Puisi ini adalah puisi islami tentang nikmat yang karena kita sudah terbiasa dengannya, maka kita kadang lalai dalam mensyukurinya atau istilahnya taking for granted.
Berikut puisi yang berjudul “Terbiasa Nikmat”.
TERBIASA NIKMAT
Oleh: Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. M.Si.
Terbiasa nikmat
betapa seringnya ia membuat
nikmat itu kehilangan harga
di jiwa kita.
Terbiasa nikmat akhirnya
membuat kita tak sadari
betapa ia adalah nikmat.
Yang bermakna:
ia bukan milik kita.
Kita hanya terkaruniai.
Hanya teranugrahi.
Sehingga saat Sang Penganugrahnya
berkehendak beda dengan mau kita:
mencabut nikmat itu,
kita tiada daya
hingga kehabisan upaya
untuk menolak kehendakNya…
Terbiasa nikmat betapa seringnya
membuat jiwa melalai penuh lena,
lalai untuk mengungkap syukur,
meski sekedar bergumam:
“Alhamdulillah…”:
gumam sederhana yang tak sederhana!
Terbiasa nikmat betapa selalunya
menghilangsadarkan jiwa
betapa nikmat itu penuh harga,
hingga ia hilang dari hidup kita.
Apakah kita harus menunggu
nikmat itu melenggang lenyap
untuk dapat mensyukurinya?
Dalam riuhnya kesibukan dan kenikmatan hidup, seringkali kita terlena dan terbiasa dengan segala nikmat yang telah Allah berikan kepada kita.
Betapa sering kita lalai untuk menghargai dan mensyukuri setiap nikmat yang telah diberikan. Puisi “Terbiasa Nikmat” karya Dr. Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc. M.Si., membuka mata dan hati kita akan betapa berharganya setiap nikmat dalam hidup.
Nikmat-nikmat yang kita rasakan setiap hari, baik yang besar maupun yang kecil, seringkali dianggap enteng dan kehilangan makna di dalam jiwa kita.
Tanpa kita sadari, kita telah terbiasa dan terlena dengan hadirnya nikmat-nikmat itu dalam kehidupan sehari-hari. Nikmat menjadi sebuah kewajaran dan keseharian yang tak lagi membangkitkan rasa syukur yang tulus.
Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan betapa nikmat-nikmat ini sebenarnya bukanlah milik kita, melainkan karunia dari Allah. Kita hanya teranugrahi dan diberikan kelebihan-Nya.
Ketika Sang Penganugrah berkehendak lain, kita tidak memiliki kuasa untuk menolak atau menahan-Nya. Nikmat itu dapat diambil sewaktu-waktu, dan kita tidak memiliki daya untuk mencegahnya.
Keterbiasaan kita dengan nikmat-nikmat ini menyebabkan jiwa kita terlena dan lalai dalam menyatakan rasa syukur. Kita mudah melupakan betapa nikmat itu memiliki harga yang tak ternilai. Hanya saat nikmat itu hilang dari hidup kita, barulah kita menyadari betapa berharganya dan beratnya rasa kehilangan.
Apakah kita harus menunggu nikmat itu lenyap dari kehidupan kita baru kita menyadari nilai dan mensyukurinya? Puisi ini menjadi sebuah pertanyaan retoris yang menyentil kesadaran kita. Kita tidak perlu menunggu nikmat itu hilang, kita seharusnya lebih peka dan peka dalam mensyukurinya setiap hari.
“Gumam sederhana yang tak sederhana!”, seperti yang tertulis dalam puisi ini. Sungguh, kata-kata “Alhamdulillah” yang begitu sederhana memiliki makna yang dalam dan penuh keikhlasan. Kita harus membiasakan diri untuk senantiasa mengucapkan rasa syukur atas segala nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita, baik yang terlihat atau pun yang tersembunyi.
Puisi “Terbiasa Nikmat” mengingatkan kita untuk melihat kembali setiap nikmat dalam hidup sebagai karunia yang harus kita hargai dan syukuri. Kita tak boleh terlena dan lalai, melainkan harus menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan berterima kasih kepada Sang Pemberi Nikmat.
Kehadiran nikmat adalah sebuah ujian bagi kita, apakah kita dapat menjaga hati dan pikiran untuk tetap mengingat-Nya dan memperbaharui rasa syukur setiap hari. Semoga puisi ini dapat menginspirasi kita untuk menjadi hamba yang lebih peka dan penuh syukur atas setiap nikmat yang Allah berikan dalam hidup kita.
Demikianlah puisi islami ini. Semoga ini bisa menjadi pengingat bagi kita untuk senantiasa mensyukuri nikmat yang kita terima sekecil apapun itu. Anda juga bisa membaca artikel lainnya.