Gambar bejana

Artikel ini akan membahas terkait hukum penggunaan bejana dan wadah dari emas untuk bersuci dan keperluan lainnya.

Menutup bejana air pada malam dan siang hari hukumnya disunnahkan. Hal ini dilakukan agar tidak ada kuman penyakit yang masuk ke dalam bejana tersebut dan juga berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan beberapa perawi lainnya, 

وَأَوْكِئُوا الْأَسْقِيَةَ وَخَمِّرُوا الشَّرَابَ

Artinya:

“Telungkupkanlah tempat-tempat minuman dan tutuplah bejana-bejana.” 

Hukum bersuci dengan menggunakan bejana adalah halal, kecuali untuk bejana yang terbuat dari emas dan perak, atau bejana yang disepuh dengan emas atau perak yang jika dipanaskan sepuhannya akan meleleh. Artinya kandungan logam mulia yang dipakai untuk menyepuh bejana itu terlalu banyak. Ketentuan ini berdasarkan hadis Al-Bukhari dan Muslim dari Huzaifah bin al-Yaman -radhiyallahu’anhu- berkata, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ وَالدِّيبَاجَ ؛ فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ

Artinya:

“Janganlah kalian mengenakan pakaian yang terbuat dari sutra atau dibaj, janganlah kalian minum dengan menggunakan bejana dari emas dan perak dan janganlah kalian makan dengan piring yang terbuat dari emas dan perak. Karena itu semua adalah milik mereka (orang kafir) di dunia, dan akan menjadi milik kalian di akhirat.”

Gambar bejana untuk bersuci
Gambar bejana. Sumber: satujam.com

Inilah hadis yang menjadi dalil keharaman penggunaan jenis bejana tersebut untuk makan, minum, hiasan, bersuci, dan berbagai keperluan lainnya, bagi laki laki maupun bagi perempuan.

Haram hukumnya menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak kecuali dalam keadaan darurat. Misalnya, tidak dapat menemukan bejana dari bahan yang lain, dan diharamkan pula semua bentuk penggunaan wadah yang terbuat dari emas dan perak, meskipun wadah tersebut berukuran kecil seperti botol tempat menyimpan celak mata, karena pelarangan untuk menggunakan bejana dan wadah yang terbuat dari emas dan perak memang bersifat umum.

Haram hukumnya secara mutlak menggunakan bejana atau wadah yang ditambal dengan menggunakan bahan emas. Sebagaimana diharamkan pula penggunaan bejana atau wadah yang memiliki tambalan besar berbahan perak sebagai hiasan. Imam Nawawi -rahimahullah- berkata, “Mazhab ini (Syafi’i) mengharamkan penggunaan tambalan emas secara mutlak, baik bersama dengan lainnya atau tidak.”

Halal hukumnya menggunakan wadah yang ditambal dengan sedikit perak jika memang hal itu diperlukan, sebagaimana dinyatakan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Anas bin Malik -radhiyallahu’anhu-, bahwa suatu ketika gelas Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- retak, ternyata beliau menambal retakan itu dengan sebutir perak.

Jika tambalan perak itu kecil sebagai hiasan, atau banyak karena memang diperlukan maka hukum penggunaannya makruh, tidak diharamkan. Ukuran banyak dan sedikitnya tambalan mengacu pada urf (kebiasaan).

Praktik penyepuhan dengan emas dan perak hukumnya haram secara mutlak, baik dikerjakan sendiri maupun menggunakan jasa orang lain.

Hukum menggunakan bejana dan pakaian milik orang kafir adalah makruh. Karena biasanya mereka tidak menjaga diri dari najis. Hukum makruh ini juga berlaku bagi orang Islam yang tidak memperhatikan kesucian, seperti yang sering dilakukan muslim yang pemabuk. Hal ini berdasarkan hadis Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Tsa’labah al-Khasyani yang berkata,

‎قُلْتُ : يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّا بِأَرْضِ قَوْمٍ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَفَنَأْكُلُ فِي آنِيَتِهِمْ؟ قَالَ : “فَإِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا، فَلَا تَأْكُلُوا فِيهَا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا، فَاغْسِلُوهَا وَكُلُوا فِيهَا

Artinya:

“Aku pernah bertanya, ‘wahai Nabiyullah, kami tinggal di daerah yang banyak didiami oleh kalangan ahli kitab. Apakah aku boleh makan dengan menggunakan wadah milik mereka?’ Nabi menjawab, ‘Jika kalian mendapatkan bejana yang lainnya, maka janganlah janganlah makan dengan menggunakan wadah milik mereka, kecuali jika kalian tidak dapat menemukan wadah yang lain, maka hendaklah kalian cuci terlebih dahulu wadah tersebut dan makanlah dengan menggunakan wadah itu.’”

Menurut pendapat yang azhar, diperbolehkan menggunakan bejana dan wadah yang terbuat atau batu batu mulia seperti Yaqut, Fairuz, Aqiq, Zamrud, dan sebagainya.

Kesimpulannya: tidak diperbolehkan menggunakan semua jenis bejana atau perabotan yang terbuat dari emas dan perak seperti piring, sendok, sikat, pisau, dan sebagainya. Menurut pendapat yang Ashah (paling benar dalam mazhab syafi’i), haram hukumnya menjadikan barang-barang tersebut sebagai hiasan (walaupun tidak dipakai). Dan diperbolehkan penggunaan semua jenis bejana dan perabot yang suci selain yang terbuat dari emas dan perak, karena tidak pernah ada larangan akan hal itu, dan selama penggunaannya tidak berlebihan atau sisertai dengan kesombongan, jika penggunaannya menimbulkan kesombongan maka hukumnya makruh. Dihalalkan juga penggunaan perhiasan yang Indah seperti perhiasan yang terbuat dari kaca atau kayu yang dihaluskan. Menurut kesepakatan ulama, hukum menyematkan batu mulia pada cincin adalah halal.

Begitu juga diperbolehkan menggunakan hidung palsu yang terbuat dari emas dalam kondisi darurat. Pembolehan ini lalu dikiaskan dengan penggunaan gigi palsu yang terbuat dari emas. Alasannya karena Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memberikan izin kepada salah seorang sahabat yang hidungnya putus untuk memakai hidung palsu yang terbuat dari emas.

Demikianlah artikel tentang hukum penggunaan bejana untuk bersuci ini. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang fiqh.