Pembaruan Islam di Nusantara pada awal abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kota Kairo, Mesir. Sejak Abad 18, Mekkah menjadi magnet bagi para pelajar dari Nusantara, namun Kairo mulai mencuri perhatian mereka menjelang akhir Abad 19.
Pemikiran reformis Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha, yang terpublikasikan dalam majalah Al-Manar, menginspirasi Thaher Djalaluddin menjadi tokoh pertama dari Komunitas Jawi yang memperkenalkan pembaruan Islam di Asia Tenggara.
Fenomena ini semakin meluas, dan pelajar-pelajar Nusantara mulai merantau ke Al-Azhar, Kairo, untuk menuntut ilmu dan menggali pembaruan Islam. Bahkan, mereka tidak hanya belajar, tetapi juga terlibat dalam penerbitan majalah Al-Ittihad dan Seruan Azhar, yang membantu menyebarkan gagasan pembaruan kepada masyarakat muslim di Nusantara.
Kairo memainkan peran kunci dalam membentuk elite keagamaan baru di wilayah tersebut. Untuk informasi lebih jauh, baca artikel berikut selengkapnya!
Sejak Abad 18, Mekkah dan wilayah Hijaz pada umumnya, telah menjadi tujuan para penuntut ilmu (thalib al-‘ilm) dari Nusantara. Begitu populernya Makkah sehingga terbentuk komunitas pelajar Nusantara di sana, dikenal dengan Komunitas Jawi.
Ulama-ulama besar kita merupakan alumni-alumni halaqah di Masjidil Haram, Makkah. Sebut saja misalnya, Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Dua ulama Nusantara yang menjadi imam dan pengajar di Masjidil Haram.
Menjelang akhir Abad 19, kota Kairo mulai akrab di mata para pelajar muslim Nusantara. Pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad Abduh dan muridnya, Muhammad Rasyid Ridha menarik perhatian para penuntut ilmu (thalib al-‘ilm). Keduanya dianggap sebagai tokoh reformis dan pembaruan dengan pemikiran-pemikiran mereka yang dituangkan dalam majalah Al-Manar.
Thaher Djalaluddin, thalib al-‘ilm di Mekkah disebut-sebut sebagai orang pertama dari komunitas Jawi yang tertarik dengan pembaruan yang terjadi di Kairo, Mesir. Setelah bergelut dengan ilmu di kota kelahiran Rasulullah ﷺ selama 15 tahun, Thaher berangkat ke Kairo pada 1895, dan menyelesaikan studinya dalam bidang astronomi (ilmu falak).
Empat tahun berada di Mesir, Thaher tertarik dengan ide-ide pembaruan yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha. Thaherlah thalib al-‘ilm Jawi pertama yang memperkenalkan pembaruan Islam di Asia Tenggara.
Pelajar Jawi lainnya di Mekkah yang tertarik dengan pembaruan di Kairo adalah Muhammad Basyuni Imran asal Sambas, Kalimantan. Sekitar lima tahun belajar di Mekkah (1901-1905), Imran juga berkenalan dengan pembaruan Islam di Kairo.
Ketika kembali ke Sambas pada 1906, ia berlangganan Majalah Al-Manar, dan mulai berkorespondensi dengan Syaikh Rasyid Ridha. Ia meminta fatwa kepada Syaikh Ridha dalam berbagai hal. Permintaan fatwa (istifta’) yang dulu fokus pada masyaikh Mekkah, kini mulai berpindah kepada tokoh reformis di Kairo.
Ketertarikan kepada Kairo, membuat Basyuni Imran berangkat ke sana bersama saudaranya, Ahmad Fauzi dan sahabatnya, Ahmad Sa’ud pada 1910. Ketiganya belajar di sekolah yang baru didirikan oleh Syaikh Rasyid Ridha bernama Darud Da’wah wal Irsyad. Imran belajar di sana selama tiga tahun, kembali ke Sambas pada 1913 untuk menggantikan posisi ayahnya sebagai imam (ulama).
Meski tidak pernah lagi kembali ke Kairo, hubungan Basyuni Imran dengan Syaikh Ridha terus berlangsung. Melalui Majalah Al-Manar, ia meminta fatwa kepada sang guru. Dia mengajukan sejumlah pertanyaan berkenaan dengan beragam persoalan Islam dan umat Islam di Nusantara (dulu bernama Hindia Belanda) yang sedang berubah di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Basyuni Imran menerjemahkan beberapa karya Syaikh Ridha ke dalam bahasa Melayu, sehingga ide-ide pembaruan sang guru menjangkau masyarakat muslim di Nusantara yang lebih luas.
Baca juga: Mengkaji Kembali Sejarah (Islam) Bangsa Mongol
Al-Azhar Diminati Pelajar Nusantara
Pada awal abad ke-20, para pelajar Nusantara yang haus ilmu menyadari adanya pembaruan Islam dan perkembangan modern yang terjadi di Mesir. Negeri yang terkenal dengan Sungai Nil itu menjadi tujuan para pelajar untuk menuntut ilmu.
Majalah Al-Munir (yang terinspirasi dari Al-Manar) di Padang, edisi 24 September 1911, melaporkan keberangkatan pelajar dari Minangkabau ke Kairo, Mesir. Mereka adalah Abdul Madjid dan Muhammad Ramli. Majalah Al-Munir menggambarkan keberangkatan keduanya dengan harapan besar, bahwa akan “menuntun bangsa kita kepada jalan agama yang lurus”.

Setelahnya, tren belajar di Al-Azhar-Kairo, terus meningkat. Para pelajar yang menjadi pelopor tersebut menganjurkan umat Islam Melayu dan Nusantara untuk mengirim anak-anak mereka ke Kairo. Jika thalib al-‘ilm di Mekkah umumnya adalah mereka yang dari pesantren, thalib al-‘ilm yang melanjutkan studi di Kairo rata-rata mereka yang berasal dari madrasah.
Tidak dipungkiri, Syaikh Rasyid Ridha juga menarik minat pelajar Nusantara untuk melanjutkan studi di Al-Azhar, Kairo. Ia bahkan membantu beberapa pelajar untuk mendapatkan penginapan ketika mereka sampai di sana.
Minat belajar di Kairo oleh umat Islam Nusantara dan Asia Tenggara secara umum terus meningkat. Tren tersebut mencapai puncaknya pada era 1920-an. Meningkatnya jumlah pelajar Nusantara di Kairo membuat mereka membangun sebuah perkumpulan yang terorganisasi dengan baik, bernama Jam’iyyah Al-Khairiyyah Ath-Thalaba Al-Azhariyyah Al-Jawiyyah (Asosiasi Pelajar Jawi Al-Azhar untuk Kebaikan) pada 1922. Asosiasi ini diketuai oleh Janan Tayyib dari Minangkabau.
Baca juga: Perang Salib Mengubah Eropa
Majalah Al-Ittihad dan Seruan Azhar
Tidak seperti para thalib al-‘ilm di Mekkah yang hanya fokus membaca kitab-kitab di bawah bimbingan guru mereka, para thalib al-‘ilm di Kairo juga terlibat dalam penerbitan majalah, yaitu Majalah Al-Ittihad yang terbit pertama kali pada 1912.
Al-Ittihad adalah majalah berbahasa Melayu pertama yang terbit di Timur Tengah. Penulisnya adalah Muhammad Basyuni Imran dari Sambas dan Abdul Wahab Abdullah dari Tapanulis. Sementara editornya adalah Ahmad Fauzi dari Sambas dan Muhammad Fadlullah Suhaimi dari Singapura. Al-Ittihad menggambarkan Kairo sebagai kota metropolis dan tempat yang tepat untuk studi, dilengkapi dengan berbagai sekolah modern.
Selain Al-Ittihad, terbit pula Seruan Azhar oleh Jam’iyyah Al-Khairiyyah pada 1925 yang didukung finansial seorang pelajar Melayu yang kaya bernama Haji Osman Abdullah. Editornya antara lain Janan Tayyib, Ilyas Ya’qub dan Mahmud Yunus. Majalah ini didesain untuk mempromosikan ilmu pengetahuan, kemajuan, dan persatuan antara para pelajar Nusantara dan Melayu di Mesir. Seruan Azhar berhenti cetak pada Mei 1928 karena kesulitan keuangan.
Bagaimanapun, Kairo memiliki peranan penting dalam memperkenalkan serta menyebarkan pembaruan Islam kepada masyarakat muslim di Nusantara. Para pelajar muslim Jawi di Kairo memberi kontribusi dalam pembentukan elite keagamaan baru bagi muslim di Nusantara.
Demikianlah artikel tentang pengaruh Kairo dalam perkembangan pembaruan islam di Nusantara awal abad 20. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang sejarah islam.
Oleh: Mahardy Purnama