Sunnah Wudhu

Sunnah wudhu ada banyak jumlahnya, tepatnya ada tiga belas mulai dari mengucapkan basmalah sebelum berwudhu sampai berdoa sebelum berwudhu.

Masing-masing sunnah wudhu tersebut akan dijelaskan secara terperinci lengkap dengan dalil-dalilnya pada artikel berikut:

Mengucapkan Basmalah Sebelum Berwudhu

Bunyi kalimat basmalah adalah “Bismillah” atau “Bismillahirrahmânirrahîm”. Diberitakan oleh al-Baihaqi bahwa ketika Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam-  meletakkan kedua tangan beliau ke dalam sebuah wadah, beliau lalu berkata kepada para sahabat, 

توضؤوا باسم الله

Artinya:

“Berwudhulah dengan membaca basmalah.”

Dan dalam hadis lain dikatakan, 

كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم الله فهو أجذم

Artinya:

“Setiap perbuatan baik yang tidak dimulai dengan basmalah maka hilang berkahnya.”

Hukum mengucapkan basmalah sebelum berwudhu sunnah muakkadah. Tetapi Imam Ahmad berpendapat bahwa hukum membaca basmalah sebelum berwudhu adalah wajib. Jika seseorang lupa mengucapkan basmalah di awal wudhu, maka disunnahkan baginya untuk mengucapkan basmalah ketika dia ingat sebagaimana halnya sunah membaca basmalah ketika hendak makan. 

Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab syafi’i, sunnah hukumnya mengucapkan basmalah ketika seseorang luput tidak mengucapkannya. Diriwayaktan oleh al-Tirmizi bahwa Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, 

إذا أكل أحدكم فليذكر اسم الله تعالى فإن نسي أن يذكر الله تعالى في أوله فليقل بسم الله أوله وآخره

Artinya:

“Apabila salah satu dari kalian hendak makan, ucapkanlah basmalah, dan bila dia lupa membacanya di awal makan, maka bacalah ketika mengingatnya dengan bacaan: ‘bismillâh awwaluhu wa âkhiruhu’.” 

Dalam hal ini, wudhu dianalogikan dengan makan, kondisi lupa dianalogikan dengan kondisi ingat, dan minum dianalogikan dengan makan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa sunnah membaca basmalah dipertengahan suatu pekerjaan, baik sengaja maupun lupa tidak membacanya di awal, dengan menyertakan ucapan “bismillahi awwaluhu wa âkhiruhu”. 

Baca juga: 12 Syarat Sah Wudhu 

Membasuh Kedua Telapak Tangan Sebelum Memasukkannya ke Dalam Wadah Air dan Sebelum Membasuh Muka

Bila orang yang berwudhu meyakini atau meragukan kesucian kedua tangannya, mengingat dia tidak tahu apa yang terjadi pada kedua tangannya itu selama dia tidur, maka makruh mencelupkan kedua telapak tangan itu ke dalam wadah air yang tidak mencapai dua qullah (216 liter) sebelum membasuhnya tiga kali.

Namun bila dia meyakini kesucian kedua tangannya, mencelupkan tangan ke dalam wadah air sedikit tersebut tidak dimakruhkan bahkan disunahkan karena mengikuti sunnah Nabi Muhammad. 

Bersiwak

Sunnah wudhu selanjutnya adalah bersiwak. Menurut pendapat yang ashah tidak sunnah bersiwak dengan menggunakan jari-jari karena jari bukan termasuk siwak. Disunnahkan bersiwak ketika hendak shalat, walau shalat sunnah atau karena aroma mulut yang tidak sedap yang disebabkan oleh tidur, makan, lapar, diam yang lama, banyak bicara, atau lain sebagainya. Dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan, 

كان النبي ﷺ إذا قام من النوم يشوص فاه 

Artinya

“Apabila Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- bangun tidur, beliau menggosok giginya dengan siwak.” 

Para ulama menganalogikan kondisi selain tidur dengan tidur asalkan ada persamaannya yaitu aroma mulut yang tidak sedap. Hukum bersiwak adalah sunnah muakkadah sebagaimana penjelasan yang telah lalu.

Sunnah muakkadah pula hukumnya bersiwak ketika hendak membaca al-Qur’an, membaca hadis atau ilmu-ilmu syariat, hendak berzikir kepada Allah, hendak tidur atau bangun tidur, hendak masuk rumah, ketika sakaratul maut, karena siwak membantu keluarnya ruh secara mudah dan ringan, ketika hendak sahur, hendak makan, setelah selesai shalat Witir, sebelum tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, sebagaimana hukum sunnah memakai wewangian sebelum ihram.

Tidak makruh bersiwak kecuali bagi orang yang berpuasa setelah tergelincir matahari, walaupun puasa yang sedang dilakukan sunnah. Dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim dikatakan, 

لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

Artinya:

“Aroma tidak sedap mulut orang yang berpuasa jauh lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi.” 

Hadis ini menunjuk pada bau mulut setelah tergelincir matahari. Disunahkan untuk membiarkan bau tidak sedap mulut tersebut dan makruh menghilangkannya. Kemakruhan itu terus berlaku sampai matahari terbenam karena waktu puasa sudah berlalu. 

Imam Ahmad mewajibkan bersiwak sebelum tidur pada malam hari dan tidak mewajibkannya pada saat sebelum tidur siang karena mengacu pada hadis yang berbunyi,

أين باتت يده

Artinya:

“…dimana tangannya bergerak pada malam hari…”

Madhmadhah (Memasukan Air ke Dalam Mulut)

Madhmadhah adalah memasukkan air ke dalam mulut. Karena madhmadhah disunnahkan untuk digabung dengan istinsyaq, maka penjelasan kedua sunnah wudhu ini akan digabung pada penjelasan mengenai istinsyaq.

Istinsyaq (Menghirup Air Dengan Hidung Lalu Menyemburkannya)

Istinsyaq adalah menghirup air dengan hidung lalu menyemburkannya.

Hukum kedua hal ini adalah sunnah, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad -shallallahu ‘alaihi wasallam- dan sabda beliau yang berbunyi, 

عشرة من السنة

Artinya:

“Ada sepuluh sunnah,” (HR. Muslim). 

Di antara sunnah-sunnah itu adalah madhmadhah dan istinsyaq. Menurut pendapat yang rajih dalam mazhab syafi’i, mendahulukan berkumur daripada menghirup air adalah syarat mendapatkan pahala sunah. Berbeda dengan Imam Ahmad yang berpendapat bahwa kedua hal itu hukumnya wajib bagi orang yang berwudhu. 

Madhmadhah dan istinsyaq mengandung pahala yang besar. Muslim meriwayatkan, 

ما منكم من أحد يقرب وضوؤه ثم يتمضمض ويستنشق ويستنثر إلا خرت خطاياه مع الماء

Artinya:

“Tidak ada dari kalian yang mendekatkan diri kepada Allah dengan berwudhu, lalu berkumur dan menghirup air lalu mengeluarkannya, kecuali dosa-dosanya akan ikut runtuh mengikuti air yang dikeluarkannya itu.” 

Memisah madhmadhah dan istinsyaq lebih afdal, mengacu pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Menurut pendapat yang ashah, hendaknya berkumur dilakukan dengan sekali cidukan untuk digunakan berkumur tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan cidukan lain untuk istinsyaq tiga kali.

Dianjurkan pula untuk melakukan mubalaghah (melebih-lebihkan) dalam madhmadhah dan istinsyaq bagi orang yang tidak sedang berpuasa. Namun Imam Nawawi berpendapat bahwa yang lebih afdal adalah mengumpulkan keduanya dalam tiga kali cidukan air; keduanya dilakukan dalam tiap-tiap cidukan. Dasarnya adalah sebuah hadis sahih yang berisi keterangan tentang hal ini.

Sementara itu tidak ada satu hadis pun yang menjelaskan mengenai sunnahnya memisahkan antara madhmadhah dan istinsyaq.

Baca Juga: 6 Rukun Wudhu dan Penjelasan Lengkapnya

Mengusap Kepala Dengan Air Hingga Merata

Sunnah wudhu yaitu mengusap kepala sampai merata dengan air karena Nabi Muhammad ﷺ melakukannya sebagaimana yang dimuat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, dan sekaligus sikap keluar dari perbedaan para ulama berkenaan dengan masalah ini. Dimana ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa mengusap seluruh kepala ketika berwudu hukumnya wajib.

Adapun tata cara yang disunnahkan ketika membasuh kepala ialah dengan memulai usapan dari kepala bagian depan, jari telunjuk dipertemukan dengan jari telunjuk lainnya sementara kedua ibu jari dimasukkan ke dalam lipatan-lipatan telinga. Sesudah itu, tangan digerakkan merata sampai kepala bagian belakang dan kemudian digerakkan kembali lagi ke bagian depan tempat usapan sebelumnya dimulai.

Hal ini perlu dilakukan apabila orang yang berwudu mempunyai rambut yang lebat, tujuannya agar air wudu dapat membasahi sampai ke bagian dasar rambut kepala (kulit kepala). Akan tetapi, tindakan mengusap ulang sampai kepala bagian depan tempat memulai usapannya, tidak perlu dilakukan jika yang bersangkutan mempunyai rambut yang pendek.

Jika orang yang berwudu enggan melepaskan sorban atau tutup kepala yang dipakai maka diperbolehkan baginya untuk mengusap sebagian kepala yang kemudian disempurnakan dengan mengusap sorban yang sedang dipakai. Yang paling afdal dalam masalah ini adalah mengusap tidak kurang dari batas ubun-ubun, karena Nabi Muhammad ﷺ mengusap ubun-ubun dan sorbannya.

Mengusap Kedua Telinga

Sunnah wudhu selanjutnya adalah mengusap kedua telinga pada bagian luar dan dalamnya dengan menggunakan air yang baru (bukan dengan air bekas basuhan kepala) adalah sunah. Hal ini berdasarkan riwayat al-Baihaqi yang sahih, dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, 

أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللهِ ﷺ يتَوَضَّأُ، فَأَخَذَ لِأُذُنَيْهِ مَاءً خِلافَ المَاءِ الَّذِي أَخَذَ لِرأْسِهِ

Artinya:

“Bahwasanya beliau pernah melihat Rasulullah ﷺ berwudhu mengusap kedua telinganya dengan air yang berbeda dari air basuhan kepalanya.”

Menyela-nyela Jenggot yang Tebal, Jari-Jari Tangan, dan Kaki

Hal ini berdasarkan hadis Ibn Umar radhiallahu ‘anhu riwayat Ibn Majah,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَوَضَّأَ عَرَكَ عَارِضَيْهِ بَعْضَ الْعَرْكِ ثُمَّ شَبَكَ لِحْيَتَهُ بِأَصَابِعِهِ مِنْ تَحْتِهَا

Artinya:

“Rasulullah ﷺ apabila berwudhu selalu menggosok kedua jambangnya lalu menyela-nyela jenggotnya dengan jemarinya dari bawah.”

Menurut riwayat al-Tirmizi v yang sahih, Rasulullah ﷺ bersabda,

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَخَلِّلْ أَصَابِعَ يَدَيْكَ وَرِجْلَيْكَ

Artinya:

“Jika kamu berwudhu, sela-selalah jemari tangan dan kakimu.”

Mendahulukan Anggota Tubuh yang Kanan Atas Anggota Tubuh yang Kiri

Ilustrasi sunnah wudhu
Ilustrasi sunnah wudhu. Sumber: iStock

Sunnah wudhu selanjutnya adalah mendahulukan anggota tubuh yang kanan atas anggota tubuh yang kiri bagi setiap anggota wudu yang berpasangan. Tidak disunahkan membasuh secara bersamaan, seperti membasuh kedua tangan dan kedua kaki. Abu Hurairah memberitakan, 

إِذَا لَبِسْتُمْ، وَإِذَا تَوَضَّأْتُمْ، فَابْدَؤُوا بِمَيَامِنِكُمْ

Artinya:

“Apabila kalian memakai pakaian dan berwudu, maka mulailah dengan sebelah kanan.”

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam suka memulai setiap pekerjaan mulia dengan anggota kanan, seperti mandi, berpakaian, bercelak, memotong kuku, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur rambut, bersiwak, masuk masjid, tahallul (keluar) dari shalat, keluar dari kamar mandi, makan, minum, bersalaman, menyentuh Hajar Aswad, menyentuh Rukun Yamani, mengambil sesuatu, dan memberi sesuatu.

Sebaliknya, disunahkan memulai setiap pekerjaan yang dianggap tidak baik dengan tangan kiri, seperi masuk kamar mandi, istinja, membuang dahak, melepas pakaian, dan membuang kotoran.

Adapun dua anggota yang disunahkan dibasuh secara bersamaan seperti membasuh kedua telinga, kedua jambang, dan kedua telapak tangan. Dalam hal ini tidak sunah mendahulukan anggota kanan kecuali jika salah satu anggota tidak ada.

Menyempurnakan Al-ghurrah (Melebihi Batasan Anggota Muka yang Wajib Dibasuh) dan At-Tahjil (Melebihi Batasan Anggota Kedua Tangan dan Kedua Kaki yang Wajib untuk Dibasuh)

Menyempurnakan al-ghurrah adalah membasuh muka melebihi dari batas-batas yang telah diwajibkan dari semua sisi yaitu dimulai dari leher sampai bagian atas wajah. Demikian juga sunnah menyempurnakan al-tahjil yaitu membasuh tangan melebihi dari batas-batas yang telah diwajibkan dari semua sisi dimulai dari telapak tangan sampai kedua lengan dan membasuh kedua kaki sampai kedua betis. Hal ini berdasarkan riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda,

إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الْوُضُوءِ

Artinya:

“Sesungguhnya umatku akan dihadirkan pada hari kiamat dengan wajah berseri-seri karena bekas air wudhu.” 

Maka Abu Hurairah mengatakan,

فَمَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ

Artinya:

“Barangsiapa di antara kalian bisa memperpanjang al-gurrah (dan al-tahjil-nya), maka hendaklah ia melakukannya.”

Muwalah (Menyegerakan Membasuh Anggota Sebelum Anggota yang Telah Dibasuh Menjadi Kering) di Antara Dua Anggota yang Dibasuh

Batasan muwalah ialah membasuh anggota berikutnya sebelum basuhan anggota sebelumnya kering dalam kondisi cuaca normal, keadaan tubuh normal, juga waktu dan tempat yang normal. Anggota wudhu yang diusap dalam masalah ini, dihukumi sebagai anggota yang dibasuh.

Kesunnahan muwalah ini berlaku pada wudhu yang bukan kondisi darurat, seperti wudhunya orang yang selalu berhadas, dan selama waktu shalat masih panjang, jika tidak demikian maka hukum muwalah adalah wajib. Maka orang yang selalu berhadas wajib melakukan muwalah, begitu juga jika waktu shalat sudah sempit.

Menghindari Meminta Bantuan untuk Menuangkan Air Selama Tidak Ada Halangan

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jarang meminta bantuan dalam berwudhu selama beliau masih mampu melakukan sendiri. Meminta bantuan tanpa ada halangan merupakan bentuk kemalasan dan kesombongan yang tidak layak dilakukan oleh orang yang hendak beribadah. Bukankah pahala itu berdasarkan tingkat kesulitan. Bukankah meminta bantuan tanpa halangan termasuk perbuatan yang menyalahi etika atau nilai keutamaan.

Menurut pendapat yang ashah, termasuk perbuatan yang disunnahkan adalah tidak mengelap sisa air wudhu baik dengan kain atau tangan tanpa ada halangan karena tindakan seperti itu berarti menghilangkan bekas-bekas ibadah. Diberitakan oleh al-Bukhari dan Muslim bahwa Maimunah menawarkan sapu tangan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau mengurus pemandian mayat, namun beliau menolak.

Berdoa Setelah Berwudu

Sunnah wudhu selanjutnya adalah berdoa setelah berwudu. Adapun bunyi doanya sebagai berikut:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِنْ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِي مِنْ الْمُتَطَهِّرِينَ

Artinya:

“Aku bersaksi tiada ilah kecuali Allah, Tuhan Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang menyucikan diri.”

Barang siapa yang membaca doa ini setelah wudhu, niscaya akan dibukakan baginya delapan pintu surga, ia dipersilahkan masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.

Disunahkan juga membaca doa berikut ini

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Artinya:

“Mahasuci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, aku bersaksi tiada ilah kecuali Engkau, ampunilah aku dan terimalah taubatku.”

Disunnahkan pula membaca selawat kepada Nabi shallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya.

Berkenaan dengan membaca doa ketika membasuh setiap anggota wudhu, sebenarnya tidak ada dasar atau dalil yang menjelaskan kesunahan amalan tersebut, namun Imam al-Rafi’I menganjurkannya karena itu termasuk amalan Salafusshalih. Oleh sebab itu, sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat boleh membaca doa ketika membasuh anggota wudhu, namun hal itu tidak disunahkan.

Di dalam Matan al-Muqaddimah al-Hadramiyah disebutkan sunnah-sunnah lainnya yaitu, menggerakkan cincin, memulai dengan membasuh bagian atas wajah, bila wudhu dibantu oleh orang lain untuk menuangkan air, hendaklah dimulai dengan siku dan mata kaki.

Selain itu, disunnahkan menggosok anggota wudhu dan mengusap ujung mata (daerah ujung mata dekat hidung), menghadap kiblat karena Ka’bah adalah arah yang paling utama, meletakkan wadah di sebelah kanan jika ada tempat yang luas, air yang digunakan tidak kurang dari satu mud yaitu 0,8 liter, tidak berbicara selama berwudhu kecuali jika ada kebutuhan mendesak, tidak mencipratkan air ke wajah, dan tidak membasuh leher.

Demikian artikel tentang sunnah wudhu menurut mazhab Syafi’i ini. Semoga bermanfaat.

Yuk gabung di grup WhatsApp Sahabat Inspirasi