Ilustrasi rukun membaca surah Al-Fatihah dalam shalat

Membaca surah Al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat fardu. Pada setiap rakaat shalat, kita wajib hukumnya membaca surah ini baik bagi orang yang shalat sendirian (munfarid), imam, maupun makmum, baik saat shalat jahriyah (disunahkan mengeraskan bacaan) maupun sirriyah (disunahkan melirihkan suara), serta dilaksanakan baik pada shalat wajib maupun shalat sunah.

Lalu apakah hukum ini berlaku juga bagi orang yang masbuq misalnya? Apa saja yang membatalkan rukun ini? Baca artikel berikut selengkapnya!

Sifat Rukun Membaca Surah Al-Fatihah pada Shalat

Apabila makmum dalam kondisi masbuq, lupa, atau makmum yang gerakannya lambat, hukum ini tidak berlaku sebab surah al-Fatihah makmum sudah ditanggung imam.

Dalil kewajiban membaca al-fatihah sudah dijelaskan pada artikel lain yang membahas tentang rukun shalat.

Kewajiban membaca surah al-Fatihah juga berlaku pada saat berdiri yang kedua kali dalam shalat gerhana matahari dan gerhana bulan, sebab setiap rakaat shalat ini terdapat dua kali berdiri dan dua kali membaca surah.

Disunahkan membaca ta’awwudz sebelum memulai al-Fatihah. Adapun basmalah, merupakan bagian dari surah al-Fatihah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung al-Fatihah ada tujuh ayat, dan basmalah salah satu ayatnya, (HR. al-Bukhari).

Al-Daruquthni meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata, “Apabila kalian membaca hamdalah, bacalah basmalah karena al-Fatihah adalah induk al-Qur an, tujuh ayat yang diulang-ulang (as-sab’ al-matsani), dan basmalah termasuk salah satu ayatnya.”

Ibnu Huzaimah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ummu Salamah —radhiallahu ‘anha– bahwa Rasulullah menghitung basmalah satu ayat dan hamdalah (hingga akhir surah) enam ayat. Jumlah tasydid dalam surah al-Fatihah ada empat belas. Tiga di antaranya terdapat dalam basmalah.

Jika seseorang tidak membaca tasydid pada satu kata dalam surah al-Fatihah maka bacaan kata tersebut batal, sebab dia telah mengubah susunan kata, mengingat tasydid merupakan lambang dari huruf-huruf yang sama. Apabila seseorang mengganti huruf ض dengan ظ pada kata adh-dhallin, menurut pendapat yang ashah, bacaan kata tersebut tidak sah karena telah mengubah susunan kata.

Gambar orang shalat yang membaca surah al-Fatihah
Gambar orang shalat yang membaca surah al-Fatihah. Sumber freepik.com

Surah al-Fatihah wajib dibaca secara berurutan ayat demi ayat dan berlanjut (muwalah), artinya menyambung kata yang satu dengan yang lain, tidak boleh memisahnya kecuali sekadar bernapas, sebab meneladani sunah sesuai hadis, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat.”

Jika bacaan al-Fatihah diselingi dengan dzikir lain yang tidak berhubungan dengan shalat, keberlanjutan itu terputus meskipun selingannya sebentar. Misalnya, membaca tahmid ketika bersin, menjawab adzan, dan membaca tasbih ketika ada orang masuk, kecuali jika lupa.

Apabila dzikir itu masih terkait dengan shalat, seperti membaca amin atas bacaan al-Fatihah imam dan mengingatkan imam saat bacaannya terhenti, dia tidak memutuskan muwalah menurut pendapat yang ashah, karena semua itu dianjurkan bagi makmum.

Termasuk yang memutus muwalah adalah diam lama yang disengaja, karena ada indikasi berpaling dari shalat. Demikian halnya diam sebentar yang bertujuan memutus bacaan menurut pendapat ashah, karena pengaruh perbuatan berikut niat. Hal ini seperti memindahkan barang titipan dari tempatnya dengan niat berkhianat, Jika barang itu hilang, dia wajib mengganti.

Keabsahan bacaan al-Fatihah disyaratkan tidak ada unsur lahn (kesalahan gramatika) yang dapat merusak makna seperti membaca tu pada kata an’amta (menjadi an’amtu), membaca kasrah (an’amti), atau bacaan syadz (bacaan selain qira’ah sab’ah) yang mengubah makna dan menambah atau mengurangi bacaan. Jika seseorang melakukan hal ini maka bacaannya batal.

Bagaimana Jika Tidak Mengetahui Bacaan Al-Fatihah?

Apabila orang yang shalat tidak mengetahui bacaan al-Fatihah sama sekali, dia boleh membaca tujuh ayat yang berurutan, agar menyerupai al-Fatihah. Jika tidak bisa, dia boleh membaca tujuh ayat tidak berurutan, karena inilah yang ditetapkan. Pendapat sahih yang ditetapkan Imam Syafi’i menyatakan, boleh membaca ayat-ayat yang tidak berurutan dari satu surah atau beberapa surah, meskipun hafal sejumlah ayat yang berurutan, seperti hukum qadha’ puasa Ramadhan (boleh tidak berurutan).

Jika seseorang tidak bisa membaca al-Qur’an, bacalah dzikir selain ayat-ayat al-Qur’an. Abu Dawud dan periwayat lainnya menuturkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Wahai Rasulullah, aku tidak bisa membaca sedikit pun ayat-ayat al-Qur an. Ajarilah aku sesuatu yang mencukupi bacaanku.”

Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab, “Bacalah, ‘Subhanallah wal hamdulillah wala ilaha illallah wallâhu akbar walâ haula wal quwwata illâ billah.”  Bisa juga menambah dua dzikir yang lain, seperti: Másyallahu kana, wamâ lam yasya lam yakun, supaya jumlah tujuh dzikir ini menyamai bacaan tujuh ayat.

Menurut pendapat yang ashah, jumlah huruf dzikir pengganti al-Fatihah tidak boleh kurang dari jumlah huruf al-Fatihah, sebagaimana ia tidak boleh kurang dari jumlah ayat al-Fatihah. Jumlah huruf surah al-Fatihah 156 huruf termasuk basmalah. Huruf yang bertasydid dalam al-Fatihah dihitung dua huruf dalam dzikir.

Apabila orang yang shalat tidak bisa membaca apa-apa, hendaklah diam selama bacaan al-Fatihah berdasarkan perkiraan, karena ini wajib dilakukan olehnya.

Bacaan Amin

Setelah membaca surah al-Fatihah disunahkan membaca amin. Abu Dawud, at-Tirmdizi, dan periwayat yang lain meriwayatkan dari Wail bin Hujr -radhiallahu ‘anhu-, dia berkata, “Aku shalat di belakang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Ketika sampai pada bacaan waladhdhallin, Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata âmîn dengan memanjangkan bacaan.”

Al-Bukhari meriwayatkan hadis Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, “Ketika imam membaca, waladhdhallin maka ucapkanlah, amin. Barangsiapa ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin malaikat maka dosanya yang telah lalu dan akan datang pasti diampuni.”

Menurut pendapat yang azhar, bacaan amin boleh dibaca pendek, sebab itu tidak mengubah makna. Makmum membaca amin bersamaan dengan aminnya imam, bukan sebelum atau sesudahnya, dengan suara keras.

Dalam sebuah hadis disebutkan, “Apabila imam berkata amin maka bacalah amin. Barang siapa bacaan aminnya bersamaan dengan bacaan amin malaikat maka segala dosanya yang lalu akan diampuni” dan hadis, “Apabila seorang dari kalian membaca amin, dan malaikat di langit membaca amin, lalu aminnya berbarengan dengan amin lainnya, maka dosanya yang lalu akan diampuni.”. Amin dibaca dengan suara keras sesuai hadis yang diriwayatkan Ibnu Hibban dan lainnya. Mereka menshahihkan hadis tersebut.

Makmum boleh mengeraskan suara pada lima keadaan. Empat keadaan ketika membaca amin: membaca amin setelah imam selesai membaca al-Fatihah, membaca amin ketika imam membaca doa qunut Subuh, membaca amin ketika imam membaca qunut witir pada paruh kedua Ramadhan, dan membaca amin ketika imam membaca qunut nazilah. Sedangkan keadaan kelima: ketika dia mengingatkan bacaan imam.

Bacaan Setelah Surah Al-Fatihah

Imam atau orang yang shalat sendiri disunahkan membaca surah setelah membaca al-Fatihah walaupun dalam salat sirriyah (dengan suara pelan) kecuali pada rakaat ketiga salat Maghrib, serta rakaat ketiga dan keempat salat Zhuhur, Asar, dan Isya, menurut pendapat yang azhar. Hal ini karena meneladani Sunnah sebagaimana hadis yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim.

Makmum masbuq yang mengikuti shalat imam pada rakaat ketiga dan keempat boleh membaca surah setelah al-Fatihah pada dua rakaat tersebut. Sebab hal itu, merupakan rakaat pertama dan kedua baginya.

Makmum yang mengerjakan shalat jahriyah, tidak disunahkan membaca surah, melainkan harus mendengarkan bacaan imam. Allah berfirman, “Apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, agar kalian mendapat rahmat,” (QS. al-A’râf [7]: 204).

Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Apabila kalian shalat dibelakangku, janganlah membaca selain surah al-Fatihah.” Akan tetapi, jika posisi makmum jauh dari imam sehingga suara bacaan imam tidak terdengar atau shalat tersebut sirriyah, makmum boleh membaca surah menurut pendapat yang azhar.

Imam dan munfarid (shalat sendirian) dianjurkan membaca surah dengan suara keras pada shalat Subuh dan dua rakaat pertama salat Maghrib dan Isya, serta dalam shalat Jum’at khusus bagi imam, untuk meneladani sunah Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Anjuran ini bagi imam ditetapkan dengan ijma’ ulama, sedangkan bagi munfarid ditetapkan dengan qiyas. Keduanya dianjurkan melirihkan suara pada shalat ada’ selain itu. Sedangkan pada salat qadha’, dianjurkan mengeraskan suara jika dilaksanakan pada malam hari dan melirihkan suara pada siang hari.

Pada shalat Subuh dan Zhuhur disunahkan membaca surah-surah al-Mufashshal yang panjang seperti, al-Hujurat, al-Qamar, ar-Rahman sampai surah an-Naba’. Disunahkan membaca surah-surah al-mufashshal yang sedang seperti surah asy-Syams, al-Lail, dan adh-Dhuha pada shalat Asar dan Isya.

Pada shalat Maghrib sunah membaca surah al-mufashshal yang singkat seperti surah al-Ashr, al-Ikhlash, dan seterusnya hingga akhir al-Qur’an. Pada shalat Subuh hari Jum’at disunahkan membaca surah as Sajdah pada raka’at pertama dan pada rakaat kedua membaca surah al-Insan, untuk meneladani sunah yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim.

Demikianlah artikel tentang rukun membaca surah Al-Fatihah pada shalat ini. Anda juga dapat membaca artikel lainnya tentang fiqh shalat untuk meningkatkan kualitas shalat kita.