Oleh: Ummu Afif Abdurrahman
Dunia kian elok. Tak sedikit manusia takluk dengan pesonanya yang menipu. Beragam rupa dunia, seolah mampu ‘mengambisiuskan’ manusia tuk berlomba-lomba mengejarnya. Waktu dan tenaga diporsir habis-habisan untuk memenuhi hidup (dan gaya hidup) demi kebahagiaan keluarga (katanya). Kenyataannya, banyak yang terpelanting sebab meski diusahakan sekuat tenaga disertai keseriusan ikhtiar, ada yang tak kuasa memenuhi hatinya dengan rasa puas. Ibarat meminum air laut, semakin diminum semakin haus!
Maka rupa dunia (yang di antaranya) bermerk harta, mampu menjerat hati yang lemah iman lagi ambisius dalam hidupnya. Seakan kehidupan ini hanya untuk uang dan uang. Tanpa sadar, berbagai aktivitas dan rutinitas hanya melelahkan raga, lalu abai dari hakikatnya. Bahwa kelak, harta yang dicari akan ditanya dengan dua pertanyaan; dari mana (bagaimana mengusahakannya), dan untuk apa ia diusahakan.
Ironis. Sebab meski setumpuk materi bernilai uang terpampang di depan mata, mengusahakan untuk membelanjakan seperlunya, juga jadi ujian. Tak cukup dengan pemenuhan kebutuhan primer, bahkan kebutuhan tersier pun menjadi gaya hidup yang kini laris manis melekat pada kalangan ‘ber-uang’.
Pada kalangan berkecukupan pun, terkadang menjadi dilematis membedakan antara kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder. Akhirnya, terbuai dengan pemenuhan yang jangka pendek, lalu luput dengan pemenuhan manfaat jangka panjang. Di antaranya terlalu menghiasi diri dengan pernak-pernik yang bersifat sementara, sedang sesuatu yang substansial untuk kebutuhan anak sejak dini di mulai usia balitanya, tidak terpikirkan hari ini. Dan masih banyak contoh lainnya.
Maka disimpulkan; rezeki adalah tentang merasa cukup. Merasa cukup artinya berusaha mengendalikan keinginan. Jika rezeki adalah upaya pemenuhan semua keinginan, maka sulit menentukan batas-batasnya. Sulit menentukan kadar dalam batas wajarnya.
Berpulang dalam kebersahajaan hidup. Sebab di sana ada ketenteraman. Bukankah kebahagiaan tidak diukur dengan banyaknya harta, tetapi sejauh mana mensyukuri nikmat yang Allah beri. Pun masalah rumah tangga kian mendera, tapi kelimpahan nikmat membuatnya terus bersyukur dengan yang ada di hadapannya, tak kecewa dengan yang tidak ditakdirkan untuknya. Terpaan masalah diiringinya dengan iman. Yang dengan jasa keimanan inilah, yang membatasi jiwa manusia dari memperturutkan loba yang tak berkesudahan, tidak cukup dengan yang sedikit, atau tidak puas dengan yang banyak.
Juga melihat ke bawah dalam hal dunia. Bahwa saat perasaan susah mulai menyeruak, pada saat itu pula tersadar akan masih banyak orang yang lebih susah darinya. Mencoba tawadhu di hadapan Allah. Merasa kerdil dengan keagungan dan kebesaran Allah dalam dirinya.
Sangat tipis bedanya dengan putus asa. Yakni sikap penuh kekecewaan dan kesalahan ketika tak mampu mencapai yang diingini. Justru sikap merasa cukup, ialah berusaha sebaik-baiknya, namun bila hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia tetap berlapang hati disertai rasa syukur. Dan merasa cukup itu terangkum dalam kata qana’ah.
Sumber : Majalah Sedekah Plus Edisi 9