang dibenci esok harinya, dan sesuatu yang dibenci hari ini, bisa berubah menjadi sesuatu yang dicintai keesokan harinya.

Keuntungan terbesar di dunia ini adalah ketika engkau menyibukkan dirimu setiap saat dengan hal-hal yang lebih bermanfaat untuk dirimu, sebagai bekal untuk kehidupan akhirat. Bagaimana mungkin seseorang dikatakan sebagai orang yang berakal jika dia menjual surga beserta segala kenikmatan di dalamnya dengan syahwat yang sesaat saja?” (Al-Fawaid: 31)

Nikmat Pedang Bermata Dua

Kenikmatan ibarat pedang bermata dua, ia bisa menjadi senjata bagi seseorang yang mengantarkannya pada keselamatan. Dengannya ia bersyukur, sehingga Allah semakin menyayanginya dan menjauhkannya dari azab-Nya. Tapi ia juga bisa menjadi sebab yang membinasakan dirinya, jika dia tidak menempatkan dan menunaikan hak-hak Allah pada kenikmatan itu.

Seorang yang memiliki harta misalnya, itu merupakan nikmat baginya. Tapi jika harta itu tidak ditunaikan hak-hak Allah padanya, berupa pengeluaran zakat, infak dan sedekah, ia bisa menjadi sebab yang membinasakan pemiliknya. Para Malaikat akan berdoa kepada Allah untuk dirinya:

اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا

“Yaa Allah berikanlah kebinasaan kepada orang-orang yang menahan hartanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena itu, Allah banyak memperingatkan manusia di dalam al-Qur’an agar tidak terpedaya oleh kenikmatan-kenikmatan yang diberikan-Nya. Misalnya dalam surah al-Kautsar Allah Azza wa Jalla berfirman (yang artinya):

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takastur: 1-8)

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan ayat ini beliau berkata: “Sungguh kalian akan ditanyakan pada hari itu (hari kiamat) tentang rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kalian, berupa kesehatan, rasa aman, rizki dan selain itu.” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/475)

As-Sa’di rahimahullah berkata mengenai firman Allah: “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu),” yang kalian nikmati di dunia. Apakah kalian telah mensyukurinya dan telah menunaikan sesuatu yang merupakan hak Allah terhadapnya, tidak menggunakannya untuk kemaksiatan, sehingga Allah akan memberikan kenikmatan yang lebih besar dan lebih afdhal dari itu, atau kalian telah tertipu dengannya dan tidak mensyukurinya? Bahkan mungkin kalian menggunakannya untuk bermaksiat kepada Allah sehingga kalian berhak mendapatkan siksa-Nya karena itu?” (Tafsir as-Sa’di: 1102-1103)

Milikmu Yang Engkau Keluarkan

Seseorang yang tertipu oleh dunia akan berfikir untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ia menyangka bahwa harta itu akan menjadi miliknya, akan bersamanya dan menolongnya dari segala bentuk kemudharatan.

Tapi kenyataannya harta itu tidak menjadi miliknya, justru menjadi rebutan ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Harta itu pun tidak dapat menyelamatkannya dari kematian. Seorang yang bijak akan pandai mempergunakan kenikmatan yang Allah karuniakan padanya, agar kenikmatan itu berbuah surga dan memiliki arti ketika bersamanya.

Al-Ahnaf Ibnu Qais rahimahullah pernah melihat seorang laki-laki yang memiliki dirham di tangannya. Ia berkata, “Milik siapakah dirham ini?” laki-laki itu menjawab, “Ini milikku.” Al-Ahnaf berkata, “Dirham ini tidak menjadi milikmu hingga engkau mengeluarkannya demi mencari pahala, atau bersyukur dengannya.” (Siyar A’lam an-Nubala: 4/94)

Ibnu Quddamah berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya cinta dunia merupakan induk dari kesalahan, sedangkan membencinya adalah pondasi dari ketaatan.” (Mukhtashar Minhajal-Qashidin: 245).[]

Oleh: Ustadz Muhammad Ode Wahyu