Ilustrasi pemusnahan buku di dunia islam

Sejarah telah mengungkapkan sisi gelap pembantaian dan pemusnahan buku di dunia Islam dan Eropa abad tengah.

Dalam kejayaan Bagdad, perpustakaan paling lengkap di dunia terhancur oleh pasukan Mongol yang tidak peduli dengan keilmuan, sedangkan di Eropa Abad Pertengahan, Inkuisisi Gereja memadamkan kebebasan berpikir dengan memusnahkan buku-buku dan mengancam para ilmuwan.

Trauma ini membentuk jejak panjang dalam perjalanan peradaban, menggarisbawahi pentingnya menjaga kebebasan berpikir dan menghormati bukti-bukti kemajuan kita.

Buku menjadi satu bukti kemajuan peradaban sebuah bangsa. Di masa kejayaannya, Bagdad pernah memiliki perpustakaan paling lengkap di dunia dari berbagai disiplin ilmu dan bahasa yang beraneka ragam. Tidak hanya buku berbahasa Arab, tapi juga India, Latin, Ibrani, dan lainnya.

Ketika pasukan Mongol menginvasi pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah tersebut pada 1258, bangunan-bangunan dihancurkan termasuk puluhan perpustakaannya. Pasukan Mongol yang sama sekali tidak peduli dengan keilmuan, mengeluarkan buku-buku dari perpustakaan kemudian membuangnya ke sungai Tigris sehingga sungai menjadi hitam akibat tinta buku yang mencair bersama darah umat Islam di Bagdad. Begitu banyaknya buku tersebut sampai disebutkan bahwa pasukan Mongol ketika menyeberangi sungai tidak tenggelam karena ada “jembatan” buku yang memenuhi sungai.

Gambar sungai tigris
Gambar Sungai Tigris. Sumber: istockphoto.com

Pusat peradaban Islam lainnya, negeri Andalusia (Spanyol) mungkin sedikit berbeda. Pasukan Kristen  Eropa yang merebut kembali Andalusia memiliki perhatian terhadap keilmuan. Sehigga ketika mereka menguasai kota-kota Islam di Andalusia, mereka memilih untuk membiarkan buku-buku yang ada di perpustakaan umum maupun pribadi di kota-kota tersebut. Ada buku-buku yang dimusnahkan, tapi tidak sebanding dengan yang selamat. 

Ketika membaca sejarah, kita mengetahui bahwa lenyapnya buku disebabkan beberapa hal. Penghancuran seperti yang dilakukan oleh pasukan Mongol adalah salah satunya. Hal semisal terjadi pada karya Ibnu Hazm (994-1063), sarjana muslim terkemuka di Andalusia. Oleh Barat dikenal sebagai Benhazem.

Selain sisi dari dirinya yang cerdas, Ibnu Hazm ternyata memiliki lisan yang tajam yang sewaktu-waktu ia gunakan untuk mengkritik para sarjana (ulama) lainnya. Sampai dikatakan bahwa lisan Ibnu Hazm sama tajamnya dengan pedang Al-Hajjaj (Ibn Yusuf Ats-Tsaqafi). Tidak sedikit mereka yang sakit hati sampai memusuhinya. 

Ketidaksukaan pada Ibnu Hazm dirasakan pula oleh penguasa Sevilla, Al-Mu’tadid. Sekalipun Al-Mu’tadid suami dari seorang penyair, dan ayah dari para penyair. ia memutuskan membakar seluruh karya Ibnu Hazm yang tersebar. Hari ini, dari sekitar 400-an jilid yang pernah ditulis Ibnu Hazm, yang tersisa barangkali hanya puluhan. Thauq al-Hamamah (The Neck-Ring of The Dove) salah satu karyanya yang selamat dan paling banyak dipuji para sarjana Barat.

Eropa Abad Pertengahan

Dunia Islam mungkin jauh lebih beruntung dibanding dunia Eropa Abad Pertengahan. Masa di mana Gereja mendominasi pemerintahan. Mereka yang tidak sejalan dengan pemikiran Gereja akan dihukum. Tidak seperti yang terjadi di dunia Islam -di mana karya-karya ilmiah lenyap atau dilenyapkan oleh orang-orang yang tidak peduli dengan keilmuan atau alasan politis lainnya-, di Eropa, pemusnahan karya ilmiah justru dilakukan oleh “orang-orang suci” dari kalangan pendeta maupun biarawan. Dan, diperintahkan oleh Paus. Tidak hanya melenyapkan karya, mereka juga menghilangkan nyawa penulis, penyebar, pembaca, dan penerbitnya.   

Di Eropa Abad Pertengahan pernah berdiri satu lembaga hukum bernama “Inkuisisi (Inquisition)” Inkuisisi merupakan lembaga hukum keagamaan paling berkuasa yang pernah didirikan untuk menumpas perbedaan dan heterodoksi pemikiran. Inkuisisi berada di bawah otoritas Gereja menjadi lembaga paling mengerikan Abad Tengah dengan mengatasnamakan Tuhan. 

Dalam “Holy War”, Karen Armstrong menulis: “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu institusi Kristen yang paling jahat adalah Inkuisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad 17. Metode Inkuisisi ini juga digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka.” 

Aktivitas Inkuisisi menjangkau seluruh Eropa. Masa itu merupakan masa penuh sensor, penangkapan, penyiksaan dan penghancuran terhadap kehidupan manusia. Dan, buku-buku juga tidak lepas dari pantauan Inkuisisi dan Gereja. Pada 1559, atas perintah Paus Paulus IV, terbitlah untuk pertama kali Index Librorum Probiturum alias Indeks Buku-buku Terlarang. Bahkan oleh Giovanni Alberghini, ditulis buku panduan berjudul Manual Qualificatorum Sanctae Inquisitionis, di dalamnya mendefinisikan apa yang dimaksud sebagai buku-buku berbahaya dan metode-metode untuk memusnahkannya. 

Duke Alba menghukum gantung para penulis dan penerbit serta memanggil dekat Fakultas Teologi Universitas Louvaine, Arias Montano, untuk menyiapkan sebuah katalog resmi yang terbit pada 1570 dengan judul Index Librorum Prohibitorum. Status resmi dimaklumatkan atas katalog tersebut dan menyebabkan berlangsungnya penyitaan dan penghancuran ribuan buku di seluruh Eropa.

Pada 1566 di Prancis, Charles IX secara terbuka mendukung Dekrit 1563, terutama Pasal LXXVII yang mengancam pencetak, penjual, penulis dengan hukuman penjara dan pembakaran. Pada 1571, tak ada buku yang bisa terbit tanpa izin kerajaan. Sebagaimana dinyatakan dengan jelas oleh sejarawan A.S. Turberville:

“Tidak cukup dengan menerbitkan indeks, perlu juga untuk memastikan bahwa tidak ada yang membaca buku-buku terlarang. Inkuisisi mengerahkan agen-agennya untuk memeriksa toko buku dan perpustakaan. Tapi tak ada kewaspadaan yang lebih besar dibanding di pelabuhan dan perbatasan Prancis. Bukan cuma paket buku yang diperiksa, tetapi semua jenis barang.”

Para sarjana atau ilmuwan Barat telah merasakan kekejaman Inkuisisi. Dan buku-buku mereka ikut dimusnahkan karena bertentangan dengan pandangan Gereja. Para penerbit tidak berani menerbitkan buku-buku mereka karena takut akan Gereja dan Inkuisisinya. Hal tersebut menimbulkan trauma panjang bagi orang-orang Eropa. Adanya trauma sejarah terhadap Gereja pada Abad Tengah inilah yang menyebabkan Eropa modern menjadi liberal sekular.

Demikianlah artikel tentang pemusnahan buku di dunia Islam dan Eropa bagian tengah. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang sejarah islam.

Oleh: Mahardy Purnama