Oleh : Azwar Iskandar
Hoax telah menjadi sebuah istilah yang begitu akrab di telinga kita hari-hari ini, menyusul maraknya penggunaan media sosial online sebagai sarana dalam menyebarkannya. Ia pun telah menjadi alat ampuh untuk menggiring opini masyarakat di negeri ini. Jauh sebelum kita, para penjajah melakukan strategi devide et impera di negeri ini dengan menyebarkan hoax di tengah-tengah umat. Hasilnya, hoax ini mampu mencerai-beraikan komponen bangsa ini waktu itu.
Mengapa hoax begitu penting untuk dibahas? Hal ini karena hoax adalah penyakit
masyarakat yang mesti dilenyapkan dan dilawan jika umat ini ingin maju dan bertahan di tengah gelombang fitnah akhir zaman. Ketika hoax menjadi hal yang lumrah di zaman ini hingga kita kerap sulit untuk menghindar ketika ia datang, seorang muslim wajib menyikapinya dengan penyikapan yang benar dan sesuai dengan apa yang telah ditunjukkan dalam syariatNya.
Ketika Berita Datang
Kita maklumi bersama bahwa berita yang kita dengar dan kita baca tentu saja tidak semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup di akhir zaman, dimana fitnah, hasud dan dusta menjadi lumrah dan biasa seiring dengan masifnya penggunaan perangkat media sosial online sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini.
Seorang muslim, wajib menyikapinya dengan cara yang benar dengan adab-adab sebagai berikut:
- Tidak semua berita harus kita dengar dan kita baca, khususnya berita yang membahas aib dan membahayakan pikiran. Berita atau informasi yang tidak memiliki faidah, apalagi yang mengandung ghibah dan fitnah, hendaknya tidak dibaca atau dijadikan sebagai sumber referensi.
- Tidak terburu-buru dalam menanggapi berita atau informasi, akan tetapi diperlukan tabayyun dan perlahan (pelan-pelan) dalam menelusurinya. Rasulullah bersabda, “Perlahan (pelan-pelan) itu dari Allah, sedangkan terburu-buru itu dari setan.” (HR. Abu Ya’la 7/247, dishahihkan oleh al-Albani: 4/404)
- Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah berkata, ”Hendaknya kita pelan-pelan dalam menanggapi suatu perkataan, tidak terburu-buru, tidak tergesa-gesa menghukumi orang, hendaknya tabayyun. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla dalam QS. al-Hujurat : 6 dan QS. an-Nisa : 94.” ( Lihat al-Muntaqo min Fatawa al-Fauzan: 3/25)
- Waspadalah terhadap pertanyaan yang memancing, karena tidak semua penanya bermaksud baik kepada yang ditanya, terutama ketika menghukumi seseorang. Oleh karena itu, tidak semua pertanyaan harus dijawab. Bahkan menjawab : “saya tidak tahu” adalah separuh dari pada ilmu. ( Hasyiyatul Utsuluts Tsalatsah: 1/118 oleh Abdurrohman bin Muhammad an-Najdi)
- Hendaknya waspada menanggapi berita pelecehan kepada para ulama. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Sesungguhnya sebagian manusia kadang kala salah dalam memahami perkataan ulama, dan kadang kala seorang ulama memahami pertanyaan tidak seperti maksud penanya, lalu dia pun menjawab sesuai dengan yang dia pahami. Kemudian penanya ini menyebarkan perkataan yang tidak benar. Betapa banyak perkataan yang dinisbahkan kepada para ulama yang mulia, akan tetapi tidak ada dasarnya. Oleh karena itu wajib bagi kita meneliti perkataan orang yang memindah (mengambil) fatwa ulama atau bukan ulama terutama pada zaman sekarang, di mana hawa nafsu dan fanatik golongan menyebar, sehingga manusia berjalan dengan mata yang buta.” ( Tafsirul Qur’an oleh Ibnu Utsaimin:7/17)
- Hendaknya waspada mendengar berita yang disebarkan oleh pihak yang berprasangka buruk, termasuk dari pihak yang memang dikenal gemar meng-ghibah dan menyebar fitnah. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar berbaik sangka dan menjauhi buruk sangka. (Baca QS. al-Hujurat : 12). Rasulullah juga bersabda, “Jauhilah dirimu dari persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu sedusta-dustanya perkataan.” ( HR. Bukhari: 5144) Dalam Sunan Abu Dawud dengan sanad yang shahih, disebutkan bahwasanya Nabi bersabda, “Seburuk-buruk kebiasaan seseorang adalah menjadikan perkataan “persangkaan mereka” sebagai kendaraannya”.
- Waspadalah dari berita orang yang mengumbar lisannya tanpa ilmu dan tidak takut dosa. Seorang muslim hendaknya tidak membicarakan sesuatu yang dia tidak tahu perkaranya, karena Allah ‘Azza wa Jalla mengancam orang yang berbuat dan berbicara tanpa ilmu. (Baca QS. al-Isra’ : 36 dan QS. al-A’raf : 33).
Ketika Menyampaikan Berita
Ketahuilah, tidak semua berita atau informasi yang kita terima boleh kita sebarkan. Hal ini karena berita atau informasi tersebut terkadang berasal dari orang fasik, orang dengki, bahkan orang kafir. Rasulullah bersabda, “Cukuplah orang itu dikatakan pendusta apabila menceritakan setiap apa yang dia dengar.” ( HR. Muslim :1/12)
Demikian juga berita yang telah terbukti kebenarannya, tidak harus kita sebarkan apalagi jika hal itu membawa bahaya atau keresahan bagi umat. Bukankah meng-ghibah hukumnya tetap haram, walaupun perkataan tentang aib saudaranya itu benar adanya?
Hendaknya kita tidak menyebarkan sebuah berita atau informasi yang menjadi hak ulama sunnah dan pemimpin untuk menyampaikannya. Allah berfirman,
“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil ‘Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil ‘Amri).” (QS. an-Nisa’: 83)
Syaikh Abdurrazzak bin Abdul Muhsin hafidzahullah berkata, “Hendaknya kalian memperhatikan ayat ini (QS. an-Nisa’: 83), di dalamnya mengandung pelajaran. Jika terjadi perkara yang mengganggu keamanan negara, hendaknya tidak sembarang orang boleh bicara, tidak minta fatwa kepada sembarang manusia. Akan tetapi kembalikan urusan ini kepada ulama yang kuat mendalami ilmu agama dan ahli ijtihad”. (Lihat Amnul Bilad Ahammiyatuhu wa Wasaailu Tahqiqihi wa Hifdzihi hlm: 25)
Jika Terlanjur Menyebar Hoax
Pertama, orang yang melakukan kesalahan tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya, antara dia dengan Allah. Allah berfirman,
“Dan tidak ada dosa bagimu terhadap kesalahan yang kalian lakukan tanpa sengaja, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”. (QS. al-Ahzab: 5).
Kedua, ketika sudah tersebar di forum atau sebuah majelis tertentu, wajib baginya utuk memberikan penjelasan di forum atau majelis yang sama bahwa berita itu dusta dan tidak benar. Hal ini agar kita bisa lepas dari tanggung jawab. Bagi mereka yang pernah menyebarkan kesesatan, kemudian bertaubat, dia berkewajiban untuk menjelaskan kepada masyarakatnya, tentang kesesatan yang pernah diajarkan. Beberapa ulama mencontohkan hal ini. Beberapa ulama yang bertaubat dari kesesatan, mereka mengarang buku yang membantah pendapat lamanya. Di antaranya Abul Hasan al-Asy’ari. Setelah beliau taubat dari aqidah Kullabiyah, beliau menulis beberapa buku sebagai bantahan untuk aqidah beliau yang lama. Allah berfirman,
“Kecuali mereka yang telah tobat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Baqarah: 160).
Penutup
Oleh karena itu, sebelum menyebarkan, pastikan berita itu benar. Hentikan kebiasaan buruk mudah menyebarkan berita. Jangan sampai kita menjadi pendusta, hanya karena ikut menyebarkan berita dusta di tengah manusia.
Sumber : Majalah Sedekah Plus Edisi 38