Ilustrasi ikhlas

Tidak sedikit orang pandai membedakan mana tas asli mana palsu. Mana emas murni mana sepuhan. Mana barang original diantara bajakan. Giliran urusan hati, jadi bingung sendiri bedain mana cinta semu sama cinta sesungguhnya. Nah diantara amalan hati adalah niat. Niat erat kaitannya dengan ikhlas.  Seberapa penting dan bagaimana seharusnya? Yuk disimak! 

Luruskan Niat

Kamu pernah nggak kirim surat buat seseorang? Atau ngirim short message. Apa yang terjadi kalau kamu salah tulis alamat atau nomor HP-nya tertukar?

So pastinya surat kamu gak bakalan nyampe. Pun keikhlasan, seperti ngirim surat. Salah niat, salah menetapkan tujuan amalannya gak ketrima

Sesungguhnya amalan itu bergantung pada niatnya” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hadits pertama dalam kitab Arba’in tulis Imam an-Nawawi. Niat memang harus dijaga sejak dini. Pun setelah disudahi. Mulai yang nampak hingga amalan hati.

Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasulnya” lanjutnya. Segala hal yang kamu kerjakan bukan pencitraan belaka, mengharapkan tepukan tangan manusia. “Seseorang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.” Siapa mengejar dunia, tidak dapat akhiratnya. Siapa mengejar akhirat ikut juga dunianya. “Beramal karena manusia adalah kesyirikan. Meninggalkan amalan karena menurut manusia adalah riya” begitu kata Fudhail ibnu ‘Iyad.

Tiga golongan pertamakali dicampakkan ke neraka. Yang satu rajin membaca al-Qur’an, ada yang berjihad, dan lainnya suka membagikan hartanya. “Mengapa kami dimasukkan ke dalam neraka padahal kami telah beramal?”

“Kamu melakukannya bukan karena aku” kata Allah. Yang pertama ingin dikatakan Qori’, satunya lagi mau disebut pahlawan, mujahid dan lainnya hendak dikatakan dermawan. 

“Kesia-siaan adalah amalan panjang tetapi tak se-zahrahpun tersisa. Dan keberuntungan adalah amalan sederhana namun berkesinambungan.” 

Mengapa harus ada luka, tawa, senyum, sedih mewarnai hidup? Jika semua yang kita rencanakan segera tercapai. Segala yang kita harap menjadi kenyataan. Sebab darimana lagi kita belajar akan keikhlasan?

Dialah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji diantara kalian siapakah yang paling baik amalannya.” (QS. Al-Mulk: 2). Paling baik amalannya adalah yang paling ikhlas beramal. 

“Keikhlasan tidak akan berkumpul pada hati yang cinta pujian, sanjungan dan mengharap apa yang ada di tangan manusia” ungkap Ibnul Qoyyim. “Kecuali seperti berkumpulnya air dan api, serta buaya dan ikan paus.” 

Menjaga Niat

“Hati-hati nak dengan sepatu kayumu. Jangan sampai kamu tergelincir” kata Imam Abu Hanifah. Bocah kecil itu lantaran berterima kasih atas perhatiannya.

“Bolehkah saya bertanya siapa namamu tuan?” tanyanya.

“Nu’man namaku” jawabnya singkat.

“Jadi tuanlah selama ini terkenal dengan gelar al-Imam?”

“Bukan aku yang memberi gelar demikian. Masyarakatlah yang berprasangka baik padaku dengan memberi gelar itu.”

“Wahai Imam, hati-hati pula dengan gelarmu. Jangan sampai tuan tergelincir ke neraka karena gelar. Sepatu kayuku ini mungkin hanya menggelincirkanku di dunia. Tapi gelarmu itu dapat menjerumuskanmu ke dalam api neraka jika kesombongan dan keangkuhan menyertaimu.” 

Ulama besar itu tersungkur menangis, bersyukur siapa sangka nasehat datang dari anak kecil. Kelihatan sucinya kita dihadapan manusia lantaran Allah masih menutup aib-aib kita. Manusia hanya berprasangka pada yang nampak, Allah yang Maha Mengetahui.

Sudah berapa lama Madinah dilanda musim kering. Dikeheningan malam itu, seorang mengangkat tangannya. Selesainya, seketika juga turun hujan. Diam-diam Umar Bin Khattab membuntuti orang tadi dari mesjid sampai ke rumahnya.

Di hari berikutnya hendak diziarahi, rumahnya tertutup. Menurut tetangganya, semenjak hari itu ia langsung membawa barangnya meninggalkan kota Madinah. Sampai hari ini tak seorangpun tahu siapa gerangan orang yang mustajab do’anya itu. Masya Allah, nggak mau ditahu identitasnya, dia langsung pindah rumah.

Muhammad Ibrahim an-Nakha’i sedang mengaji tiba-tiba datang tamunya, mushafnya langsung ditutup. Supaya tidak ditahu tadi lagi membaca al-Qur’an. Bedanya kini, segala aktifitas langsung diupdate status or nge-tweet. “Pagi ini ngantuk, abis shalat malam. Lagi nunggu buka puasa” dan serupanya. Orang yang jaraknya tinggal sehasta dengan surga akhirnya masuk neraka. Berlagak ahli surga untuk disaksikan di hadapan manusia. Na’udzubillah.

Menjaga niat tidaklah mudah. Tidak ada yang paling sulit diluruskan selain keikhlasan niat. Sebab niat letaknya dihati, bukan di lidah. Jika beramal lantaran tambah semangat karena pujian manusia, keikhlasan Anda sedang diuji.

“Ikhlas itu seperti surah al-ikhlas. Tak satupun ayatnya menyebut kata ikhlas.”

Pengakuan, “Saya ikhlas kok,” sesungguhnya keikhlasannya masih butuh keikhlasan. Tidak seorangpun mengetahui dirinya ikhlas apa tidak. Sebagaimana tidak ada pula yang mengetahui diterima tidaknya amalannya. “Apa yang hanya dan karena Allah” sebut Imam Malik. “Itulah yang akan abadi.”[]

Oleh Muhammad Scilta Riska

Baca juga: Terapi Keikhlasan