Artikel ini akan membahas kisah kesabaran Ibunda Hajar Hajar serta pelajaran kesabaran yang dapat diambil dari beliau. Selain itu juga akan dibahas latar belakang beliau. Baca artikel ini selengkapnya!
Umat Islam sedunia baru saja merayakan hari raya Idul Adha yang jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah. Di hari raya ini, sebagian umat Islam yang tengah berada di tanah haram mengerjakan rukun Islam yang kelima yakni mengerjakan ibadah haji.
Hari raya Idul Adha tentu saja bukan sekadar perayaan hari besar semata. Ada banyak pelajaran maupun hikmah yang harus dapat dipetik oleh kaum muslimin. Hari raya Idul Adha adalah hari yang identik dengan keluarga Nabiyullah Ibrahim alaihis salam.
Banyak keteladanan yang telah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim alaihis salam dan keluarganya terkait dengan Idul Adha. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya, “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang Imam (yang dapat dijadikan teladan), qaanitan (patuh kepada Allah), dan hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang menyekutukan Allah).” (Terjemahan QS. An-Nahl: 120).
Pada keluarga Nabi Ibrahim alaihis salam ada kisah keteladanan tentang ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya. Ada juga kisah cinta sejati yang hakiki dan tanpa syarat, kisah tentang kepatuhan anak kepada orang tua, dan sebagainya. Termasuk pelajaran yang dapat diambil adalah kisah dari salah seorang istri Nabi Ibrahim, Siti Hajar.
Kisah Kesabaran Ibunda Hajar
Siti Hajar merupakan salah seorang wanita terbaik yang patut menjadi teladan bagi seluruh muslimah di muka bumi ini. Teladan pada ketaatannya, rasa cintanya, pengorbanannya, serta kesabarannya yang sangat luar biasa dan tak terbatas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman terkait dengan kesabaran yang artinya, “Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Terjemahan QS. An-Nahl : 96).
Pada mulanya, Siti Hajar merupakan seorang budak yang dihadiahkan raja Mesir kepada Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim. Singkat cerita, Siti Hajar kemudian menikah dengan Nabi Ibrahim alaihis salam dan melahirkan seorang anak laki-laki yakni Nabi Ismail alaihis salam.
Ibunda Hajar adalah wanita dengan kesabaran yang sangat luar biasa. Kesabarannya teruji ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Nabi Ibrahim alaihis salam agar membawa dirinya dan bayi Ismail menuju Mekkah.
Ketiga hamba Allah tersebut kemudian menempuh perjalanan menuju tempat yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sepasang suami istri dan seorang bayi mungil yang masih belum disapih.
Setelah tiba di tujuan, tempat yang sangat tandus tanpa ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, ketiganya pun berhenti. Nabi Ibrahim kemudian menurunkan istri dan anaknya dari punggung hewan tunggangan. Nabi Ibrahim juga menurunkan bekal mereka yang tinggal sedikit, berupa sekantung makanan dan sedikit air. Bekal yang akan habis hanya dalam beberapa hari.
Hanya sebentar Nabi Ibrahim berada di tempat tersebut. Tak lama kemudian beliau pun pergi, meninggalkan istri dan anaknya. Sikap ini membuat Ibunda Hajar sangat terkejut. Ia sama sekali tidak menyangka akan ditinggalkan berdua dengan bayinya yang masih kecil di tempat seperti itu.
Ibunda Hajar bergegas mengejar sang suami. Ia terus bertanya mengapa Nabi Ibrahim bersikap seperti itu. Namun, Nabi Ibrahim alaihis salam tak menggubris pertanyaan-pertanyaan tersebut. Beliau tetap berjalan dan membisu.
Setelah berulang kali bertanya namun tak juga dijawab, Ibunda Hajar pun mengerti apa yang terjadi. Sebagai istri seorang nabi, ia sadar kalau apa yang dilakukan suaminya bukanlah atas kemauannya sendiri namun atas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Apakah Allah yang memerintahkan engkau untuk meninggalkan kami?” tanya Ibunda Hajar memastikan perkiraannya.
Nabi Ibrahim pun membenarkan pertanyaan tersebut.
”Jika demikian adanya, pasti Allah tidak akan menerlantarkan kami.” Dengan penuh keyakinan Ibunda Hajar kini berucap.
Demikianlah gambaran keimanan Ibunda Hajar. Keimanan yang sempurna telah membawanya kepada satu titik keyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan mendzalimi hamba-hamba-Nya yang taat pada apapun perintah-Nya.
Ia juga yakin bahwa meski suaminya meninggalkannya namun Allah akan selalu bersamanya. Dan, selagi bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala, tak ada yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan. Keimanan yang sempurna seperti ini akan menghadirkan prasangka baik, kesabaran yang tanpa batas, serta ketenangan hidup di manapun berada.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, Allah berfirman, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku kepada-Ku..”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Ibunda Hajar pun mulai menjalani hari tanpa kehadiran sang suami. Di alam raya yang tandus, ia hanya bertemankan bayi mungil Ismail. Tentu saja, semua itu tak mudah untuk dilaksanakan. Namun, Ibunda Hajar ikhlas menjalankan semuanya. Demi ketaatannya pada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan mengandalkan perbekalan yang sangat sedikit, Ibunda Hajar berusaha mencukupkan kebutuhannya dan bayi Ismail. Hingga akhirnya perbekalan tersebut habis. Ibunda Hajar diliputi rasa haus yang sangat, demikian juga bayi Ismail yang tak lagi dapat disusuinya karena air susunya pun telah mengering.
Kondisi tersebut membuat bayi Ismail menangis tak henti. Melihat buah hati tercinta yang sedang menderita, naluri keibuan Ibunda Hajar pun tumbuh. Tanpa menghiraukan rasa lapar dan dahaga yang juga membelitnya, beliau kemudian beranjak keluar. Tekadnya hanya satu, ia harus menemukan sesuatu yang bisa menghilangkan lapar maupun dahaga yang tengah dirasakannya dan anaknya.
Mula-mula Ibunda Hajar mendatangi Bukit Shafa, bukit yang terdekat darinya. Ibunda Hajar segera mendaki puncaknya dengan harapan dapat melihat daerah sekitar dengan lebih mudah. Namun, harapannya sia-sia. Jangankan seorang manusia, sekadar tumbuhan atau sumber air pun tak ada yang terlihat.
Ibunda Hajar tak putus asa. Harapannya kemudian beralih pada Bukit Marwah. Bergegas, didakinya bukit tersebut. Nihil. Ia juga tidak menemukan apa yang dicarinya. Ibunda Hajar segera turun untuk menemui bayinya yang tadi ditinggalkan seorang diri.
Ketika mendapati bayi Ismail yang masih menangis, naluri keibuan Hajar kembali bangkit. Apapun akan dilakukannya demi bisa mendiamkan bayinya. Membuat bayi Ismail kenyang sehingga bisa merasa nyaman kembali. Meski untuk itu ia harus melupakan lapar, dahaga, dan juga letih yang membelenggunya.
Ibunda Hajar kembali mendaki Bukit Shafa lalu beralih ke Bukit Marwah. Tujuh kali beliau bolak balik antara dua bukit tersebut. Ibunda Hajar terus berusaha dengan gigih, penuh kesabaran, serta tanpa rasa putus asa. Ia yakin usahanya tidak akan sia-sia.
Akhirnya, kesabarannya berbuah manis. Sumber air yang dicari dan sangat dibutuhkannya akhirnya ditemukannya ada di dekat anaknya. Peristiwa inilah yang kemudian diabadikan dan menjadi salah satu bagian dari rukun dalam ibadah haji, yaitu sai.
Berkat sumber air tersebut, lama kelamaan daerah yang ditempati Ibunda Hajar dan Ismail mulai didatangi orang-orang. Daerah itulah yang kemudian menjadi tempat dibangunnya Baitullah (Kabah) dan kini menjadi salah satu kota suci umat Islam hingga hari kiamat nanti. Kota Mekkah al-Mukarramah, kota yang dimuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pelajaran Kesabaran dari Ibunda Hajar
Kisah perjalanan Ibunda Hajar tersebut banyak mengandung ibrah yang sepatutnya menjadi bahan perenungan bagi kita semua. Salah satu pelajaran pentingnya adalah pelajaran tentang kesabaran. Kesabaran yang didasari oleh keimanan yang kuat dan benar, membuat Ibunda Hajar berada pada derajat yang tinggi. Tidak saja di mata manusia namun secara khusus di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Renungkan dan teladanilah bagaimana kesabaran Ibunda Hajar ketika melakukan perjalanan yang jauh bersama suami dan bayinya. Perjalanan yang dilakukan saat itu tentu saja tidak semudah perjalanan yang kita lakukan sekarang ini. Ada banyak halangan maupun tantangan yang harus dihadapi selama dalam perjalanan. Namun, Ibunda Hajar mampu melewati semua itu dan tiba dengan selamat di tempat tujuan.
Renungkan dan teladani juga bagaimana kesabaran Ibunda Hajar ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim dan hanya berdua dengan bayi Ismail di tengah gurun pasir yang tandus, tanpa adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Bahkan, nyaris tanpa bekal yang memadai.
Beliau memilih sabar dalam ketaatan ketika tahu kalau semua itu adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kesabaran yang didasari oleh keyakinan yang kuat bahwa Allah selalu bersamanya. Bersama Allah, semua akan mampu dihadapinya karena ia yakin kalau Allah tidak akan meninggalkan hamba-hamba-Nya yang taat.
Demikianlah pelajaran kesabaran dari Ibunda Hajar. Semoga para muslimah dapat mengambil pelajaran dan menjadikannya teladan dalam menjalani kehidupan ini. Kesabaran yang tidak ada batasnya karena kesabaran itu sendiri hakikatnya adalah sebuah karunia yang tak terkira.
“Tidaklah seseorang diberi karunia yang lebih baik dan lebih luas, selain dari kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam.
Oleh: Haeriah Syamsuddin