Istihadhah dan Hukum-Hukumnya

Hukum-Hukum Istihadhah 

Pada edisi yang lalu sudah dijelaskan kapan darah itu dianggap sebagai darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum  haid, dan kapan dianggap sebagai darah istihadhah maka yang berlaku pun hukum-hukum istihadhah. 

Hukum-hukum istihadhah seperti halnya hukum-hukum dalam keadaan suci. Tidak ada perbedaan antara wanita mustahadhah dan wanita suci, wajib baginya melakukan shalat lima waktu dan puasa Ramadhan, dan boleh baginya melakukan tawaf, i’tikaf dan lainnya.

Perbedaan wanita mustahadhah dan wanita suci hanya pada hal-hal berikut ini:

  1. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat” (Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah).

Hal  itu  memberikan  pemahaman  bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya. Adapun shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia berwudhu pada saat hendak melakukannya. 

Sedangkan menurut Imam Malik rahimahullah wudhu tiap waktu shalat hukumnya tidak wajib tetapi mustahab, kecuali jika dia berhadats karena sebab lain maka dia wajib berwudhu; tidak ada perbedaan antara darah yang keluar sebelum wudhu dan setelahnya. 

Karenannya perbedaan ini maka lebih utama bagi wanita mustahadhah untuk berwudhu setiap akan melakukan shalat, apalagi jika tidak masyaqqah dalam melakukannya, misalnya dia berada di rumahnya, sebagai upaya keluar dari perbedaan pendapat.

  1. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  kepada Hamnah binti Jahsy : “Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah”. Hamnah berkata: ‘Darahnya lebih banyak dari itu”. Beliau bersabda: “Gunakan kain!”. Hamnah berkata : “Darahnya masih banyak pula”. Nabipun bersabda: “Maka pakailah penahan!”
  2. Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena  sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. “ (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
  3. Jima’ (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya  pada  kondisi  bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Imam Ahmad berkata : “Saya lebih suka tidak menggaulinya” 

Yang benar adalah boleh secara mutlak. Dan ini adalah pendapat kebanyakan sahabat dan tabi’in. Karena ada banyak wanita yang mengalami istihadhah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima’ dengan mereka. Firman Allah Ta’ala: ”…   hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid … “ (Al-Baqarah: 222)

Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari isteri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima’ pun tentu lebih boleh Dan tidak benar jima’ wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima’ wanita haid, karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram. Sebab, mengiaskan sesuatu dengan hal yang berbeda (al-qiyas ma’al fariq) adalah tidak sah. 

Apakah Mustahadhah Wajib Mandi Setiap Waktu Shalat?

Wanita mustahadhah tidak wajib mandi setiap waktu shalat, karena mandi hanya wajib pada saat masa haidnya telah selesai. Adapun yang dilakukan oleh beberapa shahabiyah maka itu kebanyakan ahlul ilmi menganggap perbuatan tersebut adalah tathawwu’ dari mereka sendiri dan bukan atas perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti yang diriwayatkan dari Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha.

Wajibkah Menyampaikan Pada yang Mengkhitbah bahwa Dia Mustahadhah?

Pada asalnya semua aib yang bisa menyebabkan suami istri berpaling dari pasangannya dan mengakibatkan tujuan pernikahan tidak tercapai seperti rasa kasih sayang di antara mereka, maka aib seperti ini wajib disampaikan pada saat khitbah, baik oleh pihak laki-laki maupun wanita. 

Istihadhah yang berlangsung lama dan terus menerus bisa dianggap aib/cacat karena dapat menghalangi suami dari kesempurnaan istimta’, maka sama dengan aib-aib lain yang dapat menyebabkan suami terganggu. Sebagian laki-laki tidak menyukai darah, dan boleh jadi merasa terganggu jika tubuhnya terkena darah tersebut setiap kali menggauli istrinya. Akibatya dia menjauhi istrinya selama sebulan, dan hal itu sulit dan berat. Karenanya wanita yang mengalami istihadhah wajib menyampaikan pada laki-laki yang melamarnya tentang keadaannya. 

Ulama Lajnah Daimah ditanya tentang masalah ini : 

 “Apabila seorang pemudi mempunyai masalah pada rahimnya atau gangguan pada siklus haid yang mengharuskan pengobatan dan mungkin akan memperlambat kehamilan, apakah dia harus menyampaikannya pada yang datang melamar? 

Mereka menjawab : “ Apabila masalah ini adalah perkara yang muncul dan bisa dialami oleh wanita lain, lalu akan hilang sendiri maka tidak harus menyampaikannya, tapi jika masalah ini termasuk penyakit yang berpengaruh atau bukan perkara ringan yang muncul, lalu terjadi khitbah sedang penyakit itu masih ada dan belum sembuh, maka walinya harus menyampaikannya kepada yang melamar” (al Islam Sual wa Jawab)   

Keadaan Yang Mirip Mustahadhah 

Kadangkala seorang  wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam: 

  1. Diketahui  bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan  atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya,  maka  tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu ia tidak boleh meninggalkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah,tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjiya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya, jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti  shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunnah yang mutlak.
  2. Tidak diketahui bahwa si wanita tidak bisa haid setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: “Itu hanyalah darah yang berasal dari pembuluh darah, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam : “Jika datang haid…” menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang masih mungkin mengalami haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak mungkin mengalami haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, berasal dari pembuluh darah, sehingga dianggap istihadhah. (Risalah fi al-Dima’ al-Thabi’iyyah li al-Nisa) Wallahu a’lam.[]

Yuk gabung di grup WhatsApp Sahabat Inspirasi

Home
Donasi
Hitung Zakat
Login