Shalat Gerhana
LAZISWahdah.com 
– Shalat gerhana matahari disyariatkan pada tahun ke-2 Hijriyyah, adapun shalat gerhana bulan pada Jumada al-Akhir tahun ke-5 Hijriyyah.

Shalat gerhana matahari hukumnya sunnah mu’akkadah dan makruh meninggalkannya sebagaimana pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyyah yang mengatakan wajib. Adapun shalat gerhana bulan sunnah mu’akkadah menurut Syafi’iyyah dan Hanabilah, berbeda dengan Hanafiyyah dan Malikiyah yang mengatakan sunnah biasa.

Waktu shalat gerhana ketika matahari/bulan mulai tertutup sampai gerhana selesai. Rasulullah ﷺ bersabda :

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah ﷻ. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Shalat gerhana boleh dilakukan walaupun bertepatan dengan waktu dimakruhkan shalat sebagaimana pendapat Syafi’iyyah, berbeda dengan Hanafiyyah, Hanabilah, dan salah satu pendapat Malikiyyah yang mengatakan dimakruhkan shalat gerhana pada waktu itu.

Shalat gerhana boleh dilaksanakan sendiri-sendiri sebagaimana yang dilakukan Ibnu Umar -radhiyallahu’anhu-, tapi berjama’ah di masjid lebih afdhal sebagaimana dicontohkan Rasulullah ﷺ.

Shalat gerhana dilakukan walaupun tidak ada perintah atau izin dari waliul amr (pemerintah) sebagaimana pendapat Syafi’iyyah dan Hanabilah, berbeda dengan Hanafiyyah yang mengatakan harus perintah atau seizin waliul amr.

Shalat gerhana 2 rakaat, hendaknya menentukan niat sebelum mengerjakannya, apakah shalat gerhana matahari atau bulan.

Tidak ada adzan dan iqamah pada shalat gerhana, akan terapi diumumkan dengan panggilan “as-Shalatu Jaami’ah”.

لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ نُودِيَ : إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ

Ketika matahari mengalami gerhana di zaman Rasulullah ﷺ orang-orang dipanggil shalat dengan lafaz : As-shalatu jamiah”. (HR. Bukhari)

Pelaksanaan shalat gerhana ada 3 cara :
1. Cara minimal, yaitu sebagaimana shalat sunnah lainnya dan tidak lebih dari itu. Dalilnya hadits Abu Bakrah riwayat al-Bukhari dan an-Nasa’i.

2. Cara sempurna, yaitu 2 rakaat ditambah 2 berdiri dan 2 ruku’, saat berdiri pertama pada rakaat pertama membaca surah al-Fatihah dan al-Baqarah (atau yang sepadan dengan panjangnya), kemudian ruku’, kemudian berdiri dan membaca surah al-Fatihah dan ali-Imran (atau yang sepadan dengan panjangnya), kemudian ruku’ lagi, i’tidal, sujud 2x, kemudian naik rakaat ke-2 membaca surah al-Fatihah dan surah an-Nisa’ (atau yang sepadan dengan panjangnya), kemudian ruku’, kemudian berdiri lagi membaca al-Maidah (atau yang sepadan dengan panjangnya). Membaca bacaan pada ruku dan sujud pertama sepadan dengan 100 ayat, pada ruku dan sujud kedua sepadan 80 ayat, pada ruku dan sujud ketiga sepadan 70 ayat, pada ruku dan sujud keempat sepadan 50 ayat.

Dalilnya hadits Ibnu Abbas radhiyallahuanhu, dia berkata :

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُول اللَّهِ فَصَلَّى الرَّسُول وَالنَّاسُ مَعَهُ فَقَامَ قِيَامًا طَوِيلاً نَحْوًا مِنْ سُورَةِ الْبَقَرَةِ ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ الأْوَّل ثُمَّ رَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلاً وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأْوَّل

Bahwa telah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah ﷺ, Maka Rasulullah ﷺ melakukan shalat bersama-sama dengan orang banyak. Beliau berdiri cukup lama sekira panjang surat Al-Baqarah, kemudian beliau ﷺ ruku’ cukup lama, kemudian bangun cukup lama, namun tidak selama berdirinya yang pertama. Kemudian beliau ruku’ lagi dengan cukup lama tetapi tidak selama ruku’ yang pertama.

3. Cara tidak sempurna, yaitu sebagaimana cara sempurna tapi tanpa memanjangkan bacaan, membaca surah yang pendek jika mau.

Tetap disunnahkan membaca ta’awwudz disetiap awal bacaan al-Fatihah dan bacaan “Sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu” disetiap i’tidal walaupun ada bacaan surah setelahnya.

Disunnahkan menjaharkan (mengeraskan) bacaan pada shalat gerhana bulan malam hari sebagaimana hadits Aisyah -radhiyallahu’anha-, dan mensirkan (mengecilkan) bacaan pada shalat gerhana matahari siang hari sebagaimana hadits Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhu-.

Dibolehkan bagi wanita menghadiri shalat gerhana sebagaimana yang dilakukan Aisyah -radhiyallahu’anha-, adapun wanita yang dikhawatirkan fitnah maka shalat sendiri atau berjama’ah dengan wanita lainnya di rumah.

Disunnahkan khatib berkhutbah setelah shalat sebagaimana tata cara khutbah jum’at, mengingatkan untuk berbuat baik, memperbanyak amalan, taubat, do’a, dzikir, sedekah, mencegah dari kemungkaran dll. Boleh dilakukan saat khutbah atau setelah khutbah selesai. Ini pendapat Syafi’iyyah, berbeda dengan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah yang mengatakan tidak ada khutbah.

Seorang yang masbuk mendapat rakaat jika mendapati imam pada ruku’ yang pertama karena termasuk rukun, bukan ruku’ kedua karena hukumnya hanya sunnah.

Disunnahkan mandi sebelum shalat tapi tanpa berhias sebagaimana shalat eid karena peristiwa gerhana adalah moment menampakan sifat takut dan merendahkan diri dihadapan Allah.

Shalat gerhana gugur hukumnya jika gerhana selesai sedangkan shalat belum dimulai, adapun jika sementara shalat kemudian gerhana selesai maka shalat tetap dilanjutkan dengan memendekkan bacaan. Khutbah boleh walaupun gerhana telah berlalu.

Seandainya gerhana tertutup awan atau kabut, maka tetap melanjutkan shalat sampai benar-benar yakin gerhana selesai.

Gerhana matahari dikatakan selesai jika matahari kembali terang sebagaimana aslinya atau matahari sudah terbenam (masuk waktu maghrib). Sedangkan gerhana bulan dikatakan selesai jika bulan kembali muncul sebagaimana aslinya atau fajar sudah terbit (masuk waktu subuh).

Bagaimana seandainya shalat gerhana bertepatan dengan shalat lainnya? Jika waktunya sempit maka mendahulukan shalat yang waktunya sempit atau shalat yang hukumnya wajib atau lebih mu’akkad, maka mendahulukan shalat fardhu, kemudian shalat jenazah, kemudian shalat eid, kemudian shalat gerhana. Adapun jika waktunya masih luas, maka boleh mendahulukan shalat gerhana.

Apakah disunnahkan shalat jika terjadi peristiwa lainnya seperti gempa bumi, banjir, angin topan dll?
– Menurut Hanafiyyah disunnahkan shalat berjama’ah jika terjadi peristiwa lainnya.
– Menurut Hanabilah disunnahkan shalat berja’ah jika terjadi gempa bumi.
– Menurut Syafi’iyyah tidak disunnahkan shalat berjamaah tapi disunnahkan shalat di rumah masing-masing.
– Menurut Malikiyyah tidak disunnahkan shalat sama sekali.

—-
Penulis : Ustadz Abul Qasim Ayyub Soebandi
Sumber : Grup WA Belajar Islam Intensif

 

Tinggalkan Balasan