Oleh: Muhammad Scilta Riska, SH

Namanya diabadikan sebagai Surah dalam al-Qur’an. Ia bukanlah Nabi bukan pula Rasul. Disematkan padanya gelar ahli hikmah, hamba Allah yang sholeh. Di depan rumahnya telah menanti nasehat darinya, orang biasa sampai penguasa.

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman….” (QS. Luqman: 12).  Ilmu dan hikmah berbeda. Berapa banyak orang yang diberikan ilmu tapi latah dalam ucapannya, tergelincir dalam sikapnya, kontradiksi dalam tindakannya.

Sejumlah ulama telah mengkaji dan menguraikan alasan hingga sosok ayah yang dialognya dengan anaknya secara khusus dikisahkan dalam kitab yang mulia ini. Berikut diantaranya:

Mengakui keagungan Allah. Sejumlah dalil shahih telah mengangkat sosok Lukman sebagai pribadi yang senantiasa konsisten, berusaha menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya dalam keadaan bagaimanapun. Dengan didasari fondasi aqidah yang kuat, semakin tegarlah ia menghadapi segala tantangan.

Melaksanakan amanah. Pesan selanjutnya adalah bahwa apapun amanah yang dibebankan pada kita, hendaknya dijalankan sebaik mungkin. Tidak berlaku khianat karena adanya kepentingan pribadi dan mengikuti keridhaan orang-orang dekat saja, hingga mengorbankan kaidah kebaikan.

Benar dan jujur dalam berbicara. Perkataan yang dibuktikan dengan sikap bisa dijadikan pegangan dan jaminan dari seseorang. Jika dalam perkataannya bercampur kebenaran dan manipulasi, lalu dengan apa kita menguatkan hubungan. Sekali saja berdusta maka kepercayaan bisa hilang selamanya.

Tak mencampuri urusan orang lain. Tidak sibuk dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Jika diterapkan pada kondisi hari ini, maka sikap bijak ini diterapkan termasuk dalam bermedia sosial, tidak asal komentar. Tidak sembarang menulis hal yang bisa saja bersinggungan dengan orang lain. Sebaliknya cermat dan mampu selektif dalam mengambil dan menyimpulkan informasi.

Selanjutnya, ada tiga kelompok manusia kata Yahya bin Muadz rahimahullah tidak akan menetap sifat hikmah padanya.

Orang yang ambisi dengan harta

Sebagai contoh, tak sedikit dari para orang tua ketika hendak memilih tempat sekolah, kuliah atau  pendidikan untuk anaknya yang menyandarkan orientasinya pada pertimbangan duniawi semata. Apakah tempatnya terkenal, apakah setelah lulus mudah mendapat pekerjaan dan sebagainya.

Adapun adab dan ilmu menjadi hal yang tak begitu berharga. Yang penting bisa kerja dapat penghasilan. Doktrin materialisme sadar ataupun tidak diajarkan sejak dini. Hingga anak beranjak dewasa, pikirannya akan tertuju pada pusaran harta semata. Mengejar dunia dan menjadi ambisi utamanya.

Di sisi lain, ajaran Islam telah menjelaskan bagaimana orang yang paling sholeh juga dicirikan sebagai orang yang paling gemar bersedekah. Bagi seorang Mu’min, kesejahteraan ekonomi justru menjadikannya giat beribadah dengan membelanjakannya di jalan Allah.

Disadari, ujian harta adalah hal yang tak bisa luput dari kehidupan manusia. Harta disebut māl berarti kecenderungan. Manusia senantiasa memiliki kecenderungan untuk memilikinya.

Tengoklah di Surah al-Kahfi tentang kisah pemilik dua kebun. Salah satunya punya ambisi memiliki dan berbangga-bangga atas hartanya. Sekalinya telah dimiliki menyangka apa yang dia sudah dapatkan akan bertahan selamanya.

Orang yang hasad kepada makhluk

Sifat hasad dan sifat rendah hati tidak akan menyatu dalam satu hati. Jika kita memiliki sifat rendah hati, hidup terasa tenang bersama orang lain. Orang yang hasad tak akan senang melihat orang lain bahagia. Semua karunia ingin dikuasai dan beralih padanya. Sombong pada yang lebih rendah derajatnya dan iri melihat orang yang derajatnya lebih tinggi.

Kebencian itu bermula karena hasad. Yang membuat Iblis enggan sujud kepada Adam. Membuat anak Adam membunuh saudaranya. Motif saudara yang tega membuang Nabi Yusuf ke dalam sumur.

 

“Orang yang terkena penyakit hasad,” kata Abu Bakar al ‘Arabi. “Kalau tak bisa mencari aib musuhnya, dia akan membuat-buat aib sendiri”.

 

Padahal setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Setiap umat, kelompok, lembaga juga demikian. Apalagi jika karunia yang sifatnya nikmat keutamaan dariNya. Tentu ini bukan kehendak kita.

 

Maka untuk sifat hasad, kita selayaknya senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala nikmatNya. Tetap berbuat baik kepada orang yang hasad pada kita. Kecuali jika mereka memang tidak pantas diperlakukan baik.

Orang yang cinta dengan jabatan

Jika seseorang berlebihan dalam mencintai jabatan, dia akan kekurangan mencintai yang lain. Takut kehilangan kursi jabatan.

Nabi Sulaiman disebut sebagai, “Sebaik-baik hamba” (QS. Shaad: 30). Sebaik-baik hamba adalah ketika Nabi Sulaiman terbebas dari peribadatan kepada dinar dan dirham. Merdeka dari ambisi kekuasaan maupun jabatan. Jiwanya menjadi lebih tinggi dari dunia, sekalipun dunia dalam genggamannya, tapi tidak sampai tersimpan dalam hati.

“Orang yang mengambisikan kekuasaan,” kata Fudhail bin Iyadh. “Pasti jadi hasad, suka mencari aib orang lain, dan tak suka jika orang lain disebut kebaikannya”.

Kekuasan Timur dan Barat tidak menjadikan Dzulqarnanin lupa akan tanggungjawabnya. “Ini adalah rahmat dari Rabbku”. Menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah bukan pada kemampuan diri sendiri.

Adalah hikmah kebijaksanaan menjadikan seseorang mulia. Ialah karunia yang luas. Tanpa harus menuntut pengakuan dari manusia, orang yang paling cinta.[]

 

Sumber : Majalah Sedekah Plus Edisi 68

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *