LAZISWahdah.com – Maungdaw adalah salah satu district (seperti kabupaten jika di Indonesia) yang berada di Rakhine State. Menembus Maungdaw menjadi spesial untuk misi kemanusiaan yang dilakukan Indonesia Humanitarian Alliance (IHAM) atau AKIM (Aliansi Kemanusian Indonesia Myanmar) yang berada dibawah Kemenlu-RI, ada 11 NGO Indonesia yang terbagung dan LAZIS Wahdah adalah salah satunya.
Bisa masuk Maungdaw adalah target para NGO dalam mengemban misi kemanusiaan, namun tidak mudah masuk ke wilayah tersebut khususnya setelah eskalasi konflik semakin meningkat di tahun 2016, bahkan sekelas PBB pun tidak mendapatkan ijin masuk ke wilayah konflik tersebut.
Akhirnya dengan melalui lobi-lobi antara Negara dan dengan pemerintah Rakhine State, akhirnya tim AKIM Indonesia mendapatkan lampu hijau untuk datang ke Maungdaw, tepatnya tanggal 7 Mei 2017. Ada enam orang dari AKIM ditunjuk untuk mengembang misi menembus maungdaw termasuk didalamnya dari LAZIS Wahdah. Selain itu ditambah satu translater sekaligus guide (penunjuk jalan) yaitu Ang Sumo, orang myammar yang menjadi staff KBRI yang bisa berbahasa Indonesia dan Inggris.
Selain Maungdaw merupakan area konflik, tantangan lain yang harus dihadapi tim untuk menembus Maungdaw adalah lokasinya yang sangat jauh dari Sittwe City (ibu kota Rakhine State) . Maungdaw merupakan district yang berbatasan langsung dengan negara Bangladesh. Oleh karena itu, untuk mengurangi waktu diperjalanan maka diputuskan untuk menggunakan speed boat sebab dengan kapal reguler (public transportation) maka waktu yang akan dihabiskan diperjalanan sekitar 10 jam. Namun dengan speed boat maka hanya membutuhkan waktu sekitar 2-3 jam dengan tarif khusus yang tidak kecil yakni 800 USD (sekitar Rp. 11 juta).
Tim AKIM tiba di pelabuhan pemberangkatan pada pukul 08:00, namun kemudian terjadi sedikit hambatan yaitu kami tidak diizinkan untuk ke Maungdaw karena belum ada surat izin secara tertulis dari pemerintah Rakhine State ke pemerintah Maungdaw district, (terkait ijin pejabat distrik ini memang kerap membuat alasan-alasan tekhnis yang mungkin tujuannya agar bisa megurungkan niat atau mengulurkan waktu, diceritakan oleh teman yang sudah aktif bekerja sejak 2013 lalu) dan berkat lobi-lobi alot lagi maka kami akhirnya mendapatkan izin untuk ke Maungdaw.
Sekitar pukul 08:20, kami pun berangkat dengan speed boat. Kami harus melewati laut dan sungai Rakhine State yang cukup luas dan panjang. Speed boat melaju dengan kecepatan tinggi membuat jantung berdenyut cepat dan hempasan ombak-ombak kecil makin menambah adrenalin kami. Ya…cukup membuat perut terasa mual. Tapi Alhamdulillah, tidak ada satu pun anggota tim yang muntah. Namun setelah speed boat melewati sungai, perjalanan sedikit terhibur dengan pemandangan disamping kiri dan kanan sungai Rakhine State.
Di sepanjang sungai Rakhine State, terdapat banyak pemukiman warga dengan desain rumah yang sangat tradisional dan disekitarnya terdapat banyak sapi ternak yang sedang menikmati rumput dipinggir sungai Rakhine State. Disepanjang sungai, begitu banyak nelayan yang sedang memasang pukat untuk mencari ikan. Selain itu, terlihat beberapa Pagoda yang berdiri megah di bukit-bukit pinggiran sungai Rakhine State. Oh..iya, perlu sedikit saya jelaskan bahwa Rakhine merupakan nama sebuah etnis di Myammar yang beragama Budha. Sedangan Rohingya merupakan sebuah etnis di Myammar yang beragama Islam. Salah satu menjadi pemicu ketidak harmonisan hubungan keduanya yaitu etnis Rakhine tidak mengakui etnis Rohingya sebagai etnis asli Myammar tetapi etnis pendatang dari negara Bangladesh. Namun etnis Rohingya menyangkal pernyataan tersebut karena nenek moyang mereka telah berabad-abad hidup di tanah Myammar.
Kita kembali ke perjalanan ke Maungdaw, saya sempat melihat jam dimana telah menunjukkan pukul 09:40 dan bertanya-tanya dalam hati, kapan sampainya di Maungdaw. Perjalanan telah terasa lama namun belum terlihat Maungdaw. Akhirnya pada pukul 10:30, pelabuhan yang dipenuhi perahu besar dan kecil telah terlihat dari kejauhan. Apakah itu Maungdaw? Tanyaku dalam hati. Sang Nahkoda speed boat pun mengurangi kecepatan perahunnya dan mengarahkannya ke pelabuhan. Speed boat makin mendekat hingga terlihat di teras dermaga seorang laki-laki yang berpakaian militer berdiri seakan menunggu speed boat yang segera menepi. Selain itu, terlihat beberapa laki-laki yang berpakaian dinas pemerintahan, kemeja putih dan sarung khasnya, memakai sarung dengan ikatan mengepal dan baju di dalam adalah cirri khas pakian Myanmar di berbagai tempat umum seperti pasar, perkantoran dan tempat umum lainya, bahkan kuli bangunan pun memakai sarung.
Selajutnya kami turun dari speed boat, ternyata pegawai pemerintah yang tadi terlihat dari speed boat ditugaskan oleh kepala pemerintahan Maungdaw untuk menjemput tim AKIM ke Maungdaw. Oh…ternyata tempat ini bukan Maungdaw, kami masih harus menempuh satu jam perjalanan lagi untuk sampai ke Maungdaw. Tempat transit kami ini disebut Buthidaung, sebuah kota kecil di pinggiran sungai Rakhine State, (wilayah ini adalah salah satu diantara 3 wilayah pusat konflik 25 agustus 2017baru-baru ini). Sebelum melanjutkan perjalanan dengan mobil yang telah disiapkan pemerintah, terlebih dahulu kami harus melalui pemeriksaan dokumen yang dilakukan oleh militer. Setelah semua dokumen telah diperiksa sekitar 15 menit, mobil pemerintah Maungdaw mulai bergerak menuju Maungdaw.
Sebelum saya bercerita tentang kondisi medan ke Maungdaw, saya ingin menceritakan terlebih dahulu tentang Buthidaung. Buthidaung merupakan district tersendiri yang berbeda dengan Maungdaw. Pemandangan pertama yang saya lihat di district ini adalah besarnya jumlah populasi penduduk muslim yang berada di kota kecil ini. Penampakan terlihat secara fisik sebagai seorang muslim terlihat jelas di kota ini, gamis, kopiah, jilbab hingga niqob (cadar) terlihat jelas dikenakan oleh masyarakat di kota transit ini. Buthidaung juga tentunya dihuni oleh pemeluk agama lain terutama Budha. Masyarakat muslim yang mayoritas di kota ini dapat hidup berdampingan dengan masyarakat budha yang minoritas. Hal ini tersebut dapat terlihat dari interaksi mereka di toko-toko, pasar dan pelabuhan. Seakan tiada sekat diantara mereka.
Satu hal yang menarik di Buthidaung kota yang sederhana ini adalah terdapat sekolah yang dibangun oleh Indonesia era pemerintahan SBY tahun 2013 silam. Pemerintah Buhidaung yang ikut menjemput tim AKIM mengantar kami ke sekolah Indonesia tersebut. Jaraknya dari pelabuhan sangat dekat hanya sekitar 2 menit dari pelabuhan. Letak sekolah indonesia di Buhidaung berada diantara dua komunitas muslim dan budha sehingga murid-murid sekolah ini berasal dari kedua komunitas ini. Saat tim AKIM datang ke sekolah tersebut, tidak ada aktivitas proses belajar karena saat ini sekolah di Myammar masih libur mulai dari Maret sampai Mei. Namun terdapat pegawai sekolah yang hadir untuk menjelaskan kepada tim AKIM tentang kondisi sekolah ini. Banyak hal yang dijelaskan tentang sekolah bantuan dari Indonesia ini, diantaranya jumlah guru sebanyak 13 orang dan siswa sebanyak 400 mulai dari tingkat elementary (SD) sampai middle (SMP).
Misi menembus Maungdaw dilanjutkan setelah kunjungan ke sekolah bantuan dari Indonesia. Jalanan ke Maungdaw cukup menantang karena samping kiri dan kanan adalah tebing dan jurang. Selama satu jam kami harus menikmati rute jalanan yang berkelok-kelok, cukup membuat perut terasa mual dan kepala menjadi pusing. Lalu beberapa kilometer sebelum memasuki Maungdaw City, terdapat pos militer dimana setiap kendaraan harus berhenti untuk memperlihatkan dokumen dan dilakukan pemeriksaan. Namun kami dapat melaju dengan mudah tanpa pemeriksaan karena kami diantar dengan mobil pemerintah Maungdaw.
Sekitar pukul 12:00, kami memasuki Maungdaw City kemudian kami dibawa ke Kantor Pemerintah Maungdaw City (sejenis kantor walikota). Wakil walikota Maungdaw city menerima rombongan tim AKIM dan memberikan arahan-arahan terkait kegiatan assessment yang kami akan lakukan. Mereka pun menyiapkan wisma kepada kami untuk tempat menginap. Wisma tersebut tidak jauh dari kantor walikota dan berhadapan langsung dengan sebuah pagoda.
Kegiatan menjelajah Maungdaw dimulai setelah mengisi perut yang telah lama “berteriak” setelah melewati rute yang cukup mengocok perut dan membuat kepala menjadi pusing. Mencari makan yang halal di kota Maungdaw terasa lebih mudah dibandingkan di sittwe City karena masyarakat muslim Maungdaw City memiliki jumlah sekitar 98 %, berdasarkan informasi dari beberapa informan yang sempat saya tanya langsung, dan faktanya bahwa di Maungdaw City, muslim begitu mudah ditemukan di jalan-jalan umum hingga di pasar-pasar.
Misi menembus Maungdaw dimulai dari mengunjungi Maungdaw Centre Market (sejenis pasar raya), sebuah pasar yang sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat Maungdaw City untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ketika pertama kali mata ini melihat pasar tersebut, terlihat seorang penjual yang berjengot tebal dan memakai kopiah. Kami pun berjalan masuk ke dalam pasar tersebut, semakin banyak muslim yang terlihat di pasar ini. Disamping kanan kami melihat penjual yang berjenggot tebal dan memakai kopiah. Melihat ke kiri ada seorang muslimah dengan memakai niqob sedang berbelanja dipasar tersebut. Tidak hanya muslim, etnis Raikhine pun banyak berbelanja di pasar ini. Terlihat mereka hidup berdampingan dengan damai. Kondisi tersebut mirip dengan di Buthidaung.
Sebelum saya berangkat ke Mangdaw telah terlintas dalam pemikiran saya bahwa Maungdaw adalah area konflik dimana etnis Rohingya berada di area camp (pengungsian) yang tidak layak sebagaimana yang terjadi di Sittwe City. Ternyata Maungdaw City berbeda dengan Sittwe City, dimana etnis rohingya dapat hidup bebas di seluruh sudut kota Maungdaw, tapi militer tetap mengawasi dan menjaga area ini.
Pertanyaan sekarang, apakah etnis Rohingya bebas menjalankan syariat Islam secara bebas di kota Maungdaw?
Untuk menjawab pertanyaan, kami pun menyelusuri kota Maungdaw. Selama berkeliling di kota Mangdaw, kami tidak pernah sekali pun mendengar suara adzan. Padahal etinis Rohingya yang muslim adalah mayoritas di kota ini. Sebenarnya di kota Maungdaw terdapat beberapa masjid cuma tidak berada di pusat-pusat kota dan suara adzannya tidak kedengaran seperti di Indonesia.
Keberadaan muslim di kota Maungdaw diibaratkan “mayoritas rasa minoritas”. Jumlah mereka banyak tetapi tidak bisa menunjukkan syiar-syiar Islam secara bebas karena kebijakan pemerintah yang berlatar belakang etnis Rakhine (budha). Etnis Rakhine yang minoritas tetapi memiliki begitu banyak pagoda yang berdiri megah di ruang publik dan suara doa-doa pemuka agama budha terdengar jelas. Saya mendengar dengan sangat jelas lantunan doa-doa mereka pada setiap menjelang magrib dan saat subuh karena terdapat satu pagoda di depan wisma yang saya tempati. Ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia termasuk muslim Indonesia. Kondisi “mayoritas rasa minoritas”, ironi dan menyedihkan. Allahu Mustaan.
Setelah merasakan kehidupan etnis Rohngnya di kota Maungdaw, misi menembus Maungdaw kembali dilanjutkan dengan mencari tahu dimana keadaan desa-desa terutama di desa tempat terjadinya konflik di bulan Oktober 2016. Tentu bukan pekerjaan mudah untuk melobi pemerintah Maungdaw yang berlatar belakang etnis Rakhine. Bahkan pemerintah Maungdaw mengarahkan (membelokkan) kami ke sebuah sekolah dan klinik (sejenis puskesmas) di desa Maw Ya Waddy. Desa Maw Ya Waddy merupakan desa yang dihuni oleh etinis Raikhine yang juga pernah terdampak konflik pada tahun 2012. Sesuai dengan rekomendasi mereka, kami pun melakukan survei program bantuan disana dan mengunjungi sekolah Indonesia yang dibangun desa tersebut.
Hari itu, terasa misi untuk menemui etnis Rohingya akan gagal karena pemerintah belum memberikan lampu hijau untuk berkunjung ke desa pusat konflik lalu dengan alasan belum ada izin dari militer dan juga pertimbangan keamanan tim AKIM. Namun Tim AKIM tidak kehabisan akal, tim AKIM melobi pemerintah Maungdaw untuk mengunjungi desa beberapa kilometer sebelum dari red area (area konflik yang dilarang masuk tanpa izin dari militer). Tepatnya di desa Thi Hoe Kyun. Alhamdulillah akhirnya diberikan izin oleh pihak pemerintah Maungdaw. Tentu sebuah jawaban yang melegakan hati dan sesuatu yang dinanti untuk bertemu dengan mereka etnis rohingya, yang telah begitu banyak mengalami penderitaan. Untuk gambaran kondisi etnis Rohingya di desa Thi Hoe Kyun, akan saya ceritakan di tulisan berikutnya.
Laporan : Syamsir,SKM,M.Kes,
– Alumni FKM dan Aktivis MPM UNHAS
– TIM Program LAZIS Wahdah