Artikel ini adalah tadabbur Surah al-Ahzab: 6 tentang cinta pada rasul tidak untuk menyakiti.
Cinta pada Rasul adalah amalan mulia. Ia merupakan perkara wajib bagi setiap muslim, bahkan menjadi tanda baik dan benarnya iman seseorang. Siapa yang mencintainya dengan tulus, maka ia muslim yang jujur. Namun jika ia membencinya, maka keimanannya masih patut untuk dipertanyakan.
Memang benar kata orang, cinta itu tak cukup dengan klaim di bibir saja. Ia butuh pembuktian. Banyak orang mengaku cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun amalannya justru menandakan perkara yang sebaliknya. Ia malah merendahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Banyak ayat menjelaskan bagaimana hendaknya manusia bersikap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Diantaranya adalah firman Allah Azza wajalla:
ٱلنَّبِيُّ أَوۡلَىٰ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ مِنۡ أَنفُسِهِمۡ
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri”. (QS. Al-Ahzab: 6)
Ayat ini menjelaskan kepada setiap orang yang beriman tentang adab dan sopan santun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau hendaknya menjadi manusia yang harus selalu diutamakan dan diprioritaskan dari diri mereka sendiri, baik ucapan ataupun perbuatan.
Adalah Abdullah bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu yang pernah berkisah, “Dahulu kami bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada saat itu Rasulullah mengambil tangan Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, hingga Umar berkata padanya: Wahai Rasulullah, sungguh engkau adalah orang yang paling aku cintai dari segala sesuatu kecuali diriku sendiri. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidak, demi Tuhan yang jiwaku berada ditanganNya, (tidak sempurna keimananmu) sampai aku menjadi orang yang paling engkau cintai melebihi dirimu sendiri. Umarpun berkata: Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai melebihi diriku sendiri” (HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian hingga aku menjadi orang yang paling dicintainya melebihi cintanya kepada bapaknya, anaknya, bapaknya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim).
Syaikh Abdullathif bin Muhammad al-Hasan rahimahullah berkata, “Sesungguhnya mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan prinsip dasar yang agung dari pokok-pokok agama. Karenanya, tidak beriman seorang yang tidak menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai manusia yang lebih ia cintai dari anak, bapak dan seluruh manusia” (Huquq an-Nabi Baina al-Ijlal wa al-Ikhlal: 64)
Dari sini, seorang muslim haruslah menjaga adabnya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ucapan dan tutur kata. Sebab adab kepada beliau merupakan cerminan hati akan besarnya rasa cinta kepadanya. Dari situ, dapat diukur tingkat kecintaan seseorang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka dari itu, hendaklah setiap muslim menanyakan pada dirinya sendiri ketika ia membicarakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang perkara rumah tangga, anggota keluarga, atau tentang kepribadian beliau, lalu mengembalikan perkataan itu pada dirinya sendiri.
Jika ia sendiri dibicarakan di depan umum dengan nada direndahkan, dihinakan dan ditertawakan, apakah ia akan menerima dan ridha terhadapnya?
Jika tidak, maka sungguh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang lebih utama untuk tidak dibicarakan di depan umum dengan nada direndahkan, dihinakan dan ditertawakan, baik pada keluarganya, rumah tangganya atau lainnya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang lebih utama dan paling mulia dari dirinya bahkan seluruh manusia.
Memang seperti itulah sepantasnya. Klaim cinta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak untuk menyakiti, merendahkan dan menghinakannya. Karena hal itu hakikatnya adalah merobek-robek kehormatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menafikan adanya keimanan di dalam hati.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun melanggar kehormatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya hal itu menafikan agama Allah secara keseluruhan. Sebab, yang namanya kehormatan, kapan ia dilanggar maka jatuhlah penghormatan dan pengagungan. Dengan itu, jatuhlah apa yang dibawakan oleh Rasulullah berupa risalah yang suci hingga batallah agama” (Ash-Sharim al-Maslul ‘Ala Syatmi ar-Rasul: 3/209).
Sesungguhnya untuk merasakan manisnya iman, satu syarat yang harus dipenuhi adalah menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai manusia yang paling dicintai dan diutamakan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Tiga perkara yang jika ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: hendaklah seseorang menjadikan Allah dan RasulNya sebagai sesuatu yang paling dicintainya dari selainnya. Menjadikan cinta kepada seseorang, tidaklah ia mencintainya melanikan cinta karena Allah. Ia takut kembali pada kekufuran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bilamana syarat ini tidak terpenuhi, maka manisnya iman tidak akan terasa. Justru akan nampak padanya duri-duri kemunafikan pada lisan dan tutur katanya, lalu hatinya terkunci dalam kesesatan, hingga akhirnya mati dalam keadaan dimurkai Allah Azza wajalla.
Demikianlah artikel tentang cinta pada Rasul ini. Anda juga dapat membaca artikel menarik lainnya.