HUKUM-HUKUM SEPUTAR NIFAS

Artikel ini akan membahas hukum-hukum seputar nifas mulai dari makna nifas, masa nifas, kapan darah dianggap nifas dan hukum-hukumnya. Baca artikel berikut selengkapnya!

Makna Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya yang disertai dengan rasa sakit. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas.” Beliau tidak membatasi dengan 2 atau 3 hari. Dan yang dimaksud adalah rasa sakit  yang kemudian disertai kelahiran, jika tidak, maka itu bukan nifas. (Risalah fi al Dima’ al Thabi’iyyah).

Masa Nifas

Para ulama berbeda pendapat tentang batas minimal dan maksimalnya masa nifas. 

Menurut Imam Malik dan Imam al Syafi’i tidak ada batasan minimal nifas, sehingga kapan saja wanita melihat darah berhenti walaupun sesaat setelah melahirkan maka dianggap telah suci dari nifas.

Sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa batas minimal nifas adalah 25 hari, Abu Yusuf berpendapat 11 hari, dan al Hasan al Bashri mengatakan 20 hari. Namun semua itu tidak ada dalilnya. Maka hendaknya yang menjadi dasar adalah darah, kapan darah ada maka nifas, dan kapan darah berhenti maka dianggap suci.

Adapun batas maksimal nifas adalah 40 hari menurut jumhur ulama. Mereka berhujjah dengan hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha beliau berkata : 

كَانَت النُّفَساءُ تَقْعُدُ على عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ نِفَاسِهَا أَرْبَعِيْنَ يَوْماً (رواه الخمسة إلا النسائي واللفظ لأبي داود) وفي لفظ له : لم يَأْمُرْها النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ بِقَضَاءِ صَلَاةِ النِّفَاسِ. وصححه الحاكم 

“Wanita yang nifas duduk (tidak shalat) pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah nifasnya selama 40 hari. (HR Imam yang Lima kecuali al Nasai, dan ini adalah lafal dari Abu Dawud), dan dalam lafal lain “Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyuruhnya mengganti shalat (yang ditinggalkan) selama nifas” (Dishahihkan oleh al Hakim)

Hadis ini dilemahkan oleh sejumlah ulama, namun al Nawawi berkata : “Perkataan sejumlah penulis ahli fikih : Sesungguhnya hadis ini lemah tertolak” Hadis ini memiliki penguat dalam riwayat Ibnu Majah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

  وَقَّتَ لِلنُّفَسَاءِ أَرْبَعِيْنَ يَوْماً إِلَّا أَنْ تَرَى الطُّهْرَ قَبْلَ ذلِكَ. 

“Memberi waktu 40 hari bagi wanita nifas kecuali jika dia melihat kesucian sebelum itu” (hadisnya sangat lemah, lihat Dha’if Sunan Ibn Majah)

Dan dalam riwayat al Hakim dari Utsman bin Abil ‘Ash : 

وَقَّتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ فِي نِفَاسِهِنَّ أرْبَعِيْنَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi waktu 40 hari bagi para wanita selama nifasnya” (Diriwayatkan oleh al Hakim dalam al Mustadrak no. 624, dalam sanadnya terdapat Abu Bilal al Asy’ary, dilemahkan oleh sebagian ulama)

Hadis-hadis ini saling menguatkan satu sama lain, menunjukkan bahwa darah yang keluar setelah melahirkan hukumnya berlangsung 40 hari, wanita tidak shalat dan tidak puasa, walaupun tidak disebutkan secara jelas dalam hadis, tapi dipahami dari hadis yang lain. (Subul al Salam 1/137-138)

Al-Tirmidzi berkata : “Telah sefakat ahlul ilmi dari kalangan sahabat, tabi’in dan setelah mereka bahwa wanita nifas meninggalkan shalat selama 40 hari, kecuali jika dia melihat kesucian sebelum itu, maka dia mandi dan shalat” (Sunan al Tirmidzi 1/361, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir).

Namun Imam al Syafi’i berpendapat bahwa batas maksimal nifas 60 hari. Imam Malik juga pernah berpendapat demikian walaupun beliau akhirnya meninggalkannya. Ia berkata: “Hal itu ditanyakan kepada kaum wanita”,  hanya saja pengikut beliau masih berpendapat demikian (lihat Bidayah al Mujtahid 1/71)

Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya al Asma allati ‘Allaqa al Syari’ al Ahkam Biha, halaman 37 “Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas.

Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits.”

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu  atau  tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti.

Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah  hal  tersebut  dijadikan  sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah (lihat pembahasan majalah ini edisi sebelumnya).

 Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa  dan  boleh  digauli  oleh  suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni. (Lihat Risalah fi al Dima’ al Thabi’iyyah).

Baca juga: 11 Larangan Saat Haid dalam Islam

Kapan Darah Dianggap Nifas?

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna’: “Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa.” 

Hukum-hukum Nifas

Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid dalam perkara-perkara yang dibolehkan dan dilarang. Dalam hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menamakan haid dengan nifas, beliau berkata kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha :

أَنُفِسْتِ

“Apakah kamu haid?”

Ini adalah isyarat bahwa haid dan nifas sama dalam hukum.  

Hukum haid dan nifas hanya berbeda dalam beberapa hal berikut ini: 

[1] Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan, iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas.

Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

[2] Masa ila’. Masa haid termasuk hitungan masa ila’, sedangkan masa nifas tidak.

Ila’ yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah.

Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, maka masa nifas tidak  dihitung dalam empat bulan.

[3] Baligh. Masa baligh ditandai dengan datangnya haid, bukan dengan nifas.

Hal berikut juga dianggap sebagai perbedaan antara haid dan nifas menurut sebagian ulama : 

Petama, Darah haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita  yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib.

Dan setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha’ wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha ‘ dari Madzhab Hanbali.

Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar  terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab aI Mughni bahwa Imam Malik mengatakan:

“Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti darah haid.” Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Kedua, dalam haid, jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

Yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: “Jangan kau dekati aku!”.

Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli  isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yakni khawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. (Lihat Risalah fi al Dima’ al Thabi’iyyah

Wallahu a ‘lam.

Demikianlah artikel tentang hukum seputar nifas ini. Anda juga dapat membaca artikel lain tentang fiqh.

Oleh: Ummu Hafsah, Lc. (Dosen STIBA Makassar)

Home
Donasi
Hitung Zakat
Login